Dhana Cuma Didakwa Korupsi Pajak 2 Miliar

Setelah Diduga Punya Duit Rp 60 Miliar

Selasa, 03 Juli 2012, 09:05 WIB
Dhana Cuma Didakwa Korupsi Pajak 2 Miliar
Dhana Widyatmika (DW)
RMOL. Apakah kasus korupsi pajak ini “dibonsai”, sehingga Dhana Widyatmika (DW) yang semula diduga punya duit Rp 60 miliar di rekeningnya, hanya didakwa korupsi sekitar Rp 2 miliar dalam sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, kemarin?

Pegawai negeri golongan 3 C pada Ditjen Pajak itu, disidang mulai pukul 12 siang, dengan agen­da pembacaan dakwaan. Si­dang ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Herdy Agustin. Sedang­kan jaksa penuntut umum (JPU) dikoordinir Wismantanu, dengan anggota M Yusuf Tangai, Fitri Zul­fahmi, Kuntadi, Rudi Har­tono, Syarief Sulaiman Nahdi, Noeradi, Gusti M. Sophan Syarif, Arif Yani dan Yoklina. DW yang me­ngenakan kemeja batik, di­dampingi kuasa hukumnya, antara lain Lutfi Hakim.

DW didakwa menerima gratifi­kasi dari wajib pajak pada 10 Ok­to­ber 2007 sebesar Rp 750.000.­000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). “Uang yang diterima ter­d­akwa bertentangan dengan tu­gasnya sebagai PNS Ditjen Pajak. Da­lam waktu 30 hari, bahkan sam­pai perkaranya dilimpahkan ke penyidik, terdakwa tidak me­la­porkan uang yang diterimanya ke KPK,” kata JPU Wismantanu.

Padahal, berdasarkan Pasal 12 C Ayat 1 dan 2 Undang Undang No­mor 31 tahun 1999 junto Un­dang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tin­dak Pidana Korupsi, PNS wajib melaporkan gratifikasi ke KPK.

Dakwaan pertama menyangkut PT Mutiara Virgo (MV) milik Johnny Basuki pada 2003 dan 2004, yang semestinya memba­yar pajak lebih dari Rp 30 miliar. Ber­dasarkan kajian Herly Isdi­har­sono, dibentuklah Tim Pemeriksa Ga­bungan untuk mengurusi pa­jak itu. Tim itu terdiri dari, Su­per­visor Anggun Prayitno, Ketua Tim Sarah Lallo, anggota tim Herly Isdi­harsono dan Farid Agus Mubarok.

Meskipun Herly, Johnny dan konsultan pajak Hendro Tirtajaya tahu kewajiban pajak PT MV seharusnya lebih besar dari Rp 30 miliar, namun mereka sepakat un­tuk menguranginya. Kese­pa­kat­annya adalah Johnny bersedia membayar Rp 30 miliar yang meli­puti, uang untuk membayar ke­wajiban pajak yang telah diku­rangi dan fee bagi petugas atas jasa mengurangi kewajiban itu.

Hasil penghitungan pajak PT MV kemudian dituangkan ke dalam Laporan Hasil Pemerik­sa­an, sehingga Johnny membayar sebesar Rp 10.882.000.000 (se­puluh miliar delapan ratus dela­pan puluh dua juta rupiah).

Sehingga, seluruh uang yang diberikan Johnny untuk pengu­rus­an pengurangan pajak adalah sebesar Rp 20.882.000.000 yang di­keluarkan dari BCA cabang Ran­tai Mulya Kencana, dise­rah­kan kepada Hendro. Selanjutnya, oleh Hendro dicairkan dan dititip­kan ke rekening seorang pegawai Puri Spa atas nama Liana Apri­yani di Bank BCA Cabang Rantai Mulya Kencana. Sedangkan sisa­nya, Rp 9.118.000.000 (sembilan miliar seratus delapan belas juta ru­piah) diserahkan Hendro ke­pada Herly secara tunai.

Seluruh uang pemberian John­ny kepada para petugas pajak yang mengurangi kewajiban pem­bayaran pajak itu, lebih da­hulu dikumpulkan di rekening pe­nam­pungan, antara lain Rekening BCA Cabang Rantai Mulya Ken­cana atas nama Liana Apriyani No­mor Rekening 7090137764, dan rekening Bank Panin Cabang Pasar Puri Indah Jakarta Barat atas nama Veemy Solichin No­mor Rekening 1452030079. Selan­jutnya, atas perintah Herly, uang itu dibagikan ke beberapa rekening, antara lain ke rekening DW sebesar Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah).

Pada dakwaan kedua, DW mela­kukan atau turut serta mem­perkaya diri sendiri, orang lain atau merugikan keuangan negara, saat dia menjabat sebagai Koor­di­nator Pelaksana PPh Badan II Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Jakarta Pancoran. Saat itu, DW men­jadi Koordinator untuk mela­kukan pemeriksaan khusus ter­ha­dap PT Kornet Trans Utama (KTU). Komposisi tim ini, yakni Su­pervisor Firman, Ketua Tim Dha­na Widyatmika dan anggota tim Salman Maghfiroh. Atas kerja tim ini, DW didakwa meru­gi­kan keuangan negara Rp 967.­116.443 ditambah bunga Rp 241.­677.040. Sehingga, merugi­kan negara sebesar Rp 1.208.078.304,83.

Ketiga, DW didakwa melaku­kan penempatan, transfer, peng­alihan, pembelanjaan, pem­ba­yaran, me­nukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain yang dilakukan atas kekayaan yang tidak dapat di­pertang­gung­jawabkan asal-usulnya.

Seusai sidang, DW tidak mau berkomentar. Dia meminta war­ta­wan bertanya kepada pe­nga­caranya, Lutfi Hakim. Menurut Lutfi, dakwaan jaksa sangat mencurigakan dan tidak sesuai fakta. “Ada apa sebetulnya? Se­be­lumnya gembar-gembor soal uang Rp 60 miliar, nyatanya tak ada dalam dakwaan. Hanya 1 sampai 2 miliar. JPU tidak per­caya diri membawa kasus ini ke pengadilan,” belanya.

Lutfi menilai, JPU pun tak kon­sisten mengenai pencucian uang yang juga didak­wakan. “Pen­cu­cian uangnya tak jelas, karena JPU tak menyebutkan berapa jum­­lahnya dan apa predikat crime­­nya.”

REKA ULANG

Aliran Duit Rp 97 Miliarnya Mana...

Pada Selasa malam, 27 Maret lalu, Kepala Pusat Penerangan Hu­kum Kejaksaan Agung Adi Toe­garisman menyampaikan, pe­nyidik Kejagung menemukan alir­an dana Rp 97 miliar di salah satu rekening Dhana Widyatmika (DW).

 Menurut Adi, penyidik telah memeriksa DW untuk meng­kla­rifikasi keterangan saksi-saksi, mengklarifikasi tentang uang tersangka di reksadana dan dalam be­berapa rekening di beberapa bank. “Dari hasil klarifikasi se­men­tara, di salah satu rekening mi­lik tersangka ditemukan aliran dana sebesar Rp 97 miliar. Ini baru di satu rekening, dan masih berupa aliran dana yang masuk, belum aliran dana yang keluar,” katanya.

 Menurut Adi, DW memiliki se­jum­lah rekening yang masih perlu ditelusuri. Lantaran itu, kata­nya, tidak tertutup kemung­kin­an jumlah aliran dana dalam re­kening-rekening tersebut me­lebihi Rp 97 miliar. “Ada kira-kira 11 atau 12 rekening milik DW yang tersebar di tujuh bank,” ujarnya.

Tapi, dalam sidang perdana DW di Pengadilan Tipikor Ja­karta, kemarin, aliran uang Rp 97 miliar itu tidak ada dalam surat dakwaan. Sebelum bicara menge­nai alir­an dana Rp 97 miliar itu, Ka­puspenkum telah menyam­paikan, harta kekayaan DW yang disita, jumlah sementaranya se­kitar Rp 18 miliar.

Yakni, uang dalam penyedia jasa keuangan sebesar Rp 11 mi­liar, uang tunai dalam bentuk Dolar AS sebesar 270 juta, dalam bentuk Dinar Irak sekitar 7 juta, dalam bentuk mata uang Riyad Saudi Arabia sebesar 1,3 juta. Ke­mudian, emas seberat 1,1 kilo­gram. “Kalau dinilai dengan uang, sekitar 465 juta rupiah,” ujarnya.

Barang sitaan lainnya, berupa kendaraan bermotor, termasuk mobil sedan Daimler Chrysler dan truk yang hasil sementara perhitungannya Rp 1,6 miliar. Selanjutnya, kata Adi, investasi berupa tanah yang belum semuanya dihitung. Taksiran sementara, nilainya sekitar Rp 4,5 miliar. Kemudian, jam Rolex yang diperkirakan harganya Rp 103 juta.

Adi menambahkan, angka itu masih bisa bertambah lantaran tim penyidik masih menelusuri har­ta kekayaan DW. “Misalnya, ada sembilan bidang tanah yang ser­tifikatnya sudah disita, tapi se­cara fisik belum. Sembilan bi­dang tanah ini belum dihitung da­lam uang,” katanya. Lokasi ta­nah-tanah itu, menurutnya, ber­ada di beberapa tempat sekitar Ja­karta. “Luasnya juga belum direkap,” katanya saat itu.

Mirip Penanganan Kasus Bahasyim Dan Gayus

Yenti Garnasih, Pengamat Hukum

Dosen yang kerap menjadi saksi ahli kasus tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih menilai, dakwaan terhadap Dhana Widyatmika (DW) tidak mak­simal. “Tentu kita me­nye­salkan. Ada apa sebenarnya,” heran Yenti, kemarin.

Dia menilai, dakwaan ko­rup­si terhadap pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan itu pun tidak besar, sehingga ki­nerja kejaksaan dalam me­na­ngani kasus ini patut diper­ta­nyakan. “Aneh, kok hanya 1 atau 2 miliar rupiah, tidak se­perti aliran dana pada temuan awal kejaksaan,” tegasnya.

Lantaran dakwaan terhadap DW lemah, Yenti menilai, se­pertinya model penanganan ka­sus korupsi pegawai Ditjen Pa­jak Gayus Tambunan dan Ba­hasyim Assifie terulang. “Ha­rusnya diuraikan semua aliran dana, telusuri siapa saja yang terlibat korupsi dan pencucian uangnya. Apakah kejaksaan tidak bisa mengungkap atau tidak profesional? Atau tidak mau mengungkap?” tanyanya.

Menurut Yenti, kejaksaan semestinya juga membeberkan tin­dak pidana pencucian uang dalam kasus ini secara rinci. Melalui rincian itu, lanjutnya, kejak­saan akan banyak men­jaring pihak-pihak yang diduga terlibat perkara korupsi ini se­bagai tersangka. “Tapi, ke­napa pencucian uangnya tidak men­dalam. Rasanya, pengusutan kasus ini aneh.”

Lantaran tidak mendalami kasus tersebut dari sisi pen­cu­cian uangnya juga, sejauh ini kejaksaan masih berkutat pada enam tersangka, yakni Dhana Widyatmika, Firman, Herly Is­diharsono (pegawai Ditjen Pajak), Salman Maghfiroh (bekas pegawai Ditjen Pajak) Johnny Basuki (wajib pajak) dan Hendro Tirtawijaya (kon­sul­tan pajak). Dari enam ter­sangka itu, baru DW yang kini menjadi terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipi­kor) Jakarta.


Apakah Kasus DW Mau Diisolasi

Eva Kusuma Sundari, Anggota DPR

Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyam­paikan, dakwaan yang tidak kon­frehensif dan tidak ma­k­simal akan menimbulkan ke­curigaan masyarakat.

“Wah, tampaknya kasus ini mau diisolasi ya? Jika pasal pen­cucian uang tidak dipakai se­cara maksimal, agak sulit me­lakukan penyitaan harta untuk negara,” ujar anggota DPR dari Fraksi PDIP ini, kemarin.

Kendati begitu, Eva tetap ber­harap jaksa penuntut umum (JPU) dan majelis hakim mem­bongkar semua yang terlibat da­lam kasus korupsi dan pencucian uang ini di per­si­dangan. “Saya masih berpikir po­sitif, bahwa alat bukti atau fakta hukum yang ada, hanya mencukupi untuk dibuat dak­waan sebagaimana yang tercan­tum dalam surat dakwaan itu,” katanya.

Walau begitu, Eva berharap agar majelis hakim dalam pe­ne­tapan putusan nanti, lebih tajam ketimbang penuntut umum. “Jangan lupa, kualitas putusan sepenuhnya di tangan majelis ha­kim. Mereka bisa putuskan sesuai bukti yang muncul di per­sidangan, karena bobotnya lebih tinggi dari BAP,” katanya.

Eva menambahkan, majelis hakim bisa mengembangkan per­tanyaan dan mengambil putus­an sesuai temuan selama proses per­sidangan. “Otoritas penuh di tangan majelis hakim,” ujarnya.

Tapi, pengusutan kasus ko­rup­si dengan tersangka Dha­na dkk, juga menjadi salah satu ajang untuk menilai, mampukah Kejak­saan Agung menangani per­kara korupsi pajak secara utuh sampai tuntas. Kejaksaan, lan­jutnya, tidak cukup hanya men­jerat para pelaku di tingkat bawah.

“Jangan hanya membidik pe­laku di tingkat operator. Pe­ngusutan kasus ini menjadi ujian bagi Kejagung, apakah me­reka mampu mengusut se­cara struktural sampai pada ta­taran elit? Sebab, jika berkaitan dengan elit, kejaksaan menjadi sangat lambat,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA