Dhana Widyatmika Didakwa Minta 1 Miliar Ke Pengusaha

Selain Diduga Terima Gratifikasi Rp 2 Miliar

Rabu, 04 Juli 2012, 10:25 WIB
Dhana Widyatmika Didakwa Minta 1 Miliar Ke Pengusaha
Dhana Widyatmika
RMOL. Dhana Widyatmika alias DW kena tiga dakwaan. Dalam berita kemarin telah diuraikan dakwaan pertama, yakni penerimaan gratifikasi sebesar dua miliar rupiah. Berita kali ini menguraikan dakwaan kedua, yaitu mengenai aksi DW dan kawan-kawannya meminta satu miliar rupiah kepada wajib pajak.

Dalam dakwaan kedua, pega­wai negeri golongan 3 C pada Ditjen Pajak Kementerian Ke­uangan itu, disebut telah me­la­kukan atau turut serta memper­kaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang me­ru­gikan keuangan negara. Caranya, DW bersama tim yang dipim­pinnya, melakukan rekayasa besaran pajak PT Kornet Trans Utama (KTU).

Ceritanya begini, terhitung mu­lai 12 Juli 2005, DW ditetap­kan sebagai Koordinator Pelak­sana PPh Badan II Kantor Pela­yanan Pajak (KPP) Jakarta Pancoran.

DW kemudian ditugaskan se­bagai Tim Pemeriksa Pajak s­e­suai Surat Perintah Pemeriksaan Pajak yang dikeluarkan KPP Pajak Pancoran Nomor: Print-155/WPJ.04/KP.0805/2005 ter­tanggal 18 November 2005.

Berdasarkan surat itu, Tim ini terdiri dari Supervisor Firman, Ketua Tim DW dan anggota tim Salman Maghfiroh. “Tim inilah yang ditugaskan untuk mela­ku­kan pemeriksaan khusus terhadap wajib pajak badan PT Kornet Trans Utama,” kata Koordinator Jaksa Penuntut Umum (JPU) Wismantanu saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pe­ngadilan Tipikor, Jakarta pada Senin, 2 Juli.

Pemeriksaan khusus terhadap PT KTU itu menggunakan data eksternal. Atau, menggunakan data yang bukan dari PT KTU. Oleh DW dan Salman, data itu ti­dak divalidasi melalui Seksi Pe­ngolahan Data Informasi (PDI) Kantor Pelayanan Pajak dan tidak ditandatangani pihak PT KTU. “Hal itu bertentangan dengan Pa­sal 9 Ayat 1 Undang Undang No­mor 8 Tahun 1997 tentang Do­kumen Perusahaan,” tandas Wismantanu.

Pada Desember 2005, DW me­merintahkan Salman memanggil pengurus PT KTU untuk me­lengkapi dokumen SPT Pajak PPh Badan, PPh 21 dan PPn yang sebelumnya sudah disampaikan staf akunting PT KTU Riana Ju­liarti. Namun, karena tak mem­bawa dokumen Laporan Ke­uangan PT KTU 2001, maka di­janjikan satu minggu berikutnya akan dilengkapi.

Masih pada Desember 2005, Salman meminta bertemu pim­pinan PT KTU di Starbuck Tebet Indraya Square (TIS), Tebet, Ja­karta Selatan. Selanjutnya, antara Desember 2005 hingga awal Januari 2006, ada dua pertemuan antara DW bersama Salman dengan Direktur Utama PT KTU Lee Jung Ho alias Mr Leo, Di­rektur PT KTU Rudi Agustianda Sitepu dan Riana.

Dalam pertemuan itu, DW dan Sa­lman menyampaikan kepada pim­pinan PT KTU, terdapat data eksternal berupa Laporan Ke­uangan PT KTU 2002 yang ber­beda dengan Laporan Keuangan PT KTU yang digunakan sebagai dasar pengajuan Surat Pajak Ter­hutang (SPT).

Menurut JPU, DW dan Salman menyampaikan, mereka selaku petugas pajak bisa saja tidak menggunakan data atau laporan keuangan PT KTU yang sudah ada. Tapi, mengacu pada data eks­ternal sebagai dasar peng­hi­tungan pajak. Apabila data eks­ternal yang digunakan sebagai da­sar perhitungan pajak, maka kewajiban pajak PT KTU akan lebih tinggi.

Dengan alasan, KPP akan me­nerbitkan Ketetapan Pajak Ku­rang Bayar (SKPKB) PT KTU 2002 yang perhitungannya ber­da­sar­kan data eksternal, yaitu sebe­sar Rp 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah), DW dan Salman me­na­warkan bantuan mengurangi nilai SKPKB dengan permintaan im­balan sebesar Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Saat itu, pihak PT KTU belum menentukan sikap, karena harus terlebih dahulu melaporkan pe­nawaran DW dan Salman kepada atasan mereka, Mr Cha Jeong Keun. Pada Mei 2007, pihak PT KTU memutuskan tidak mel­a­yani permintaan DW dan Salman itu. PT KTU akan mengajukan kebe­ratan melalui Pengadilan Pajak.

Setelah pembacaan dakwaan, Ke­tua Majelis Hakim Herdy Agus­tin bertanya kepada DW, apa­kah mengerti dakwaan yang dibacakan JPU. “Saya cukup me­ngerti yang mulia,” jawab DW.

Seusai sidang, pengacara DW, Lutfi Hakim menyatakan bahwa dakwaan JPU tidak sesuai fakta. “Sebelumnya gembar-gembor soal uang Rp 60 miliar, nyatanya tidak ada dalam dakwaan. Hanya 1 sampai 2 miliar. JPU tidak per­caya diri membawa kasus ini ke pengadilan. Ini pepesan kosong,” tandasnya.

REKA ULANG

Kisah Pajak Kurang Bayar Di Pancoran

Lantaran permintaannya sebesar satu miliar rupiah tidak dipenuhi PT Kornet Trans Utama (KTU), menurut dakwaan jaksa, Tim Pemeriksa Pajak yang di­ketuai Dhana Widyatmika (DW) mengusulkan angka pajak ter­utang yang harus dibayar pe­rusahaan itu.

Selanjutnya, atas surat usulan tim yang dipimpin DW, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Pancoran, Jakarta mengeluarkan Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan rincian; PPN Januari-Desember 2002, jumlah yang masih harus dibayar sebesar Rp 787.540.398,00.

April 2006, jumlah yang harus dibayar Rp 1.468.721.600,00. Kemudian, untuk PPh Badan Tahun Pajak 2002, jumlah yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.468.721.600,00. PPh 21 tahun Pajak 2002, jumlah yang harus dibayar Rp 89.970.888,00.

Atas ketetapan KPP Pancoran itu, PT KTU melalui jasa kon­sul­tan pajak Petrus Bernadus meng­hitung kembali tiga SKPKB itu dan diperoleh jumlah yang harus dibayarkan adalah PPn sebesar Rp 209.913.020,00. Sedangkan un­tuk PPh Badan dan PPh 21 nihil. Selanjutnya PT KTU me­ngajukan banding.

Untuk mengajukan banding, sesuai ketentuan Pasal 36 Ayat 4 Undang Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, PT KTU diwajibkan membayar 50 persen dari jumlah pajak ter­utang sebagaimana SKPKB. Rin­ciannya; 50 persen dari PPn-Jum­lah Pajak Terutang Rp 787.540.389, yakni Rp 397.770.199,00. Kemu­dian, 50 persen dari PPh Badan-Jum­lah Pa­jak Terhutang Rp 1.468.721.600, yak­ni Rp 734.360.800,00. Selan­jut­nya, 50 persen dari PPh Pasal 21-Juml­ah Pajak terutang Rp 89.970.888,00, yakni Rp 44.985.444. Totalnya Rp 1.177.116.443.

Singkat cerita, banding PT KTU dikabulkan Majelis Hakim IX Pengadilan Pajak. Sehingga, jumlah yang harus dibayarkan PT KTU adalah, untuk PPh 21 nihil, untuk PPh Badan Rp 1.274.460, untuk PPn Rp 209.913.020.

Menurut dakwaan jaksa pe­nuntut umum (JPU), akibat ulah Dhana dkk menggunakan data eksternal, negara yang seha­rus­nya memperoleh pendapatan dari sektor pajak yakni dari PPn, PPh Badan dan PPh Pasal 21 khu­sus­nya dari PT KTU, justru harus membayar kompensasi Rp 920.843.519 kepada PT KTU. Sehingga, terjadi kerugian negara sebesar Rp 967.116.443, ditam­bah bunga sebesar Rp 241.677.040.

Secara keseluruhan, pada dakwaan kedua, Dhana dkk merugikan keuangan negara sebesar Rp 1.208.783.483, atau setidak-tidaknya sebesar Rp 241.677.047.

Dakwaan Untuk DW Sangat Kecil

Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Yahdil Abdi Harahap menduga ada kesulitan yang dihadapi jak­sa dalam pengusutan kasus pa­jak dan tindak pidana pencu­ci­an uang (TPPU) dalam perkara Dhana Widyatmika (DW) dkk.

Menurut politisi PAN itu, jaksa belum maksimal menjerat sejumlah pihak yang diduga kuat terlibat. Hal itu pula yang ter­gambar dalam dakwaan jak­sa pada sidang perdana Dhana. “Yang membuat kita bingung, kok hanya satu pengusaha yang dinyatakan terlibat dengan DW. Dia tangani banyak perkara wa­jib pajak,” ujar Yahdil, kemarin.

Karena itu, ujarnya, kejak­sa­an harus bisa memberikan penjelasan yang obyektif terkait pe­ngusutan kasus ini, termasuk pembuatan dakwaan. “Ini harus dijelaskan Kejaksaan Agung, apakah kesulitan menelusuri permainan DW atau ada apa,” tandasnya.

Menurut Yahdil, melihat be­gitu banyaknya usaha dan bisnis tak wajar yang dimiliki pegawai pajak golongan 3 C seperti Dha­na, dakwaan jaksa yang hanya menemukan suap berkisar Rp 1 hingga 2 miliar sangatlah kecil. “Usaha-usaha yang dimiliki DW saja sudah lebih dari 2,5 miliar. Kenapa yang terungkap malah kecil,” tandasnya.

Yahdil menganggap, wajar ada kesulitan bagi penyidik menelusuri semua pihak dalam kasus ini. Namun, bukan berarti dibiarkan begitu saja. “Karena kejahatan ini terlihat sangat rapih. Fakta-fakta itu mudah-mudahan bisa diungkap di per­sidangan,” katanya.

Dia pun berharap, persida­ngan DW dan para tersangka lainnya bisa mengungkap lebih jauh lagi kasus ini. “Tidak ha­nya berharap pada dakwaan jaksa. Hakim juga harus me­ngembangkan pertanyaan-per­tanyaan yang kritis dan me­ngarah pada para pelaku, aliran dana dan para wajib pajak lain­nya,” ujar dia.

Ada Take And Give

Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi me­nyam­paikan, kasus korupsi pa­jak dan pencucian uang ini bisa di­per­cepat penanganannya di ke­jak­saan, sehingga rekan-re­kan Dha­na Widyatmika (DW) juga bisa segera dibawa ke pengadilan.

Soalnya, menurut Andi, ke­jaksaan sudah memiliki banyak informasi mengenai kasus ini dari para tersangka dan para sak­si. “Kejaksaan semestinya bisa bertindak lebih cepat, ka­rena Dhana Cs saya rasa sudah bi­cara siapa saja yang terlibat. Me­reka juga sudah punya data me­ngenai kasus ini dari penye­li­dikan dan penyidikan,” katanya.

Dari hasil penyelidikan, pe­nyidikan, keterangan para saksi dan tersangka, kejaksaan dapat menelusuri siapa saja yang ter­libat kasus ini, selain lima orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan satu orang yang te­lah menjadi terdakwa. “Te­lu­suri dong siapa saja selain me­re­­ka yang telah menjadi ter­sang­­ka dan terdakwa,” ujar Andi.

Tersangka kasus ini yakni Johnny Basuki (wajib pajak), Firman (pegawai Ditjen Pajak), Herly Isdiharsono (pegawai Dit­jen Pajak), Salman Magh­firoh (pegawai Ditjen Pajak) dan Hendro Tirtawijaya (kon­sultan pajak). Sedangkan DW telah menjadi terdakwa di Pe­ngadilan Tipikor Jakarta.

Nah, Andi curiga, kasus ini ti­dak hanya melibatkan lima ter­sangka dan satu terdakwa. Lantaran itu, dia mengingatkan Kejaksaan Agung agar juga me­nyelidiki, apakah ada elit pajak yang terlibat kasus ko­rupsi dan pencucian uang ini.

“Yang me­nyuap saja mung­kin bukan satu orang. Belum lagi bos-bos­nya, apakah turut me­nikmati praktik itu. Semua harus dipro­ses. Ada take and give. Ada yang dibantu, ada yang diberikan.”

Andi menilai, kasus korupsi seperti ini, biasanya sudah ter­su­sun secara sistematis. Ke­jaksaan, menurutnya juga sudah tahu mengenai modus seperti itu. Tapi, dia heran, kenapa pe­nanganan kasus seperti ini ha­nya menyentuh para pelaku di tingkat operator dan cenderung lamban. “Ada apa sebenarnya? Kejaksaan memiliki kendala apa, sehingga tak bisa bergerak lebih cepat? Padahal, kita ber­harap kejaksaan bisa berada di barisan terdepan dalam pem­berantasan korupsi,” ujarnya.

Dia mengingatkan, kejaksaan jangan sampai tersandera ke­pentingan atau permainan pi­hak-pihak yang ingin melo­ka­lisir kasus tersebut. “Itu akan menciderai kepercayaan masya­rakat. Masyarakat bisa sangat marah,” tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA