Kejagung Belum Sentuh Orang KLH & BP Migas

Masih Beralasan Tunggu Hasil Uji Laboratorium

Rabu, 11 Juli 2012, 09:25 WIB
Kejagung Belum Sentuh Orang KLH & BP Migas
PT Chevron Pasific Indonesia (CPI)

RMOL. Sudah satu bulan lebih tak ada perkembangan kasus Chevron. Para pejabat Kejagung tetap berdalih, masih menunggu hasil uji laboratorium. Padahal, uji lab itu sudah mulai digelar pada awal Juni lalu. Ada apa nih...

Sejauh ini, tersangka kasus ko­rupsi proyek pemulihan tanah bekas lahan tambang minyak PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) pun hanya dari pihak swasta. Tak seperti perkara korupsi lain yang tersangkanya berasal dari pihak pemerintah dan swasta.

Kejagung belum menyentuh pihak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Badan Pelak­sana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) dalam dugaan ko­rupsi proyek normalisasi tanah (bioremediasi) fiktif bekas lahan eksplorasi PT CPI.

Jaksa Agung Muda Pidana Khu­sus Andi Nirwanto beralasan, penyidik masih konsentrasi pada uji laboratorium terhadap sampel tanah bekas lahan eksplorasi dan eksploitasi PT CPI yang diambil dari Riau. “Pihak KLH dan BP Migas untuk sementara masih se­bagai saksi. Kami masih kon­sen­trasi pada pengujian lab, sebab ti­dak begitu saja sampel dicek langsung jadi,” katanya.

Andi berdalih, masih ada be­be­rapa tahap yang mesti dilalui da­lam uji laboratorium tersebut. Ha­­silnya pun mesti dicek lagi. “Ke­mudian, kami masih harus me­nunggu hasil uji laboratorium itu dari ahli secara tertulis. Tung­gu saja,” katanya.

Dia menambahkan, jajaran Pi­dana Khusus Kejaksaan Agung tidak berhenti menangani kasus yang diperkirakan merugikan ne­gara Rp 200 miliar ini, sebatas pada keterlibatan tujuh tersangka dari pihak swasta.

Menurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw, uji laboratorium itu untuk me­mas­tikan bahwa pihak PT CPI tidak melakukan proyek rehabilitasi tanah dengan cara bioremediasi.

“Ini sebenarnya wilayah pe­nyi­dikan, tapi kami ingin trans­paran. Kami undang mereka melihat ahli kami melakukan pengujian itu. Sebab, bioremediasi ini masih ter­masuk teknologi baru,” ujarnya.

Menurut Arnold, kerugian ne­ga­ra sekitar Rp 200 miliar itu, di­duga terjadi karena rekomendasi pihak KLH kepada BP Migas sebagai pihak yang mewakili pe­me­rintah Republik Indonesia da­lam kontrak kerja dengan PT CPI, untuk men­ca­irkan pembayaran rehabilitasi la­han bekas tambang Chevron.

“Pihak KLH yang mere­ko­men­dasikan agar BP Migas mem­ba­yar ke Chevron. Tapi, KLH tak me­­miliki alat pengecekan di la­pa­ngan untuk proyek itu. KLH se­ha­­rusnya meyakini betul bahwa hasil labnya sudah beres, sebelum memberikan rekomendasi,” urai Arnold.

Menurut Arnold, Kejaksaan Agung semula berharap pihak KLH menjadi penengah dalam kasus ini. “Tapi, mereka tidak pu­nya alat dan SDM-nya. Pihak KLH yang menjadi kunci terja­dinya kerugian keuangan negara dalam proyek ini,” tandas bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Sula­wesi Utara ini.

Arnold pun berdalih, sebe­nar­nya Kejagung sudah memiliki cukup bukti untuk segera mem­bawa kasus ini ke pengadilan. Ha­sil uji lab itu, menurutnya, ha­nya untuk menambah keyakinan penyidik bahwa ada kong­ka­ling­kong di balik proyek bior­eme­diasi ini. “Unsur materiilnya su­dah kuat. Kami sudah punya alat bukti, prosentasenya 80 persen. Tapi, penyidik harus yakin betul semua proses ini,” ujarnya.

Selain menunggu hasil uji lab, Arnold berharap, dalam waktu dekat Badan Pengawasan Ke­uangan dan Pembangunan (BPKP) mengeluarkan angka kerugian ne­gara dalam kasus ini. Soalnya, mes­ki telah menaksir kerugian negara dalam kasus ini, Kejagung tetap memerlukan hasil audit BPKP un­tuk memperkuat pembuktian.

Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh ter­sangka. Lima tersangka dari PT CPI, yaitu Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirta­wid­jaja dan Bachtiar Abdul Fa­tah. Dua tersangka lainnya adalah Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia) dan Her­lan (Direktur PT Sumigita Jaya).

Sejauh ini, para tersangka ter­sebut belum ditahan. Kejaksaan Agung baru sebatas mencegah enam tersangka itu ke luar negeri. Sedangkan tersangka Alexiat sudah keburu berada di Amerika Serikat, dengan alasan menemani suaminya yang sakit di Negeri Pa­man Sam itu.

Berharap Tak Ada Yang Masuk Angin

Marthin Hutabarat, Anggota DPR

Anggota Komisi III DPR Marthin Hutabarat menilai, per­kara proyek fiktif pemulihan lahan bekas tambang PT Chev­ron Pasific Indonesia (CPI) yang di­tangani Kejaksaan Agung, adalah kasus besar yang sudah menjadi perhatian publik. Lan­ta­ran itu, dia mewanti-wanti Ke­jagung supaya serius me­nanganinya.

Dia pun berharap, kasus ini tak hanya heboh pada awalnya. Tapi, ujung-ujungnya, pena­nga­nan kasus ini seperti jalan di tempat. Soalnya, para tersangka kasus ini tak kunjung dibawa ke pengadilan. Para tersangkanya pun hanya dari pihak swasta. Tak seperti kasus korupsi lain­nya, dimana tersangkanya juga dari pihak pemerintah.

Martin menegaskan, Kejak­saan Agung mesti sangat serius menangani kasus ini secara utuh sampai tuntas. Bila hanya sepotong-sepotong menangani perkara ini, kejaksaan akan di­nilai masyarakat sebagai lem­baga penegak hukum yang tidak berintegritas. “Selain itu, keru­gian keuangan negara yang su­dah diungkap Kejaksaan Agung, tidak akan kembali ke­pada ne­gara,” katanya.

Dia pun berharap, tidak ada pim­pinan Kejaksaan Agung yang “masuk angin” terkait pe­nangan kasus Chevron. Sebab, bila pimpinannya sudah “masuk angin”, maka penyidik akan ke­sulitan mengusut kasus ini sam­pai tuntas. Selain itu, bila pro­sesnya ti­dak transparan, maka Ke­ja­gung akan semakin tidak di­percaya masyarakat. “KPK bisa ambil alih kasus ini.”

Buktikan Saja Di Pengadilan

Erna Ratna Ningsih, Peneliti  KRHN

Peneliti Senior LSM Kon­sor­sium Reformasi Hukum Na­sional (KRHN) Erna Ratna Ning­sih menyampaikan, pengu­sutan kasus bioremediasi fiktif ini jangan dibuat bertele-tele.

Pengujian laboratorium yang dilakukan Kejaksaan Agung, kata Erna, jangan sampai mem­buat proses penyidikan me­lem­pem. “Uji laboratorium harus dilakukan ahli yang inde­pen­den. Alasan pihak Kejaksaan Agung untuk melibatkan tenaga ahli yang berimbang, dengan mendatangkan ahli dari pihak Chevron kurang tepat,” ujarnya.

Soalnya, menurut Erna, ke­pentingan Kejaksaan Agung ada­lah membuktikan bahwa Chevron tidak melakukan pro­yek bioremediasi sehingga me­rugikan keuangan negara. “Se­harusnya kejaksaan tidak me­libatkan ahli dari Chevron, yang justru akan menyulitkan kejaksaan untuk membuktikan kesalahan dari para tersangka,” katanya.

Toh, lanjut Erna, para ter­sang­ka akan diberikan kesem­pa­tan melakukan pembelaan diri dengan cara menghadirkan para ahli yang membelanya di pe­rsidangan nanti. “Jadi, ke­sem­patannya bukan diberikan pada proses penyidikan, tapi dalam persidangan,” tandasnya.

Dia pun menyayangkan ki­ner­ja Kejaksaan Agung yang ha­nya menetapkan tersangka dari pihak swasta. Padahal, bia­sanya, kasus yang mengandung nilai kerugian negara, ter­sang­ka­nya dari pihak pemerintah dan swasta. “Da­lam kasus ko­rup­si seperti ini, biasa­nya ada pi­hak yang me­nyuap dan disuap.” [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA