Kejaksaan Agung masih menelisik keterlibatan sejumlah pihak dalam kasus dugaan korupsi proyek Bioremediasi fiktif PT Chevron Pasific Indonesia (CPI). Selain memeriksa tersangka, penyidik juga memeriksa sejumlah saksi baik dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan BP Migas.
“Hari ini, dilakukan pemerikÂsaÂan terhadap Saksi M Hatta FilÂsaÂwan, Kadis Pengendalian pada Divisi Pengendalian Program dan Anggaran BP Migas,†ujar KaÂpuspenkum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, kemarin.
Saksi diperiksa sejak pukul 10.00 WIB. Namun Adi belum mau menjabarkan materi pemeÂrikÂsaan. Dia memastikan, peÂmeÂrikÂsaan ditujukan untuk menggali bukti-bukti tambahan. “PeÂmeÂrikÂsaan saksi dilakukan untuk meÂlengÂkapi berkas perkara tersÂangÂka. Di luar itu juga ditujukan guna memÂpelajari kemungkinan keterÂliÂbatan pihak lainnya,†ucapnya.
Sehubungan dengan upaya menggali fakta-fakta dalam kasus ini, Direktur Penyidikan pada JakÂsa Agung Muda Bidang PidaÂna Khusus (Dirdik-Jampidsus) KeÂÂjagung Arnold Angkow meÂnamÂbahÂkan, penyidik memerÂluÂkan beÂberapa alat bukti tambahan untuk memperkuat memori tuntutan.
Diinformasikan, sejauh ini piÂhaknya sudah hampir masuk taÂhap penuntutan. Oleh karenanya, pemeriksaan saksi tambahan diÂgeber guna mencocokkan seluÂruh bukti-bukti yang ada.
“Saksi dipeÂrikÂsa untuk tersangÂka,†tanÂdasnya. Senada dengan Adi, dia bilang, pemeriksaan sakÂsi tamÂbahan dilaksanakan untuk meÂnambah alat bukti.
Alat bukti vital yang saat ini maÂsih perlu dilengkapi, menuÂrutÂnya, meliputi dokumen data-data transaksi dan dokumen penÂduÂkung lainnya. Bekas Kepala KeÂjaksaan Tinggi (Kajati) Sulut ini optimis, jajarannya mampu meÂnyeÂlesaikan perkara yang sudah lama ditangani kejaksaan.
Tapi saat disinggung mengenai total kerugian negara akibat kasus ini, Arnold belum bisa menjÂeÂlasÂkan secara gamblang. MasaÂlahÂnya, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) belum tuntas.
“Nilai keÂrugian negara terkait perkara ChevÂron masih dihitung. Masih diproses BPKP,†tuturnya. Untuk membantu mengetahui total keÂrugian negara tersebut, maka Kejagung melakukan seÂrangÂkaian pemeriksaan tambahan pada saksi-saksi. Termasuk mÂeÂmeÂriksa saksi M Hatta Filsawan.
Lebih jauh, Arnold memaÂsÂtiÂkan, begitu berkas penuntutan maÂsuk ke pengadilan, pihaknya akan menahan para tersangka. Untuk kepentingan memantau perÂgerakan tersangka kasus ini, piÂhaknya telah berÂkoorÂdinasi deÂngan jajaran Jamintel Kejagung. Dia meyakinkan, keÂbeÂradaan terÂsangka Alexiat TirÂtawijaya di AmeÂrika Serikat pun tak luput dari pantauan timnya.
Dikatakan, PT CPI telah memÂberi garansi atau jaminan pada jakÂsa. Isinya menyatakan bahwa terÂÂsangka Alexiat tetap akan memÂÂpÂertanggungjawabkan tinÂdakannya sesuai hukum yang berÂlaku. “Dia tidak akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti,†jelasnya. Dikemukakan, kepentingan tersangka berada di Amerika ditujukan untuk meneÂmani suaminya yang sakit.
Koordinasi untuk memantau tersangka, sebutnya, dilakukan oleh utusan dari Kedutaan Besar InÂdonesia di Amerika Serikat. KeÂjagung pun telah meminta otoÂritas Amerika untuk memasukan nama tersangka dalam daftar orang yang bermasalah dengan hukum Indonesia. “Ada tim yang senantiasa mengawasi tersangka di sana.â€
Arnold menepis anggapan bahÂwa Kejagung tak serius meÂngÂgarap perkara ini. Buktinya, kata dia lagi, selain memfokuskan peÂngusutan pada PT CPI, pihakÂnya juga mengembangkan penyiÂdiÂkan pada BP Migas dan KeÂmenÂterian Lingkungan Hidup. SebeÂlum pemeriksaan saksi M Hatta Filsawan, penyidik juga meÂmeÂriksa dua saksi lain pada Selasa, 14 Agustus 2012. Dua saksi itu adalah seorang teknisi lapangan dari PT Sumigita Jaya bernama Syafrul dan Direktur PT Sumigita Jaya bernama Herland.
Dalam kasus ini, Herlan suÂdah ditetapkan sebagai terÂsangÂka. Pada pemeriksaan tersebut, HerÂlan diperiksa dalam kapaÂsitas seÂbaÂgai saksi untuk terÂsangÂka lain. Diketahui, KejaÂgung sudah meÂneÂtapkan tujuh teÂrsangka kasus ini.
Ketujuh tersangka itu antara lain, dua berasal dari pihak KSO, yakni Dirut PT Sumigita Jaya, HerÂlan dan Ricksy Prematuri dari PT Green Planet Indonesia. Lima tersangka lain yaitu Endah RuÂbiyanti, Widodo, Kukuh dan BachÂtiar Abdul Fatah, dan AleÂxiat. Kelima tersangka tersebut berasal dari PT CPI.
Kasus ini berawal dari proyek pemulihan lahan bekas eksplorasi di Duri, Riau sejak 2003 - 2011. Proyek senilai 270 juta dolar AS ini diduga fiktif. Namun deÂmiÂkiÂan, Kementerian Lingkungan HiÂdup tetap memberikan rekomenÂdasi pada BP Migas untuk memÂbayar proyek bioremediasi yang dikerjakan CPI dan dua KSO. AkiÂbatnya negara diduga dirugiÂkan sekitar Rp 200 miliar.
REKA ULANG
5 Anggota Dewan Pakar KLH Bisa Tersangka
Pada pemeriksaan terdahulu, penyidik Kejaksaan Agung sempat menggarap lima anggota Dewan Pakar Kementerian LingÂkungan Hidup (KLH). Kelima DeÂwan Pakar KLH yang juga tim ahli PT Chevron dimintai keteÂraÂnganÂnya sebagai saksi. PertimÂbaÂngannya, mereka dinilai meÂngetahui sejumlah dugaan reÂkaÂyasa dalam proyek bioremediasi fiktif ini.
“Pemeriksaan terhadap dewan pakar dari KLH itu terkait rekoÂmendasi dan pemberian ijin bioÂreÂmediasi serta pemberian pengÂhargaan pada PT CPI,†ujar KaÂpusÂpenkum Kejagung Adi M ToeÂgarisman, Senin, 18 Juni 2012. DeÂwan pakar KLH itu adaÂlah Chandra Setiadi, Edwan Kardena, Yayat Dhahiyat, Herry Y HadiÂkusumah dan Suwarno. MeÂnurut Adi, pihaknya masih terus menÂdaÂlami dan meÂngemÂbangkan peÂnyidikan terhadap mereka.
Bahkan, bekas Kajati Kepri itu meÂnyampaikan, tak tertutup keÂmungkinan kelima orang itu diÂtetapkan sebagai tersangka. “Kita harus melihat hasil pemeriksaan seÂcara keseluruhan lebih dulu. JaÂngan terlalu terburu-buru, kalau meÂmang ditemukan alat bukti yang cukup ya tidak tertutup keÂmungkinan akan ditetapkan seÂbagai tersangka,†jelasnya.
Kasus proyek fiktif pemulihan lingkungan ini, berawal dari perÂjanÂjian antara Badan Pelaksana UsaÂha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Chevron. SaÂlah satu poin perjanjian, meÂngatur tenÂtang biaya untuk meÂlaÂkukan peÂmulihan lingkungan (cost recoÂvery) dengan cara bioÂremediasi.
Bioremediasi adalah teknik peÂnormalan tanah setelah terkena limÂbah minyak. Kegiatan bioreÂmediasi ini seharusnya dilakukan sejak 2003 sampai 2011. CPI teÂlah menunjuk dua perusahaan lain untuk melakukan bioÂreÂmeÂdiaÂsi, yaitu PT Green Planet IndoÂnesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SJ).
Namun kegiatan bioremediasi yang seharusnya dilakukan seÂlaÂma perjanjian berlangsung, tidak diÂlaksanakan GPI dan SJ. PaÂdaÂhal untuk melakukan bioÂreÂmeÂdiasi, anggaran sebesar 270 juta Dolar Amerika telah diajukan ke BP Migas dan telah dicairkan. KaÂrenanya, program biorÂeÂmedÂiaÂsi itu diduga fiktif. Akibatnya, neÂgara dirugikan 270 juta dolar AmeÂrika atau sekitar Rp 200 miliar.
Kejagung menduga, kasus koÂrupsi proyek bioremediasi di Riau ini, melibatkan Kementerian LingÂkungan Hidup (KLH). KaÂrena itu, kejaksaan meÂmperÂtaÂnyaÂkan peran KLH yang memberi rekomendasi pada BP Migas agar membayar klaim proyek bioÂremediasi.
Jaksa Agung Muda Pidana KhuÂsus (JAmpidus) Kejagung Andhi Nirwanto mengatakan, keÂterlibatan pihak KLH dan BP MiÂgas akan didalami. Namun, prioÂritas utama saat ini adalah uji laÂboÂratorium terhadap 20 sampel tanah hasil bioremediasi di Riau. “Justru itu kita dalami lebih lanjut setelah kita mendapatkan hasil yang pasti dari uji laboratorium tersebut,†kata Andhi, Jumat (16/6). Dia menambahkan, bila uji laboratorium di kejaksaan selesai, maka penyidik akan menentukan langkah-langkah selanjutnya dalam mengusut kasus ini.
Secara terpisah, Direktur PeÂnyiÂdikan (Dirdik) pada JamÂpidÂsus Arnold Angkouw menÂjeÂlasÂkan, seharusnya uji laboratorium dilakukan tertutup. Karena mÂeÂruÂpakan bagian dari penyidikan. Tetapi, untuk menghindari keÂcuÂriÂgaan, maka uji sampel dilaÂkuÂkan dengan melibatkan pihak-piÂhak terkait, seperti pihak KLH, BaÂppedalda, PT Chevron Pacific InÂdonesia dan juga para terÂsangka.
Jangan Cari Celah Melokalisir Kasus
Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR TasÂlim Chaniago menyatakan, kasus bioremediasi fiktif oleh PT Chevron Pasific Indonesia atau CPI ini termasuk kasus yang sudah lama disidik kejakÂsaan. Di luar itu, kasus ini juga meÂnimÂbulÂkan kerugian negara dalam jumlah besar. Karena itu, aneh bila kasus ini tak kunÂjung tuntas.
“Memang agak aneh saja, keÂnapa sudah ada tujuh tersangka kok belum ada penahanan sama sekali. Mmasyarakat kecil saja yang mencuri dengan jumlah sangat kecil begitu cepatnya jadi tersangka dan ditahan,†ujar Taslim, kemarin.
Politisi PAN itu juga memÂpertanyakan, dasar kejaksaan menetapkan status tersangka yang masih berasal dari pihak swasta saja. Menurutnya, bila bukti-bukti yang ada sudah menÂcukupi, idealnya kejaksaan juga proporsional menindak pihak dari BP Migas maupun KLH.
Terlebih, katanya, kasus koÂrupsi ini terjadi setelah adanya persekongkolan antara kedua belah pihak. Baik pihak swasta maupun institusi pemerintah. Lebih jauh, dia menilai, belum adaÂnya penahanan terhadap para tersangka, berpeluang memÂbuat kasus ini dianggap kecil.
“Masih berkeliarannya para tersangka ini akan memÂberikan peluang mereka untuk mengaÂburÂkan kasus ini secara bersaÂma. Hal-hal atau tindakan terÂsangÂka yang berpotensi mengÂhilangkan barang bukti ini harus dicermati oleh jaksa,†katanya.
Dia curiga, sikap jaksa yang tak menahan tersangka kasus ini justru dijadikan celah bagi jaksa untuk ikut dalam perÂmaiÂnan menyesatkan tersebut. Dia menduga, jangan-jangan para koruptor di kasus ini sudah berÂhasil mempengaruhi jaksa agar secara sengaja mengÂhiÂlangkan barang bukti. Sehingga dengan beÂgitu, kasus ini tidak bisa diÂtinÂdaklanjuti atau ditutup deÂngan alasan tidak cukup bukti.
Dia khawatir, kinerja kejakÂsaan yang kurang transparan dan progresif menangani kasus ini akan menguntungkan para tersangka. Jika hal itu yang terÂjadi, dia yakin, citra kejaksaan pun akan terpuruk.
“Mudah-muÂdahan kecurigaÂan saya terkait cara-cara jaksa menÂcari celah untuk meloÂkaÂlisir kasus ini salah,†ujarnya. Dia mengÂhaÂrapkan, jaksa lebih proÂgresif meÂnangani kasus ini. SeÂtidaknya, seÂcara kontinyu mau menyaÂmÂpaiÂkan apa hasil penyiÂdiÂkan yang ada pada publik.
Bukan Zamannya Mengumbar Janji
Alex Sato Bya, Bekas Jaksa Agung Muda
Bekas Jaksa Agung Muda Perdata dan tata Usaha Negara (Jamdatun) Alex Sato Bya meÂnyampaikan, kasus korupsi peÂngadaan bioremediasi fiktif oleh PT Chevron Pasific InÂdoÂneÂsia atau CPI ini bukanlah kaÂsus kecil. Kasus inipun sudah meÂnjadi sorotan publik. Karena itu, dia berharap, penyidik KeÂjaÂgung, mesti segera melakukan pembukÂtian perkara di pengadilan.
“Saya kira kasus ini sekarang sudah ditunggu masyarakat. Apalagi Kejaksaan Agung sudah memberi sinyal bahwa kasus ini akan naik penuntutan. Itu harus bisa segera dikongÂkriÂtkan,†ujarnya, kemarin.
Bekas Ketua Umum KesaÂtuan Aksi Pemuda Pelajar InÂdoÂnesia (Kappi) Sumatera Selatan 66 itu mengingatkan, Kejagung hendaknya memproses penyiÂdiÂkan secara proporsional alias tiÂdÂak berbelit-belit. Maksudnya, perÂkara besar seperti kasus ini hendaknya tidak digantung terÂlalu lama. “Perkara-perkara yang menonjol seperti Chevron ini jangan dibuat berlarut-larut.â€
Apalagi, lanjut lelaki asal GoÂrontalo itu, saat ini masyaÂrakat tengah menunggu gebrakan nyata Kejaksaan Agung dalam meÂnuntaskan kasus-kasus koÂrupsi besar. Jadi sambungnya, maÂsyarakat sekarang tidak tuÂtup mata melihat penanganan kaÂsus seperti yang terjadi pada proyek fiktif bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia ini.
“Ingat, ini bukan perkara keÂcil. Dan dugaan kerugian neÂgaÂraÂnÂya pun tidak sedikit. MaÂsyaÂrakat pasti tidak akan tutup mata,†tambahnya. Alex berÂhaÂrap, dalam satu atau dua pekan ke depan, Kejagung dapat memÂbuktikan janjinya, segera menaikkan perkara ini ke tahap penuntutan.
Tepatnya janji penyidik keÂjaksaan tersebut, tentu akan diapresiasi masyarakat secara poÂÂsitif. Dia menggaris bawahi, jika sekedar mengumbar janji-janji saja, hal tersebut akan memÂbuat masyarakat makin muak dengan kejaksaan.
“Saat ini sudah bukan zaÂmannya lagi mengumbar janji-janji yang tak diikuti bukti yang kongkrit,†tegasnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: