WAWANCARA

Adnan Buyung Nasution: 14 Tahun Reformasi Gagal Sejahterakan Rakyat

Selasa, 22 Mei 2012, 09:36 WIB
Adnan Buyung Nasution: 14 Tahun Reformasi Gagal Sejahterakan Rakyat
Adnan Buyung Nasution

RMOL. Reformasi yang didengungkan sejak lengsernya Presiden Soeharto sudah memasuki usia ke 14. Sukses atau gagalkah? Bekas anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Adnan Buyung Nasution punya penilaian sendiri.

Kata dia, orde reformasi telah gagal mewujudkan cita-citanya. Kebijakan-kebijakan yang mun­cul pada orde ini justru telah melanggar atas cita-cita pro­klamasi. 

“Yang berhasil hanya sebagian, yakni amandemen Undang-undang Dasar 45 dan pelaksa­naan pemilihan umum. Selebih­nya tidak ada,’’ kata Adnan Bu­yung Nasution, kemarin.

Usia reformasi yang terbilang masih muda, menurut advokat senior itu, harus tetap diwaspadai dan diperkuat tujuannya. Karena setidaknya saat ini ada upaya tarik-menarik antara kelompok-kelompok progresif yang ingin mewujudkan demokrasi secara otentik dengan kelompok-kelom­pok konservatif yang hanya me­manfaatkan keterbukaan untuk tujuan-tujuan nondemokrasi. Adnan melihat setidaknya ada tiga gejala terkait itu. Berikut kuti­pan selengkapnya:

 

Apa benar saat ini reformasi telah gagal?

Jujur kita harus katakan saat ini memang sudah ada hasilnya, tapi itu masih jauh dari harapan kita semua.

Apa saja keberhasilan itu?

Era reformasi yang dimulai pada 1998 dan kini sudah beru­mur 14 tahun telah men­jadi jalan pembuka masa transisi Indo­nesia menuju demo­krasi. Ter­catat sudah ada agenda-agenda penting yang substansial, salah satunya amande­men konstitusi yang berhasil me­ma­suk­kan pasal-pasal HAM dan me­la­kukan pembenahan pen­ting terhadap sistem ketata­ne­garaan kita.

Selain itu, keberhasilan lainnya yakni adanya kebebasan berfikir, berbicara dan mengekspresikan diri. Kalau dulu kan tidak ada karena kita berada di bawah sis­tem otoriter, menindas serta re­pre­sif. Tapi hanya sebatas itu, karena faktanya kemerdekaan yang diciptakan reformasi belum tercapai sasarannya secara utuh. Jika dipersentasekan, keberhasi­lan reformasi baru mencapai 10 persen dan lebih banyak lagi yang harus dikerjakan.


Sebenarnya apa sasaran uta­ma reformasi saat itu?

Sasaran utama saat itu adalah memanfaatkan demokrasi untuk mensejahterakan rakyat. Demo­krasi dipakai untuk ke sana, kenyataannya sekarang malah di­telikung dan ditunggangi orang-orang berduit, sehingga menjadi­kan demokrasi sebagai prosedu­ral saja dan rakyat tetap saja mis­kin dan tidak ada perbaikan ting­kat hidupnya. Itu artinya refor­masi telah gagal karena tidak ber­hasil membawa kesejahteraan pada rakyat Indonesia.


Siapa yang bertanggung jawab?

Termasuk saya yang aktivis pro­­demokrasi, yang menggagas reformasi itulah yang bertang­gung jawab. Karena kita mem­bongkar dan membuka belenggu kebebasan, tetapi pada kenya­taan­nya kita sendiri yang terbe­lenggu dalam kemerdekaan refor­masi yang kita bongkar.

Saat ini para reformis hanya men­jadi penonton saja, karena orang lainlah yang menguasai yakni penguasa dan pengusaha.

Setidaknya saat ini ada ada tiga gejala yang membuat reformasi gagal. Pertama, kelompok funda­mentalis yang memaksakan ke­hen­daknya dengan membajak pro­sedur demokrasi, ‘menyan­dera’ alat-alat negara untuk me­wujudkan tujuan kelompok atau golongan tertentu. Mereka meng­gunakan cara-cara intimidasi dan kekerasan yang melanggar HAM dan mengorbankan sesama warga negara.

Kedua, sistem oligarki yang se­makin menggurita, yang mence­kik pemerintahan kita. Saat ini semua parpol bekerja sama de­ngan birokrat dan militer untuk mempengaruhi publik dan me­nge­ruk keuntungan dengan meng­halalkan segala cara demi mem­pertahankan harta dan kekuasaan.

Ketiga, kelompok konservatif atau ultra nasionalis yang meng­agungkan ilusi kejayaan masa lalu. Mereka ini sesungguhnya anti perubahan. Misalnya, me­reka ini hendak mendorong aman­demen kelima untuk kem­bali pada UUD 1945 awal atau yang mereka sebut sebagai UUD 1945 yang asli.


Apa yang harus dilakukan se­karang?

Untuk memperbaiki itu semua, mesti ada kekuatan baru dari ge­nerasi muda. Mereka harus kem­bali melakukan penggalangan kekuatan untuk melakukan do­brakan-dobrakan merebut kemer­dekaan itu lagi.


Apa itu cukup?

Tentu tidak, selain menggalang kekuatan pemuda, jangan mengu­lang kembali kesalahan kami dulu. Dulu kami berhasil merebut kemerdekaan reformasi, tapi kami tidak siap mengembalikan dan melanjutkan kepemimpinan seterusnya.


Memangnya apa kesalahan para penggagas reformasi?

Kesalahan saya dulu adalah ce­pat puas membongkar dan men­jatuhkan rezim, tapi ada ke­engganan untuk masuk dan ber­­­peran da­lam politik seterus­nya. Hal itu dise­babkan karena dulu ada anggapan politik itu kotor dan akhirnya estafet ke­pemimpinan itu di­serah­kan ke orang lain, ini­lah kesalahan kami yang utama dan tidak boleh dilakukan lagi.


Jadi bagaimana seharusnya?

Yang benar ada­lah selain mem­bongkar dan men­jatuhkan rezim, maka ha­rus siap dengan konsep untuk me­ngi­si refor­masi. Jadi ja­ngan naif seperti saya dan ka­wan-kawan waktu itu.


Bagaimana bisa, sekarang banyak juga aktivis terbeli oleh uang?

Maka dari itu, kita harus pintar memilih yang bersih dan tidak tercemar. Untuk 100 persen ber­sih pasti susah, tapi setidaknya kita ajak untuk memikirkan ren­cana jangka panjang pembangu­nan bangsa dan negara yang lebih baik. Dan yang paling penting lagi, mereka harus menyiapkan seorang pemimpin yang diusung ke depan dengan konsep yang jelas dan bisa dikontrol oleh kita. Misalnya saja ada sebuah gerakan ketika gerakan itu berhasil maka kita perlu mengontrolnya melalui pemimpin yang diusung.


Bagaimana dengan para se­nior pergerakan, apakah me­reka akan turun?

Sebenarnya yang harus berge­rak dan mengambil inisiatif adalah kaum muda, tapi kami siap kok jika harus turun kembali membantu mereka semua. Saya pastikan semua aktifis pro demo­krasi siap dipanggil untuk mem­perbaiki keadaan bangsa yang tidak menentu ini. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA