"Sebagai partai reformasi seharusnya PAN bisa meretas stigma seperti itu," kata pengamat politik dari UIN Jakarta, A Bakir Ihsan, kepada
Rakyat Merdeka Online sesaat lalu (Kamis, 31/5).
Dikatakan dia, dengan memunculkan Hatta Rajasa sebagai Capres sebenarnya secara tidak langsung PAN memulai tradisi baru bahwa presiden tidak identik dengan suku tertentu. Siapapun yang punya kompetensi dan integritas diri layak dicalonkan sebagai presiden bahkan dari kelompok minoritas sekalipun. PAN telah menjalankan substansi demokrasi.
Namun, sambung dia, pernyataan Ketua DPP PAN, Tjatur Sapto Edy, bahwa Hatta Rajasa punya hubungan dengan Ken Arok atau Sri Rangga Rajasa, pendiri Kerajaan Singasari, dan Raden Wijaya yang bergelar Sri Kertarajasa, pendiri Majapahit, serta dengan pemimpin masa keemasan dan kejayaan Majapahit Hayam Wuruk yang bergelar Sri Rajasanegara tak lebih dimotivasi oleh kepentingan pragmatis semata.
"Rupanya (PAN) mengabaikan substansi demokrasi karena pertimbangan pragmatis," tandasnya.
[dem]
BERITA TERKAIT: