Berkas Siti Fadilah Tak Kunjung Lengkap

Kabareskrim Ngaku Tak Mau Keluarkan SP3

Rabu, 23 Mei 2012, 10:16 WIB
Berkas Siti Fadilah Tak Kunjung Lengkap
Siti Fadilah Supari

RMOL. Mabes Polri tak bisa memenuhi ketentuan tenggat waktu 14 hari untuk melengkapi berkas perkara tersangka Siti Fadilah Supari, bekas Menteri Kesehatan.

Menurut Kepala Bareskrim Polri Komjen Sutarman, hingga kemarin, anak buahnya masih menghimpun data dan bukti perkara korupsi pengadaan alat kesehatan ini.

Ketidakmampuan Polri me­leng­kapi berkas tersangka sesuai petunjuk Kejaksaan Agung da­lam waktu 14 hari, lanjut Su­tar­man, merupakan salah satu ba­gi­an yang akan diper­tang­gung­ja­wabkan pihaknya. “Itu adalah tang­gung­jawab penyidik,” kata­nya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Tapi, Sutarman beralasan, jaja­rannya tidak sengaja mengulur waktu pelimpahan berkas per­ka­ra. Molornya waktu pe­limpahan berkas tahap kedua, menurut dia, semata karena banyaknya petun­juk jaksa yang harus dilengkapi. “Petunjuk dari jaksa banyak. Be­lum terpenuhi semua,” ujarnya.

Kendati anak buahnya belum bisa melengkapi petunjuk Keja­gung dalam 14 hari, Sutarman me­ngaku tidak berencana meng­hentikan penyidikan terhadap Siti yang kini menjadi anggota De­wan Pertimbangan Presiden. “Ti­dak ada rencana kepolisian me­ngeluarkan SP3,” ucap bekas Ka­polda Metro Jaya ini.

Sekadar mengingatkan, Ke­jak­saan Agung mengembalikan ber­kas perkara tahap pertama ke Ma­bes Polri pada Selasa tanggal 8 Mei lalu. Jaksa peneliti Ke­ja­gung memberikan sejumlah petunjuk materil dan formil (P19a) agar di­lengkapi penyidik Bareskrim Mabes Polri.

Siti disidik atas dugaan ko­rupsi pengadaan alat kesehatan untuk keadaan luar biasa (KLB). Pe­nga­daan ini menggunakan metode penunjukan langsung yang di­lak­sanakan Kepala Pusat Pe­nang­gulangan Masalah Ke­sehatan (KPPMK) antara Ok­tober 2005-November 2005, se­be­sar Rp 15.548.280.000 atau se­kitar Rp 15,5 miliar. Akibat penunjukan lang­sung tersebut, negara diduga mengalami ke­rugian Rp 6.148.638.000 atau sekitar Rp 6,1 miliar.

Menurut Kepala Pusat Pe­ne­rangan dan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, sejak dikembalikan ke penyidik Mabes Polri dua pekan lalu, sampai kemarin Kejaksaan Agung belum menerima kembali berkas terse­but. “Sampai sekarang kami be­lum terima kembali berkasnya,” ujar dia, kemarin.

Walau pengembalian berkas pa­ling lama 14 hari sesuai keten­tuan KUHAP, namun Adi me­nyam­paikan, Kejaksaan Agung tetap dalam posisi menunggu berkas itu dikembalikan Mabes Polri. “Kami menunggu saja,” katanya.

Sehari setelah Kejaksaan Agung mengembalikan berkas Siti, Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum bekas Menkes itu, datang ke Mabes Polri. Persisnya, Yusril datang ke kantor Badan Reserse dan Kriminal Polri pada Rabu 9 Mei.

Kedatangannya itu untuk me­nemui Direktur III Tipikor Mabes Polri Brigadir Jenderal Nur Ali dan mempertanyakan per­kem­bangan kasus yang menjerat klien­nya. Soalnya, Nur Ali yang menandatangani Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) Siti pada 28 Maret lalu.

“Sejak dinyatakan sebagai ter­sangka beberapa waktu lalu sam­pai hari ini beliau belum pernah diperiksa sebagai tersangka. Se­mentara kami mendengar bahwa SPDP sudah diberitahukan ke­pada Kejaksaan Agung, makanya kami memerlukan klarifikasi ten­tang masalah ini,” kata Yusril di depan Gedung Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta.

Selain itu, Yusril mem­per­ta­nya­kan penggunaan Pasal 56 KUHP untuk menjerat Siti seba­gai ter­sangka. Menurutnya, Siti se­bagai orang yang menge­luar­kan ke­bi­ja­kan di Kementerian Kesehatan, tidak bisa dituduhkan turut serta da­lam dugaan korupsi yang dila­ku­kan bawahannya.

REKA ULANG

Kesaksian Anak Buah Siti

Dugaan keterlibatan Siti Fa­di­lah Supari dalam kasus pe­nga­daan alat kesehatan tahun ang­ga­ran 2005, diungkap bekas Ses­dit­jen Binayanmedik Mulya A Hasj­my di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Saat itu, Mulya bersaksi dalam kasus korupsi pengadaan perala­tan medis penanganan flu burung. Mulya yang merupakan Pejabat Pembuat Komitmen dalam pro­yek itu, mengaku Menteri Ke­se­hatan Siti Fadilah Supari yang merekomendasikan perusahaan rekanan pelaksananya.

Mulya bercerita, ada empat orang mendatanginya saat per­siapan proyek. Mereka terdiri dari dua lelaki dan dua perempuan. Me­nurutnya, empat orang itu me­ngaku sudah menemui Menkes dan disetujui untuk me­la­k­sa­nakan proyek alat kesehatan itu.

“Saya kaget, dari mana me­reka tahu proyek itu, padahal pe­ngumuman saja belum,” ujarnya.

Dua hari berselang, lanjut Mulya, dirinya menemui Menkes dan mengkonfirmasi pernyataan empat tamunya itu. Saat itu, lan­jut Mulya, Siti tersenyum dan mem­benarkan bahwa empat orang itu telah lebih dulu me­ne­muinya. “Iya benar itu, tolong ban­tu, ya,” ujar Mulya me­ng­u­lang pernyataan Siti.

Siti membantah tudingan itu. Kata dia, semua keputusan dalam proyek itu telah sesuai Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pe­ngadaan Barang dan Jasa Pe­merintah. “Jadi, sebenarnya apa sih yang membuat tiba-tiba mun­cul penunjukan tersangka ini pada saya,” katanya heran.

Di kediamannya, di Kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Siti mengaku bingung ditetapkan sebagai tersangka. “Apakah opini bisa menjadikan seseorang tersangka? Itu yang sangat saya sayangkan bisa terjadi di negeri ini,” ujarnya.

Siti curiga, ada pihak-pihak ter­tentu yang sangat ingin men­ja­dikannya tersangka kasus ko­rupsi. “Ada pihak yang ingin se­kali saya jadi tersangka. Padahal saya melaksanakan pekerjaan sebaik-baiknya,” kata dia.

Ketika ditanya, siapakah yang sangat menginginkannya menjadi tersangka, Siti menjawab, “Mes­ti­nya wartawan lebih mencari tahu, siapa sih sebetulnya yang sangat menginginkan saya jadi tersangka.”

Siti menambahkan, selama ini dia sudah tujuh kali bolak balik di­periksa KPK sebagai saksi. Se­hingga membingungkan, jika tiba-tiba ada kasus lain yang di­tuduhkan kepadanya, melalui Mabes Polri.

“Anda tahu sendiri saya tujuh kali mondar mandiri di KPK. Saya mengklarifikasi apa adanya, dan saya kira hampir sama se­mua. Ini yang mau saya kla­rifikasikan dulu ke Mabes Polri,” ujarnya.

Selama menjadi Menteri Ke­sehatan, Siti merasa tidak pernah melakukan pekerjaan yang me­langgar undang-undang. Dalam hal proses pengadaan alat dengan penunjukan langsung, dia tidak pernah menunjuk langsung apa pe­rusahaan yang harus men­ja­lan­kan proyeknya.

Tak Boleh Lambat Karena Pejabat

Erna Ratnaningsih, Peneliti Senior KRHN

Peneliti senior Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Erna Ratna Ningsih mengingatkan, demi suksesnya pemberantasan korupsi, pim­pi­nan dan aparat penegak hukum semestinya menjadikan perkara korupsi sebagai prioritas untuk dituntaskan.

Belum lengkapnya berkas tersangka Siti Fadilah Supari, menurut Erna, dapat me­nim­bul­kan kecurigaan masyarakat. “Apalagi tersangkanya bekas Menteri Kesehatan yang kini menjadi anggota Dewan Per­tim­bangan Presiden. Jangan sampai terkesan kasus ini lam­bat diproses karena ter­sang­kanya pejabat negara,” ujarnya, kemarin.

Erna juga mengingatkan, semestinya setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum. “Jangan sampai proses hukumnya lambat karena bekas menteri, sehingga muncul kesan diskriminatif,” tandas bekas Ketua Yayasan Lembaga Bantu­an Hukum Indonesia (YLBHI) ini.

Dia menegaskan, ber­da­sar­kan KUHAP, memang dalam jangka waktu 14 hari kepolisian harus melengkapi kekurangan berkas yang diminta kejaksaan. Lantaran itu patut diper­ta­nya­kan, kenapa Bareskrim Polri ti­dak mampu memenuhi tenggat waktu tersebut. “Tapi, dalam ka­­sus ini, kita tidak m­e­nge­tahui apa kesulitan polisi untuk me­me­nuhi petunjuk jaksa,” ujar Erna.

Menurutnya, belum bisa dipas­tikan apakah ada inter­vensi terhadap penyidik kasus ini. Setidaknya, lanjut dia, pem­berkasan yang tersendat-sendat menunjukkan bahwa penyidik tidak siap. “Aparat penegak hukum mungkin hati-hati dalam menangani kasus itu,” katanya.

Pelengkapan Berkas Bisa Dicicil Penyidik

M Nurdin, Anggota Komisi III DPR

Problem seputar keleng­ka­pan berkas perkara kerap terjadi antara kepolisian dan ke­jak­sa­an. Lantaran itu, anggota Ko­misi III DPR M Nurdin me­min­ta Mabes Polri dan Kejaksaan Agung segera meng­ko­mu­ni­kasikan masalah berkas Siti Fadilah Supari.   

“Lewatnya waktu pe­lim­pahan berkas perkara bisa di­ko­munikasikan penyidik dengan penuntut secara baik-baik,” kata pensiunan jenderal bintang tiga polisi ini, kemarin.

Nurdin memandang, tenggat waktu 14 hari dalam meleng­kapi berkas perkara sangat ce­pat. Lantaran itu, tenggat waktu tersebut tak bisa dijadi­kan lan­dasan, mengingat kasus yang ditangani masuk kategori berat. Banyaknya petunjuk jaksa yang harus dilengkapi, hendaknya juga menjadi per­timbangan.

Kendati begitu, dia me­nya­rankan kepolisian segera me­lim­pahkan berkas perkara ke kejaksaan. Jika jaksa peneliti te­tap menilai berkas perkara ku­rang lengkap, nantinya mereka akan mengembalikan berkas itu lagi kepada penyidik.

“Penyidik bisa me­leng­ka­pi­nya secara cicil,” ucap anggota DPR dari PDIP ini.

Jika penyusunan berkas su­dah dilakukan maksimal oleh ke­polisian dan jaksa tetap me­nilainya belum lengkap, ke­we­nangan menghentikan perkara sepenuhnya ada di tangan ke­ja­ksaan. “Kejaksaan yang ber­wenang menghentikan pen­un­tutan atau menghentikan semua proses penyidikan kasus ter­se­but,” tuturnya.

Dia pun meminta, keterangan Kabareskrim Polri bahwa ke­polisian berusaha optimal me­lengkapi berkas perkara atas nama tersangka Siti Fadilah Su­pari, dipegang semua pihak. Ke­terangan itu akan ditagih se­mua pihak, termasuk anggota DPR.

“Komitmennya me­leng­kapi pe­t­­unjuk jaksa kita tunggu. Pe­­ngusutan kasus ini tentunya membawa pengaruh pada kre­dibilitas kepolisian,” ingat­nya.[Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA