Dua Hakim Terancam Kena Sanksi Pemecatan

Direkomendasikan KY Untuk Disidang MKH

Senin, 09 Juli 2012, 10:00 WIB
Dua Hakim Terancam Kena Sanksi Pemecatan
ilustrasi

RMOL. Komisi Yudisial merekomendasikan 14 hakim  untuk dibawa ke sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Para hakim yang diduga melanggar Kode Etik Hakim ini, rencananya mulai diproses untuk menuju sidang MKH Senin ini.

Keterangan tentang agenda sidang MKH itu disampaikan Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Asep Rachmat Fajar. Me­nu­rutnya, 14 hakim yang dire­ko­mendasikan untuk dibawa ke si­dang MKH, umumnya berasal dari hakim peradilan umum ting­kat pertama. “Rekomendasi yang disampaikan KY ke MA ada 14 hakim,” katanya.

Akan tetapi, Asep belum ber­sedia membeberkan identitas para hakim itu berikut dugaan pe­langgaran mereka. Yang pasti, dari 14 hakim itu, 11 di antaranya terancam sanksi ringan, seorang ha­kim terancam sanksi sedang, dan dua hakim terancam kena san­k­si berat. Disinggung menge­nai sanksi berat kepada dua ha­kim itu, Asep mengatakan, hu­ku­man bisa merujuk pada pemecatan.

Menurutnya, sidang MKH un­tuk dua hakim akan digelar pekan ini. Namun lagi-lagi, Asep eng­gan menyebut nama-nama hakim yang dimaksud. Menurut dia, nama ha­kim yang diduga me­lang­gar Kode Etik akan dibuka identitasnya da­lam sidang MKH. “Kemungkinan minggu depan,” ujarnya, saat di­konfirmasi pada Jumat (6/7).

Dia menjelaskan, 14 hakim yang direkomendasikan KY un­tuk dibawa ke MKH merupakan ha­sil tindak lanjut dari 786 la­po­ran yang masuk ke KY sepanjang se­mester pertama tahun 2012. Dari seluruh laporan itu, KY men­­­g­identifikasi terdapat 161 laporan yang perlu penanganan serius. “Dari situ, ada 86 hakim yang di­mintai keterangan. Saksi-saksi­nya ada 101 orang,” tandasnya.

Tapi, Asep menolak merinci kasus yang ditelusuri KY. Dia ha­nya menyatakan, dugaan pe­lang­garan dibagi dalam tiga kategori. Ada pelanggaran ringan, sedang  dan berat.  Intinya,  dari pene­lu­suran itu, KY mengklasifikasikan du­gaan pelanggaran oleh 14 ha­kim layak direkomendasikan ke sidang MKH.  Pelanggaran 14 ha­kim itu, secara umum men­ca­kup masalah profesionalisme dan integritas hakim.

Dia menyebutkan, laporan ter­banyak yang menyoal kinerja ha­kim berasal dari provinsi DKI Ja­karta, disusul Jawa Timur dan Jawa Barat. Posisi keempat di­tempati provinsi Sumatera Utara dan kelima Jawa Tengah. “La­po­ran paling sedikit berasal dari Go­rontalo,” ujarnya. Asep pun be­lum bisa merinci berapa total laporan yang masuk dari daerah-daerah tersebut. “Nanti dicek dulu datanya.”

Namun, Juru Bicara Mahka­mah Agung (MA) Djoko Sar­wo­ko mengaku belum tahu menge­nai surat rekomendasi KY me­nge­nai 14 hakim bermasalah itu. Biasanya, surat tersebut langsung di­tujukan ke Ketua MA. Dari Ke­tua MA didisposisikan ke Ketua Muda Badan Pengawasan MA. Su­rat rekomendasi KY itu kemu­dian dibahas dalam rapat pim­pi­nan MA. “Tapi, sekarang belum ada undangan rapim untuk mem­bahas rekomendasi KY itu,” ujarnya.

Ketua KY Eman Suparman yang dikonfirmasi sebelumnya menginformasikan, KY telah me­nindaklanjuti dugaan pelang­ga­ran oleh empat hakim Pengadilan Tipikor Semarang. Menurutnya, empat hakim yang menangani kasus korupsi Walikota Se­ma­rang, Soemarmo, diduga mel­ang­gar Kode Etik dan Pedoman Pe­rilaku Hakim. Namun, dia me­nolak menyebutkan, apakah empat hakim itu masuk daftar 14 hakim yang direkomendasikan KY ke MKH.

“Saya tidak bisa sebutkan itu. Nanti setelah ada sidang MKH, baru ketahuan identitas dan jenis pelanggarannya. Kalau sekarang tidak bisa disebutkan dulu,” alasannya.

Sementara itu, Komisioner KY Su­parman Marzuki menyam­pai­kan, sanksi ringan yang direko­mendasikan KY berbentuk tegu­ran tertulis. Sanksi sedang me­li­puti penundaan gaji berkala se­la­ma satu tahun. Sedangkan re­ko­mendasi sanksi berat terhadap dua hakim berbentuk pem­be­r­hen­tian.

“Rekomendasi KY kepada MA menyebutkan, satu hakim agar diberhentikan secara tidak hor­mat dan satu hakim lainnya di­ber­hentikan secara hormat,” tan­dasnya. Dia berharap, reko­men­dasi KY kepada MA bisa di­rea­li­sasikan. Sejauh ini, KY me­nung­gu jadwal persidangan MKH yang akan memutus nasib kedua ha­kim tersebut.

REKA ULANG

Terima Duit Terdakwa, Tapi Tak Dipecat

Sudah cukup lama Majelis Ke­hormatan Hakim (MKH) tak menggelar sidang. Pada 4 Januari lalu, MKH menyidang hakim bernama Hendra Pramono yang bertemu dan membuat deal de­ngan seorang terdakwa.

Hendra yang merupakan Ke­tua Majelis Hakim perkara di Pe­nga­dilan Negeri Saumlaki, Ma­luku Tenggara Barat itu, ke­mu­dian mendapat uang Rp 40 juta. Atas per­buatannya, dia didakwa mela­kukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Pe­do­man Perilaku Hakim dengan an­caman huku­man dipecat. Yang me­ngajukan Hendra untuk di­sidang MKH ada­lah Ko­misi Yu­disial (KY) dan Mah­ka­mah Agung (MA) sekaligus.  

Sebelumnya, Tim Pengawas KY yang menyelidiki laporan me­ngenai Hendra berke­sim­pu­lan, yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

“Keputusan Si­dang Pleno Ko­misi Yudisial me­rekomendasikan pemberhentian terhadap terla­por,” ujar Ketua MKH Suparman Marzuki dalam sidang yang di­gelar di Gedung MA, Jakarta.

Bahkan, lanjut Suparman, ba­gian Pengawasan Internal MA yang juga dilapori kasus itu me­nyatakan hal yang sama, bahwa Hendra terbukti melakukan pe­langgaran. Lantaran itu, MA juga merekomendasikan pem­ber­hen­tian terhadap Hendra.

Saat menerima Rp 40 juta itu, Hendra menjabat sebagai Ketua Majelis Hakim perkara yang di­tanganinya di Pengadilan Negeri Saumlaki. Hendra kemudian di­la­porkan terdakwa yang bernama Freddy ke KY dan MA.

Inti lapo­ran­nya, Hendra berte­mu terdak­wa dan membuat kese­pakatan de­ngan terdakwa yang tak ingin di­tahan di rumah taha­nan­. Ter­dak­wa ingin hanya men­jalani tah­a­nan Kota. Permintaan itu di­ka­bulkan Hendra dengan imbalan uang Rp 40 juta.

Di hadapan MKH, Hendra me­ngakui telah bertemu dan me­ne­rima uang dari terdakwa. Dia juga mengaku sudah mengembalikan semua uang yang diterimanya, dan berjanji tidak akan mengu­langi perbuatan seperti itu. Apa­bila mengulangi, Hendra bersedia dipecat.

Hendra kemudian meminta MKH agar tidak memecatnya, se­bab, dia masih muda, memi­liki tang­gungan keluarga, di­ma­na istri­nya sedang hamil, dan orang­tuanya tengah sakit. Se­lain itu, Hendra menyampaikan bah­wa di­rinya selama ini selalu ditu­gas­kan di daerah-daerah terpencil.

Pada kesimpulan MKH, Hen­dra disebut terbukti melakukan pe­langgaran Kode Etik dan Pe­doman Perilaku Hakim, karena menerima uang sebesar Rp 40 juta dari terdakwa perkara yang ditanganinya. Tapi, pada akhir per­sidangan, MKH tidak men­jatuhkan sanksi pemecatan ke­pada Hendra.

“Memutuskan, menerima pem­belaan terlapor sebagian. Me­mu­tuskan terlapor terbukti bersalah melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Peri­laku Ha­kim. Menjatuhkan hu­ku­man de­ngan sanksi berat dimu­tasikan ke Pengadilan Tinggi Surabaya, Jawa Timur, sebagai ha­kim non palu selama satu ta­hun, dan di­ku­rangi tunjangannya sebesar se­ratus persen selama satu tahun,” ujar Suparman Marzuki saat membacakan vonis.

Baru Rekomendasi Belum Tentu Salah

Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari me­nanggapi positif rekomendasi KY maupun investigasi MA da­lam menelusuri laporan tentang hakim-hakim nakal.

Paling tidak, upaya-upaya ter­sebut menunjukkan adanya ko­mitmen lembaga peradilan me­ngubah paradigma atau stig­ma buruk yang selama ini di­sandangnya. Hal tersebut, kata dia, idealnya mendapat duku­ngan masyarakat.

Terobosan-terobosan yang diikuti sanksi terhadap hakim, di­harapkannya mampu mem­bangkitkan efek jera. Dengan be­gitu, pada masa mendatang kabar tentang masih adanya ha­kim yang masuk angin dalam me­na­ngani perkara bisa di­minimalisir.

Dia juga meminta, sidang Ma­jelis Kehormatan Hakim (MKH) yang berisi agenda pe­meriksaan atau klarifikasi ter­ha­dap hakim, hendaknya di­man­faatkan secara optimal un­tuk menggali fakta. Bukan se­baliknya, sebagai alat untuk men­­diskreditkan hakim. Toh me­­nurutnya, hakim yang diperik­sa di MKH belum tentu bersalah.

Selain itu, sinergi KY, MA dan masyarakat menjadi fak­tor menentukan dalam me­ngontrol hakim. “Jangan sam­pai tindak-tanduk hakim se­ba­gai benteng penegak keadilan justru mencoreng wibawa hu­kum itu sendiri. Itu bisa sangat mem­bahayakan proses pene­ga­kan hukum,” kata anggota DPR dari Fraksi PDIP ini.

Peran KY dan MA menga­wa­si, mengevaluasi dan menindak hakim tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan optimal dari ma­syarakat. Dalam panda­ngan­nya, masyarakat punya ke­pen­tingan besar dalam proses pe­ne­gakan hukum. Sebagai pen­cari keadilan, masyarakat me­ra­sakan langsung sikap dan ke­te­gasan hakim dalam me­na­nga­ni suatu perkara. Dengan kata lain, bentuk reaksi masyarakat, ka­tanya, mencerminkan wajah pe­negakan hukum itu sendiri. “Apa dan bagaimana kualitas pe­negakan hukum itu tercermin dari pola perilaku masyarakatnya.”

Dia mengingatkan, hakim se­b­a­gai penjaga gawang keadilan harus memberikan contoh po­sitif dalam upaya mem­bang­kit­kan kesadaran hukum mas­ya­rakat. Lazimnya, putusan ha­kim yang pro justicia serta ke­taatan terha­dap aturan dan etika, bisa men­jadi tonggak dalam me­ngem­ba­likan citra hakim yang terpuruk. Untuk me­wu­jud­kan hal tersebut, MA perlu ber­si­nergi dengan KY, DPR dan ma­syarakat secara be­rk­­e­si­na­mb­u­ngan.

Transparansi Jadi Faktor Kunci

M Hendra Setiawan, Kadiv Monitoring MaPPI

Kepala Divisi Monitoring LSM Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) M Hendra Setiawan meminta Mah­kamah Agung cepat meres­pon rekomendasi Komisi Yu­di­sial. Cepatnya respon MA, oto­matis akan membuka peluang cepat­nya proses penjatuhan sanksi ter­hadap hakim-hakim nakal me­lalui mekanisme si­dang Ma­jelis Kehormatan Ha­kim (MKH).

Menurutnya, sejauh ini tidak ada aturan baku tentang pelak­sanaan MKH oleh MA. Dengan kata lain, MA mempunyai ke­we­nangan menentukan waktu, kapan sidang MKH digelar atau dibuka. “Sidang MKH itu men­jadi kewenangan MA penuh. KY hanya bersifat me­re­ko­men­da­si­kan agar MA menggelar sidang setelah ada rekomendasi dugaan pelanggaran hakim,” katanya.

Namun, kata Hendra, bukan berarti MA boleh menutup sis­tem atau mekanisme pen­ja­tu­han sanksi bagi hakim nakal. Toh, menurutnya, ada badan pe­ngawasan di MA yang bertugas mengawasi dan menindak ha­kim-hakim nakal. Tapi, pe­ngam­bilan sanksi lewat me­ka­nisme sidang MKH punya bo­bot lebih baik.

Obyektivitas pengambilan pu­tusan MKH, menurutnya, bisa lebih terlihat. Soalnya, se­lain melibatkan unsur luar yak­ni KY, sidang MKH terbuka se­hingga bisa diakses publik. “Per­soalan transparansi jadi fak­tor kunci yang menentukan ke­ber­hasilan dalam meng­h­asil­kan pu­tusan atau sanksi,” ucapnya.

Dia menyambut positif lang­kah KY maupun MA yang me­nerima dan memproses laporan aduan tentang hakim-hakim ber­masalah. Karena itu, dia me­minta, lembaga-lembaga ter­se­but menunjukkan komitmennya dalam menertibkan hakim-ha­kim bermasalah.

“MKH itu adalah sarana un­tuk pemeriksaan. Di situ pe­lapor dan terlapor dip­er­te­mu­kan. Bukti-buktinya pun akan di­buka dan menjadi pert­imb­a­ngan majelis MKH,” ujarnya.

Hendra meminta, proses MKH hendaknya tak dilak­sa­nakan berlarut-larut. Begitu ada rekomendasi KY atau la­po­ran dugaan pelanggaran be­rat, MA sebaiknya segera merespon rekomendasi KY secara pro­por­sional. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA