Komisaris Independen 4 Kali Temui Tim Pemeriksa Pajak

Kasus Dugaan Suap Pajak PT Bhakti Investama

Selasa, 18 September 2012, 09:50 WIB
Komisaris Independen 4 Kali Temui Tim Pemeriksa Pajak
James Gunaryo

rmol news logo Majelis Hakim melacak peranan pengusaha lain di kasus suap pajak dengan terdakwa James Gunaryo.  Pasalnya, sebelum putusan pengembalian pembayaran pajak PT Bhakti Investama (BI) Rp 3,2 miliar keluar, Komisaris Independen PT Bhakti Investama sempat menemui tim pemeriksa pajak hingga empat kali.

Ketua tim pemeriksa pajak PT BI Agus Totong, mengatakan, sem­pat bertemu Antonius Ton­beng. Pertemuan dilakukan untuk membicarakan masalah kebe­rat­an pajak PT BI. Akan tetapi, dia menepis anggapan bila perte­mu­an sengaja dirancangnya. Per­te­muan dengan Antonius, tegasnya, dilaksanakan dalam kapasitas petugas pajak Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa (KPP-PMB), Gambir.

Keterangan Agus ini tak mem­buat majelis hakim puas. Majelis ha­kim mencecarnya dengan per­tanyaan seputar perkenalan de­ngan Antonius. Menurut Agus, ia bertemu Antonius pertama kali di kantornya. Pertemuan dengan An­tonius tersebut, sebelumnya diin­formasikan oleh rekannya, ter­sangka Tommy Hindratno.  Ke­tika itu, Tommy yang lebih dulu mengenal Antonius dan ter­dakwa James Gunaryo meng­in­formasikan rencana pertemuan de­ngan petinggi PT BI pada Agus. Namun Agus me­nye­but­kan, tidak mau menemui utusan perusahaan yang masalah pajaknya tengah ditanganinya.

Karena keberatan menemui Antonius di luar kantor, maka per­te­muan pun dilakukan di kan­tor KPP-PMB.  “Saya pertama kali diberitahu Tommy. Dia me­ngatakan, direksi PT BI ingin ber­temu. Saya bilang di kantor saja. Saya baru tahu Anton Tonbeng pas bertemu di kantor setelah dia menyodorkan kartu namanya,” katanya dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, kemarin.

Sejak pertemuan tersebut, An­tonius sering bolak-balik ke KPP-PMB. Menurut saksi, sedikitnya per­­nah bertemu Antonius empat kali. Saat hakim menanyakan, apakah dalam pertemuan terse­but, saksi pernah diiming-imingi im­balan dalam menangani kasus pajak PT BI, Agus menepis hal ter­sebut. Dia bilang, ia dan tim­nya sama sekali tidak pernah men­dapatkan janji-janji ataupun imbalan dari Antonius.

Fokus timnya adalah memerik­sa data terkait pengajuan pe­ngem­balian pembayaran pajak per­usahaan milik Harry Tanu Soe­dibyo. Empat kali pertemuan dengan utusan PT BI itu, sama sekali tidak mempengaruhi hasil penelitian pajak oleh tim yang dikomandaninya. Senada dengan Agus, saksi Hani Masrohim mengatakan, mengenal Antonius lewat Tommy. Demikian pula saksi Fery Syarifudin.

 â€œSaya kenal lewat perantara Tommy Hindarto,” jelasnya. Ke­dua­nya sama-sama mengaku tidak pernah bertemuAntonius di luar kantor. Mereka juga me­nye­butkan, tiap pertemuan dengan utusan PT BI itu selalu dilakukan bersama-sama. Lebih penting lagi, keduanya juga tidak pernah mem­bicarakan masalah di luar urusan keberatan pajak PT BI.  De­ngan kata lain, saksi dari KPP-PMB ini, kompak mengaku tidak pernah mendapatkan janji im­balan bila meloloskan keberatan pajak PT BI.

Agus menambahkan, selain empat kali bertemu dengan Anto­nius, dia juga pernah berhu­bung­an lewat telepon. Namun Agus mengaku tidak pernah berinisiatif menghubungi Antonius. Mak­sud­nya, komunikasi telepon terjadi karena Antonius mengontak dia untuk menanyakan kemajuan pe­meriksaan pajak PT BI.  Tapi dia tak ingat persis, berapa kali Anto­nius menghubunginya.

“Kalau tidak salah, sekitar em­pat sampai lima kali berhu­bungan melalui telepon,” ucapnya. Saat ditanya hakim, kenapa dia me­manggil Antonius dengan se­butan bos, Agus menyatakan,  se­but­an itu ditujukan agar terkesan akrab.

Belakangan, begitu mendengar berita KPK menangkap Tommy Hindarto saat menerima suap terkait pajak yang ditanganinya dari James Gunaryo, ia dan te­man-temannya kaget. Akibat pe­nang­kapan dan pengusutan kasus ter­sebut, Agus dan konco-kon­co­nya pun terpaksa diseret-seret dalam pusaran kasus ter­sebut.  

Selain diminta memberi kete­rangan pada KPK, ketiga staf Ditjen Pajak itu juga terpaksa ber­urusan dengan pihak Inspektorat Pajak. Rangkaian pemeriksaan internal yang dilakoni ketiganya ber­akhir dengan keputusan mu­tasi. Agus dimutasi ke KPP-Ke­tapang, Kalbar, Hani Masrohim digeser ke Tobelo, Maluku Utara, dan Heru Munandar dipindah ke Sintang, Kalbar.

Agus tak mengetahui apakah mutasi ini terkait dengan kasus pajak PT BI. Yang jelas, dia me­nyatakan,  rangkaian perte­muan dengan Antonius sama sekali ti­dak mempengaruhi hasil pe­me­riksaan pajak PT BI.  Kalaupun ada putusan dan penetapan ten­tang pengembalian pajak lebih bayar, tutur dia, hal itu memang di­latari adanya kekeliruan peng­hitungan pajak, Bukan sengaja dise­ting oleh tim yang dipim­pinnya. “Putusan itu diambil ber­dasarkan data yang kita teliti,” sergahnya.

REKA ULANG

Uang Suap Disimpan Dalam Kantong Hitam

Tanggal 11 Mei 2012, Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Ma­suk Bursa (KPP PMB) me­ner­bitkan surat perintah membayar kelebihan pajak (SPMKP) PT Bhakti Investama. Surat itu berisi keterangan SPT Pph Badan 2010 dan SPT Ppn 2003 sampai 2010. Total keseluruhannya mencapai angka Rp 3.420.449.886.

James Gunaryo pada 25 Mei dihu­bungi Komisaris Independen PT Bhakti Investama (BI) Anto­nius Tonbeng. Antonius bilang, pem­bayaran kelebihan pajak dari KPPN belum masuk rekening PT BI. Antonius mengingatkan ke­pada James agar mengirim kelebihan pajak itu ke rekening PT BI di Bank BCA.

Lalu pada 5 Juni 2012, James meng­hubungi Antonius. Diin­for­masikan, dana kelebihan pajak sudah diterima seluruhnya di re­ke­ning PT BI nomor 4783011908 di BCA.  Antonius menyam­pai­kan, dari  jumlah itu akan dike­luarkan Rp 350 juta dalam bentuk cek tunai.

Berkaitan dengan itu, staf Fi­nance PT BI Aep Sulaeman men­cairkan cek BCA nomor AU 570649 Rp 340 juta. Cek itu ditandatangani Direktur PT BI Darma Putra Wati dan Direktur Ke­uangan PT BI Wandhy Wira Riady. Pencairan cek dilakukan di BCA Wahid Hasyim 82, Jak­pus. Cek dicairkan dalam uang pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu. Uang disimpan di paper bag hitam bertuliskan “LENNOR”

Uang itu lalu dibawa ke PT BI.  Selebihnya, Antonius meminta Ja­mes datang ke PT BI. Sekitar pukul 16.00 WIB, James yang mengendarai Toyota Harrier B 8334 DW mengambil uang untuk menyerahkannya kepada Tommy. Tapi, penyerahan baru dilakukan 6 Juni 2012.

Sebelum diserahkan ke Tommy, James mengambil ba­gian Rp 60 juta. Sisanya Rp 280 juta akan diserahkan kepada Tommy yang akan datang dari Sura­baya bersama ayahnya, Hen­di Anuranto.

Setiba di Soekarno Hatta, Tom­my dan Hendi naik taksi menuju RS Carrolus untuk menemui Ja­mes.  Di tengah perjalanan, Tom­my menelepon James agar perte­muan digeser ke Hotel Harris, Tebet, Jaksel. Namun, karena mem­pertimbangkan adanya cctv hotel, pertemuan digeser ke Restoran Sederhana, Jalan KH Abdullah Syafii, dekat Lapangan Ros, Tebet.

Di restoran, Tommy mengaku takut menerima uang tunai dari Ja­mes. Ia meminta terdakwa me­nye­rahkan uang kepada ayahnya. James menurut. Dia meletakkan tas hitam berisi uang itu di sam­ping kaki  kiri Hendi. Tapi begitu, peyerahan selesai, petugas KPK meng­gerebek mereka.  Dari ta­ngan para tersangka, petugas me­nyita uang Rp 200 juta terdiri dari 20 gepok uang pecahan Rp 100 ribu dan uang Rp 80 juta yang ter­diri dari 16 gepok uang pecahan Rp 50 ribu.

Beri Sanksi Berat Agar Pelaku Jera

M Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago menyatakan, penyelesaian persoalan korupsi di sektor Pajak masih kurang efektif.  Kekurang efektifan  pe­ngusutan perkara ini, terletak pa­da proses pengusutan serta sank­si pelanggaran yang seringkali masih rendah.

“Masalah pelanggaran oleh oknum Dirjen Pajak ini sudah se­ring terjadi. Anehnya, para pe­laku sepertinya tidak jera-jera,” ujarnya. Tindakan oknum pe­gawai pajak yang terulang, ka­tanya, dapat dilihat dari  ka­sus-kasus yang ada. Contohnya, adalah kasus  Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika dan masih banyak lainnya.

Melihat persoalan yang mun­cul tersebut, Politisi PAN itu me­minta agar penegak hukum be­kerja maksimal. Maksudnya, penegak hukum tidak bekerja setengah-setengah alias hanya se­adanya saja. Jika penindakan hukum separuh-separuh, bukan tidak mungkin, kasus-kasus pe­nyelewengan pajak akan terus terjadi.

“Oleh sebab itu, harus ada penindakan tegas. Kasus-kasus di sektor pajak harus ditun­tas­kan. Itu komitmen pertama yang harus dilaksanakan,” te­gas­nya. Dia mengatakan, pene­gak hukum saat ini harus ber­pikir dan bekerja supaya kasus serupa tidak terjadi lagi.

Dia pun meminta, kasus ini diselesaikan dan dituntaskan secara proporsional. Maksud­nya,  setiap pihak yang diduga kuat terlibat dalam kasus ini hendaknya ditindak secara tepat dan tegas. Jadi, mereka sama se­kali tidak boleh dibiarkan lolos dari jerat hukum yang ada. Dia menyarakan, salah satu cara untuk membuat jera pelaku pe­nyelewengan pajak, bisa dilak­sanakan dengan menindak semua yang terlibat sampai akar-akarnya.

Dengan begitu, para pelaku kejahatan di sektor ini kapok atau jera. Setidaknya imbuh dia, mereka akan berpikir panjang ketika hendak melakukan ke­ja­hatan pajak. Lebih jauh, Taslim meminta, penyidik tidak boleh alergi melakukan pengusutan. Pe­nyidik idealnya, memahami keinginan masyarakat yang menginginkan agar korupsi diperangi sejak dini.

“Dengan keterbukaan infor­ma­si saat ini, jadi saya kira pe­nyidik jangan mencoba ber­main-main dengan kasus ko­rupsi,” katanya. Diingatkan, pi­hak-pihak luar yang selama ini diduga acap mengintervensi penyidikan perkara korupsi ju­ga harus dilawan.

Tuntaskan Pengusutan Di Tingkat Penyidikan

Yenti Garnasih, Pakar Hukum Pidana

Pakar Hukum Pidana Yenti Garnasih menilai, pengusutan kasus suap pajak PT Bhakti In­vestama ini terkesan bertele-tele. Hal itu dikarenakan, pola pe­ngembangan pengusutan yang kurang terarah.

“Saya melihat, pola pena­ngan­an kasus ini cenderung tidak cepat,” ujarnya, kemarin.

Yenti berharap, penanganan perkara model ini tidak boleh diserahkan atau dibebankan se­penuhnya kepada hakim. Mak­sud dia, kasus-kasus seperti ini idealnya bisa selesai di tingkat penyidik. Tidak perlu sampai ke per­sidangan. “Jadi siapapun yang terlibat dalam kasus ini su­dah selesai di tingkat pe­nyi­dikan. Tidak perlu harus dikem­bangkan sampai pengadilan.”

Kurang optimalnya penye­li­dikan dan penyidikan perkara ter­sebut, bebernya, membuat ke­­terlibatan sejumlah pihak ti­dak terlihat secara jelas. Akibat hal tersebut, masyarakat juga bisa menilai bahwasanya ki­nerja penyidik kasus ini kurang pro­fesional.  “Saya juga tidak tahu kenapa penegak hukum, tam­pak ragu untuk menyentuh orang-orang tertentu di kasus ini. Ada apa ini?” ucapnya.

Bekas model yang terjun ke duania hukum ini menyam­pai­kan, penegak hukum hendak­nya tidak setengah hati dalam me­ngusut perkara korupsi. Me­reka harus lebih berani serta ti­dak terkesan bersikap me­lin­dungi orang-orang tertentu.

Lebih jauh, Yenti meminta agar penyidikan kasus dugaan suap ini tak berhenti sampai di sini. Pengungkapan terkait sia­pa pihak lain yang diduga me­rancang serta mencairkan uang suap tersebut, harus dikem­bangkan secara maksimal.

Boleh jadi, saran dia, teknis pengungkapan kasus-kasus ini maupun kasus penyelwengan pajak lainnya menggunakan Un­dang-undang Pencucian Uang. Sebab lewat undang-un­dang tersebut, siapapun yang diduga kecipratan dana hasil ke­jahatan bisa dimintai pertang­gung­jawaban hukum.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA