Dalam dakwaan kedua, pegaÂwai negeri golongan 3 C pada Ditjen Pajak Kementerian KeÂuangan itu, disebut telah meÂlaÂkukan atau turut serta memperÂkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang meÂruÂgikan keuangan negara. Caranya, DW bersama tim yang dipimÂpinnya, melakukan rekayasa besaran pajak PT Kornet Trans Utama (KTU).
Ceritanya begini, terhitung muÂlai 12 Juli 2005, DW ditetapÂkan sebagai Koordinator PelakÂsana PPh Badan II Kantor PelaÂyanan Pajak (KPP) Jakarta Pancoran.
DW kemudian ditugaskan seÂbagai Tim Pemeriksa Pajak sÂeÂsuai Surat Perintah Pemeriksaan Pajak yang dikeluarkan KPP Pajak Pancoran Nomor: Print-155/WPJ.04/KP.0805/2005 terÂtanggal 18 November 2005.
Berdasarkan surat itu, Tim ini terdiri dari Supervisor Firman, Ketua Tim DW dan anggota tim Salman Maghfiroh. “Tim inilah yang ditugaskan untuk melaÂkuÂkan pemeriksaan khusus terhadap wajib pajak badan PT Kornet Trans Utama,†kata Koordinator Jaksa Penuntut Umum (JPU) Wismantanu saat membacakan dakwaan dalam sidang di PeÂngadilan Tipikor, Jakarta pada Senin, 2 Juli.
Pemeriksaan khusus terhadap PT KTU itu menggunakan data eksternal. Atau, menggunakan data yang bukan dari PT KTU. Oleh DW dan Salman, data itu tiÂdak divalidasi melalui Seksi PeÂngolahan Data Informasi (PDI) Kantor Pelayanan Pajak dan tidak ditandatangani pihak PT KTU. “Hal itu bertentangan dengan PaÂsal 9 Ayat 1 Undang Undang NoÂmor 8 Tahun 1997 tentang DoÂkumen Perusahaan,†tandas Wismantanu.
Pada Desember 2005, DW meÂmerintahkan Salman memanggil pengurus PT KTU untuk meÂlengkapi dokumen SPT Pajak PPh Badan, PPh 21 dan PPn yang sebelumnya sudah disampaikan staf akunting PT KTU Riana JuÂliarti. Namun, karena tak memÂbawa dokumen Laporan KeÂuangan PT KTU 2001, maka diÂjanjikan satu minggu berikutnya akan dilengkapi.
Masih pada Desember 2005, Salman meminta bertemu pimÂpinan PT KTU di Starbuck Tebet Indraya Square (TIS), Tebet, JaÂkarta Selatan. Selanjutnya, antara Desember 2005 hingga awal Januari 2006, ada dua pertemuan antara DW bersama Salman dengan Direktur Utama PT KTU Lee Jung Ho alias Mr Leo, DiÂrektur PT KTU Rudi Agustianda Sitepu dan Riana.
Dalam pertemuan itu, DW dan SaÂlman menyampaikan kepada pimÂpinan PT KTU, terdapat data eksternal berupa Laporan KeÂuangan PT KTU 2002 yang berÂbeda dengan Laporan Keuangan PT KTU yang digunakan sebagai dasar pengajuan Surat Pajak TerÂhutang (SPT).
Menurut JPU, DW dan Salman menyampaikan, mereka selaku petugas pajak bisa saja tidak menggunakan data atau laporan keuangan PT KTU yang sudah ada. Tapi, mengacu pada data eksÂternal sebagai dasar pengÂhiÂtungan pajak. Apabila data eksÂternal yang digunakan sebagai daÂsar perhitungan pajak, maka kewajiban pajak PT KTU akan lebih tinggi.
Dengan alasan, KPP akan meÂnerbitkan Ketetapan Pajak KuÂrang Bayar (SKPKB) PT KTU 2002 yang perhitungannya berÂdaÂsarÂkan data eksternal, yaitu sebeÂsar Rp 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah), DW dan Salman meÂnaÂwarkan bantuan mengurangi nilai SKPKB dengan permintaan imÂbalan sebesar Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Saat itu, pihak PT KTU belum menentukan sikap, karena harus terlebih dahulu melaporkan peÂnawaran DW dan Salman kepada atasan mereka, Mr Cha Jeong Keun. Pada Mei 2007, pihak PT KTU memutuskan tidak melÂaÂyani permintaan DW dan Salman itu. PT KTU akan mengajukan kebeÂratan melalui Pengadilan Pajak.
Setelah pembacaan dakwaan, KeÂtua Majelis Hakim Herdy AgusÂtin bertanya kepada DW, apaÂkah mengerti dakwaan yang dibacakan JPU. “Saya cukup meÂngerti yang mulia,†jawab DW.
Seusai sidang, pengacara DW, Lutfi Hakim menyatakan bahwa dakwaan JPU tidak sesuai fakta. “Sebelumnya gembar-gembor soal uang Rp 60 miliar, nyatanya tidak ada dalam dakwaan. Hanya 1 sampai 2 miliar. JPU tidak perÂcaya diri membawa kasus ini ke pengadilan. Ini pepesan kosong,†tandasnya.
REKA ULANG
Kisah Pajak Kurang Bayar Di Pancoran
Lantaran permintaannya sebesar satu miliar rupiah tidak dipenuhi PT Kornet Trans Utama (KTU), menurut dakwaan jaksa, Tim Pemeriksa Pajak yang diÂketuai Dhana Widyatmika (DW) mengusulkan angka pajak terÂutang yang harus dibayar peÂrusahaan itu.
Selanjutnya, atas surat usulan tim yang dipimpin DW, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Pancoran, Jakarta mengeluarkan Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan rincian; PPN Januari-Desember 2002, jumlah yang masih harus dibayar sebesar Rp 787.540.398,00.
April 2006, jumlah yang harus dibayar Rp 1.468.721.600,00. Kemudian, untuk PPh Badan Tahun Pajak 2002, jumlah yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.468.721.600,00. PPh 21 tahun Pajak 2002, jumlah yang harus dibayar Rp 89.970.888,00.
Atas ketetapan KPP Pancoran itu, PT KTU melalui jasa konÂsulÂtan pajak Petrus Bernadus mengÂhitung kembali tiga SKPKB itu dan diperoleh jumlah yang harus dibayarkan adalah PPn sebesar Rp 209.913.020,00. Sedangkan unÂtuk PPh Badan dan PPh 21 nihil. Selanjutnya PT KTU meÂngajukan banding.
Untuk mengajukan banding, sesuai ketentuan Pasal 36 Ayat 4 Undang Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, PT KTU diwajibkan membayar 50 persen dari jumlah pajak terÂutang sebagaimana SKPKB. RinÂciannya; 50 persen dari PPn-JumÂlah Pajak Terutang Rp 787.540.389, yakni Rp 397.770.199,00. KemuÂdian, 50 persen dari PPh Badan-JumÂlah PaÂjak Terhutang Rp 1.468.721.600, yakÂni Rp 734.360.800,00. SelanÂjutÂnya, 50 persen dari PPh Pasal 21-JumlÂah Pajak terutang Rp 89.970.888,00, yakni Rp 44.985.444. Totalnya Rp 1.177.116.443.
Singkat cerita, banding PT KTU dikabulkan Majelis Hakim IX Pengadilan Pajak. Sehingga, jumlah yang harus dibayarkan PT KTU adalah, untuk PPh 21 nihil, untuk PPh Badan Rp 1.274.460, untuk PPn Rp 209.913.020.
Menurut dakwaan jaksa peÂnuntut umum (JPU), akibat ulah Dhana dkk menggunakan data eksternal, negara yang sehaÂrusÂnya memperoleh pendapatan dari sektor pajak yakni dari PPn, PPh Badan dan PPh Pasal 21 khuÂsusÂnya dari PT KTU, justru harus membayar kompensasi Rp 920.843.519 kepada PT KTU. Sehingga, terjadi kerugian negara sebesar Rp 967.116.443, ditamÂbah bunga sebesar Rp 241.677.040.
Secara keseluruhan, pada dakwaan kedua, Dhana dkk merugikan keuangan negara sebesar Rp 1.208.783.483, atau setidak-tidaknya sebesar Rp 241.677.047.
Dakwaan Untuk DW Sangat Kecil
Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Yahdil Abdi Harahap menduga ada kesulitan yang dihadapi jakÂsa dalam pengusutan kasus paÂjak dan tindak pidana pencuÂciÂan uang (TPPU) dalam perkara Dhana Widyatmika (DW) dkk.
Menurut politisi PAN itu, jaksa belum maksimal menjerat sejumlah pihak yang diduga kuat terlibat. Hal itu pula yang terÂgambar dalam dakwaan jakÂsa pada sidang perdana Dhana. “Yang membuat kita bingung, kok hanya satu pengusaha yang dinyatakan terlibat dengan DW. Dia tangani banyak perkara waÂjib pajak,†ujar Yahdil, kemarin.
Karena itu, ujarnya, kejakÂsaÂan harus bisa memberikan penjelasan yang obyektif terkait peÂngusutan kasus ini, termasuk pembuatan dakwaan. “Ini harus dijelaskan Kejaksaan Agung, apakah kesulitan menelusuri permainan DW atau ada apa,†tandasnya.
Menurut Yahdil, melihat beÂgitu banyaknya usaha dan bisnis tak wajar yang dimiliki pegawai pajak golongan 3 C seperti DhaÂna, dakwaan jaksa yang hanya menemukan suap berkisar Rp 1 hingga 2 miliar sangatlah kecil. “Usaha-usaha yang dimiliki DW saja sudah lebih dari 2,5 miliar. Kenapa yang terungkap malah kecil,†tandasnya.
Yahdil menganggap, wajar ada kesulitan bagi penyidik menelusuri semua pihak dalam kasus ini. Namun, bukan berarti dibiarkan begitu saja. “Karena kejahatan ini terlihat sangat rapih. Fakta-fakta itu mudah-mudahan bisa diungkap di perÂsidangan,†katanya.
Dia pun berharap, persidaÂngan DW dan para tersangka lainnya bisa mengungkap lebih jauh lagi kasus ini. “Tidak haÂnya berharap pada dakwaan jaksa. Hakim juga harus meÂngembangkan pertanyaan-perÂtanyaan yang kritis dan meÂngarah pada para pelaku, aliran dana dan para wajib pajak lainÂnya,†ujar dia.
Ada Take And Give
Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi meÂnyamÂpaikan, kasus korupsi paÂjak dan pencucian uang ini bisa diÂperÂcepat penanganannya di keÂjakÂsaan, sehingga rekan-reÂkan DhaÂna Widyatmika (DW) juga bisa segera dibawa ke pengadilan.
Soalnya, menurut Andi, keÂjaksaan sudah memiliki banyak informasi mengenai kasus ini dari para tersangka dan para sakÂsi. “Kejaksaan semestinya bisa bertindak lebih cepat, kaÂrena Dhana Cs saya rasa sudah biÂcara siapa saja yang terlibat. MeÂreka juga sudah punya data meÂngenai kasus ini dari penyeÂliÂdikan dan penyidikan,†katanya.
Dari hasil penyelidikan, peÂnyidikan, keterangan para saksi dan tersangka, kejaksaan dapat menelusuri siapa saja yang terÂlibat kasus ini, selain lima orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan satu orang yang teÂlah menjadi terdakwa. “TeÂluÂsuri dong siapa saja selain meÂreÂÂka yang telah menjadi terÂsangÂÂka dan terdakwa,†ujar Andi.
Tersangka kasus ini yakni Johnny Basuki (wajib pajak), Firman (pegawai Ditjen Pajak), Herly Isdiharsono (pegawai DitÂjen Pajak), Salman MaghÂfiroh (pegawai Ditjen Pajak) dan Hendro Tirtawijaya (konÂsultan pajak). Sedangkan DW telah menjadi terdakwa di PeÂngadilan Tipikor Jakarta.
Nah, Andi curiga, kasus ini tiÂdak hanya melibatkan lima terÂsangka dan satu terdakwa. Lantaran itu, dia mengingatkan Kejaksaan Agung agar juga meÂnyelidiki, apakah ada elit pajak yang terlibat kasus koÂrupsi dan pencucian uang ini.
“Yang meÂnyuap saja mungÂkin bukan satu orang. Belum lagi bos-bosÂnya, apakah turut meÂnikmati praktik itu. Semua harus diproÂses. Ada take and give. Ada yang dibantu, ada yang diberikan.â€
Andi menilai, kasus korupsi seperti ini, biasanya sudah terÂsuÂsun secara sistematis. KeÂjaksaan, menurutnya juga sudah tahu mengenai modus seperti itu. Tapi, dia heran, kenapa peÂnanganan kasus seperti ini haÂnya menyentuh para pelaku di tingkat operator dan cenderung lamban. “Ada apa sebenarnya? Kejaksaan memiliki kendala apa, sehingga tak bisa bergerak lebih cepat? Padahal, kita berÂharap kejaksaan bisa berada di barisan terdepan dalam pemÂberantasan korupsi,†ujarnya.
Dia mengingatkan, kejaksaan jangan sampai tersandera keÂpentingan atau permainan piÂhak-pihak yang ingin meloÂkaÂlisir kasus tersebut. “Itu akan menciderai kepercayaan masyaÂrakat. Masyarakat bisa sangat marah,†tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: