RMOL. Selain disidang karena kasus korupsi, pegawai Ditjen Pajak Dhana Widyatmika juga didakwa melakukan pencucian uang.
Uang yang dicuci itu, dicurigai jaksa merupakan hasil korupsi Dhana Widyatmika (DW). SoalÂnya, tak sesuai dengan profil pengÂhasilan resmi DW sebagai peÂgaÂwai negeri sipil (PNS). Misalnya, gaji yang dibawa pulang DW (take home pay) pada 2008 seluÂruhnya Rp 129.625.850, pada 2009 sebesar Rp 140.697.150, pada 2010 sebesar Rp 137.237.317, pada 2011 sebesar Rp 129.201.742.
DW diangkat sebagai PNS Direktorat Jenderal Pajak pada 22 November 1995 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KM-1583/SJ.2.3/UP.1/95. Jabatan awalnya adalah AcÂcount Representatif pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Dua, dengan struktur gaji berupa gaji pokok dan tunÂjangan khusus (uang makan dan uang visit atau insidentil).
Menurut dakwaan jaksa penunÂtut umum (JPU), pria kelahiran 3 Maret 1974 ini, memiliki pengÂhasilan lain di luar pekerjaannya sebagai pegawai Ditjen Pajak. Yakni, gaji sebagai Komisaris PT Mitra Modern Mobilindo sebesar Rp 10 juta setiap bulan, sejak taÂhun 2006 sampai Februari 2012, atau sebelum dia ditahan KÂeÂjaksaan Agung.
Kemudian, penghasilan dari peÂternakan ayam yang dikeloÂlaÂnya bersama seseorang bernama Abdul Karim sejak Agustus 2009 sampai Februari 2012. Dari usaha itu, dia memperoleh keuntungan Rp 104.709.429 atau sekitar Rp 3.377.723,50 per bulan.
DW juga memperoleh pengÂhaÂsilan dari usaha minimarket BeÂtamart. Keuntungannya, Rp 7 juta hingga Rp 10 juta per bulan. ItuÂlah antara lain sumber pengÂhaÂsiÂlan resmi DW. Tapi, berdasarkan dakÂwaan, DW juga menerima seÂjumlah uang yang dicurigai meÂrupakan hasil korupsi. “Uang itu ditransaksikan dengan maksud meÂnyembunyikan atau menyaÂmarÂkan asal usulnya,†tandas JPU Wismantanu di Pengadilan TiÂpikor, Jakarta.
Dari penelusuran jaksa penyiÂdik, ditemukan uang milik DW bertebaran antara lain di Bank CIMB Niaga Cabang Jakarta, Private Banking dengan Nomor Rekening 0530100848117 yang berisi sebesar Rp 4.085.028.105,5, di Bank HSBC Cabang Jakarta Kelapa Gading dengan nomor reÂkening 018062430808 sejumlah Rp 2.632.620.502, di Standard Chartered Bank dengan total 271.643.59 Dolar AS.
Kemudian, di Bank Mandiri Cabang Jakarta Imam Bonjol dengan nomor rekening 12200Â8Â8Â0Â906709 sebesar Rp 474. 500.315, di CIMB Niaga Jakarta SuÂdirman dengan nomor rekening 2370102814188 sebesar Rp 54.000.000, di CIMB Niaga Jakarta Sudirman dengan nomor rekening 0530200669007 sebesar 30.545.05 Dolar AS, di BCA KCU Jakarta Kalimalang dengan nomor rekening 2300860861 sebesar Rp 4.169.736.347.
Jadi, tegas Wismantanu, jumÂlah uang masuk ke rekening-reÂkeÂning itu adalah Rp 11.415.885.270 (seÂkitar Rp 11,4 miliar) dan 302.189 Dolar Amerika Serikat.
DW juga menyimpan uang dalam bentuk mata uang Dinar Irak, Riyal Saudi Arabia dan DoÂlar Singapura. Dia menyimpan uang itu di safe deposit box Bank Mandiri, cabang Mandiri Plaza noÂmor 40572 dan di rumahnya, di Perum Curug Indah Jalan Elang Indopura Blok A7/15 RT 004 RW 008 Cipinang Melayu, Kelurahan Cipinang Melayu, KeÂcamatan Makasar, Jakarta Timur.
DW juga didakwa mendapat gratifikasi Rp 2 miliar dari terÂsangka Herly Isdiharsono selaku sesama pegawai Ditjen Pajak, terkait pengurangan kewajiban pajak PT Mutiara Virgo. Uang itu dikirim ke rekening DW di Bank Mandiri Cabang Jakarta Nindya Karya Nomor 070-0004493545 pada 11 Januari 2006 sebesar Rp 3,4 miliar.
Uang itu digunakan untuk membeli rumah di Jalan Pemuda, Taman Berdikari Sentosa, Blok E Nomor 1-2 Rawamangun, Jakarta Timur atas nama Herly IsdiÂharÂsono, sebesar Rp 1,4 miliar. “SeÂbesar Rp 2 miliar digunakan DhaÂna untuk kepentingan priÂbaÂdiÂnya,†tandas Wismantanu.
Menurut pengacara DW, Lutfi Hakim, dakwaan jaksa tidak seÂsuai fakta. Lantaran itu, meÂnuÂrutÂnya, JPU tidak percaya diri memÂbawa kasus ini ke pengadilan. “Sebelumnya gembar-gembor soal uang Rp 60 miliar, nyatanya tak ada dalam dakwaan. Hanya 1 sampai 2 miliar,†katanya.
REKA ULANG
Dari Emas Hingga Properti
Pengacara Dhana WidyatÂmika (DW), Lutfi Hakim tak teÂrima kliennya didakwa melakuÂkan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Menurut Lutfi, dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) mengenai pencucian uang itu tidak konÂsisten. “Pencucian uangnya tidak jelas, karena JPU tidak bisa meÂnyebutÂkan berapa jumlah total TPPU dan apa predikat crimeÂnya,†tegas dia.
Berdasarkan dakwaan JPU, DW juga berupaya menyemÂbuÂnyiÂkan uang yang diduga hasil koÂrupsi dengan cara membeli loÂgam mulia Fine Gold Aneka TamÂbang pada 9 Mei 2011 sebeÂrat 1100 gram. Emas itu keÂmuÂdian disimpan di safe deposit box Bank Mandiri, Cabang Mandiri Plaza, nomor 40572.
DW juga menggunakan uang untuk membeli tanah dan proÂperti. Ada 11 kavling tanah yang dibelinya. Selain itu, DW memÂbeli satu buah kotak berisi jam tangan merek Tissot, MonÂaÂco, CoÂrum dan tali jam merek Pro Tek, satu unit jam tangan merek Rolex dengan harga Rp 103.000.000.
Modus lainnya adalah membeli mobil yang seolah-olah barang daÂgaÂngan PT Mitra Modern MobiÂlindo 88, showroom milik DW dan rekannya sesama pegaÂwai Ditjen Pajak, Herly IsdiharÂsono. Ada 16 unit kendaraan roda empat berÂbaÂgai merek dan truk yang dibelinya.
DW juga menginvestasikan harta kekayaan yang diduga berÂasal dari hasil korupsi ke bidang properti, yakni bekerjasama deÂngan PT Bangun Persada SeÂmesÂta. Dia juga menempatkan uang di 29 penyedia jasa keuangan.
Aset dan kekayaan PNS goloÂngan 3 C yang begitu besar itu, dicurigai berasal dari sejumlah tindak pidana korupsi terkait pekerjaan dan jabatannya sebagai pegawai Direktorat Jenderal PaÂjak Kementerian Keuangan.
Perbuatan penempatan, transÂfer, pengalihan, pemÂbelanjaan, pemÂbaÂyaÂran, menukarkan deÂngan mata uang atau surat berÂharÂga atau perÂbuatan lain yang dilaÂkukan DW atas harta kekaÂyaanÂnya, tidak seÂsuai dengan pendaÂpatan yang diÂperoleh, serta tidak dapat diperÂtanggungjawabkan secara legal.
Lantaran itu, DW antara lain diÂdakwa dengan ancaman pidana Pasal 3 Undang Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak PiÂdana Pencucian Uang junto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
Minta Jaksa Terapkan Jurus Pembuktian Terbalik
Alvon Kurnia Palma, Ketua YLBHI
Ketua Yayasan Lembaga BanÂtuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma mengingatkan, jaksa penuntut umum (JPU) mesti jeli melihat apa saja tindakan Dhana WidÂyatmika (DW) yang melawan hukum.
Penerapan pasal-pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU), menurutnya, akan sangat efektif mengusut korupsi yang didakÂwakan kepada DW. “Artinya, DW harus membuktikan bahwa uang yang diterimanya meruÂpaÂkan aktivitas keuangan yang legal. Di situ jaksa harus meÂngeÂjar, apakah uang itu legal atau tidak,†katanya, kemarin.
Lantaran itu, Alvon meÂnyaÂrankan jaksa penuntut umum (JPU) agar menggunakan pemÂbuktian terbalik dari DW, apaÂkah seluruh harta kekayaan peÂgawai negeri sipil (PNS) goÂloÂngan 3 C itu berasal dari dana yang legal. “Kalau terdakwa tiÂdak bisa membuktikan, artinya harta kekayaan yang ada pada terÂdakwa tidak legal,†tandasnya.
JPU, menurut Alvon, juga bisa menggunakan Pasal 12 E Undang Undang Tindak Pidana Korupsi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta itu. “Karena dalam dakwaan itu ada unsur pemerasan,†ujarnya.
Selanjutnya, dari persidangan tersebut, para pelaku lainnya yang belum menjadi tersangka mesti diproses secara hukum juga. Tapi, lanjutnya, proses pemÂbÂuktian di pengadilan, terÂmasuk menjerat dan memÂbongÂkar para pelaku lainnya, sangat tergantung pada dakwaan terÂsebut. “Ini sangat tergantung pada dakwaan yang telah dibuat keÂjaksaan,†katanya.
Banyak Celah Kaburkan Substansi
Deding Ishak, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Deding Ishak mewanti-wanti, pengusutan kasus korupsi pajak dan pencucian uang mesti seÂpenuh hati. Persoalannya, meÂnuÂrut dia, seringkali aparat peÂnegak hukum memanfaatkan ceÂlah untuk “membonsai†kaÂsus. Sehingga, perkara-perkara yang mengandung nilai keruÂgian negara itu, lari dari subÂstansinya.
“Banyak celah bagi penegak hukum untuk menyembunyikan atau mengaburkan substansi perkara korupsi dan pencucian uang seperti ini. Karena itu, perÂlu kontrol masyarakat,†kataÂnya, kemarin.
Bila mengedepankan faktor subyektifitas aparat penegak hukum, menurut Deding, samÂpai kapan pun proses penguÂsuÂtan kasus korupsi, seperti yang terjadi pada sektor pajak, tidak akan pernah mengalami perÂkembangan signifikan.
“Kasus korupsi dan penÂcuÂcian uang di sektor pajak ini, sampai sekarang belum makÂsiÂmal pengusutannya. Penegakan hukumnya masih setengah hati. Dakwaan jaksa juga setengah hati,†nilainya.
Dia curiga, pengusutan terkeÂsan mandul karena proses huÂkum yang kental unsur subÂyekÂtifitasnya. “Dalam proses peÂneÂgakan hukum, ada proses subÂyektifitas dari penyidik, penunÂtut dan hakim. Nah, itu harus diÂawasi terus. Semoga penguÂsuÂtan kasus Dhana Cs ini tidak meÂngedepankan unsur subÂyekÂtifitas jaksa dan hakim.â€
Deding juga berharap, dakÂwaÂan yang telah dibacakan di persidangan itu dibuat sepenuh hati. “Kalau jaksa membuat dakÂwaan, harus membuat dakÂwaan yang menjerat pihak lain yang terlibat, seperti mengÂguÂnaÂkan pasal-pasal dalam UnÂdang Undang Pencucian Uang. Bongkar semua yang terlibat,†tandasnya.
Membongkar para pelaku koÂrupsi atau mafia pajak, lanÂjutÂnya, harus penuh komitmen dan keÂseriusan. “Bongkar semua maÂfia pajak itu. Kemudian, huÂkum seberat-beratnya. Ingat, pajak adalah sumber peÂneÂriÂmaÂan kas negara terbesar,†tegasnya.
Deding menambahkan, peÂneÂgaÂkan hukum semestinya tidak berkutat pada pendekatan legal formal semata. “Harus mengeÂdepankan penegakan hukum yang substansial. Dari proses yang terjadi, bisa kita lihat arah pemberantasan korupsi kita kemana,†ucapnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: