Tulisan tersebut juga menyimpulkan bahwa UU Migas tidak bertentangan dengan UUD 1945, tidak menghilangkan kedaulatan negara, dan tidak merugikan negara.
Bagi mantan Menko Perekonomian DR. Rizal Ramli, "iklan kaleng" itu sebagai sesuatu yang perlu dicermati serius.
"Ini gejala yang menarik: siapa yang bisa menyatakan pendapat hanya yang punya uang. Kalau seperti ini Indonesia mau dibawa kemana?" ujar dia kepada media usai menemui Dewan Pers terkait "iklan kaleng" di gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat (Selasa, 11/9).
Iklan kaleng itu merespon gugatan yang dilakukan 32 tokoh dan 10 organisasi kemasyarakatan keagamaan kepada MK pada Maret 2012 lalu. Alasan gugatan, UU Nomor 22/2001 telah meruntuhkan kedaulatan negara, kedaulatan ekonomi bangsa dan zalim terhadap bangsa Indonesia sendiri.
Pengunggat antara lain Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketua MUI Amidhan, mantan Ketua PB NU A Hasyim Muzadi, mantan Menakertrans Fahmi Idris, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat. Sedangkan dari kelompok ormas ada Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad Al-Islamiyah, dan Persaudaraan Muslim Indonesia. Sementara gugatan mendapat dukungan dari mantan Rizal Ramli sendiri dan tokoh NU KH Salahuddin Wahid.
Mereka menguji pasal 1 angka 19 dan 23, pasal 3 huruf b, pasal 4 ayat (3), pasal 6, pasal 9, pasal 10, pasal 11 ayat (2), pasal 13, dan pasal 44 UU Migas. Mereka menilai UU Migas berdampak sistemik terhadap kehidupan rakyat dan dapat merugikan keuangan negara. Sebab, UU Migas membuka liberalisasi pengelolaan migas yang sangat didominasi pihak asing karena dunia permigasan Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing sampai 89%.
Dalam kesempatan ini Rizal Ramli mengaku tidak aneh dengan banyaknya undang-undang titipan asing, termasuk UU soal Migas ini. Padahal sudah pasti, Undang-undang titipan asing hasilnya bukan untuk rakyat Indonesia.
Indonesia katanya, adalah negara kaya seperti cawan emas. Misalnya, aset blok Cepu bernilai lebih dari 200 miliar dolar AS, aset Freeport di atas 700 miliar dolar. Tapi hal itu tidak akan dinikmati rakyat Indonesia selama pengelolaannya dikuasai asing.
"Pemimpin kita mentalnya inlander. UU jadi bisa dipesan asing, dibiayai oleh USAID dan IMF. Sudah pasti cawan emas itu dikasih ke orang asing, ditukar pakai "batok kelapa" untuk mengemis utang. Buat apa kita merdeka jika mengelola negara seperti itu," katanya.
Selain Undang-undang nomor 22/2001 tentang Migas perlu dicabut, katanya, perlu juga dilakukan amandemen terhadap Pasal 33 UUD 45. Di dalam pasal itu harus disebut secara implisit mengenai tata kelola sumber daya ekonomi sehingga tak lagi diselewengkan oleh pejabat bermental inlender tadi.
"Pasal 33 UUD 45 harus ditambahkan kalimat,"dimiliki oleh rakyat, dikelola oleh pemerintah," tandasnya.
[dem]