RMOL. Reformasi yang didengungkan sejak lengsernya Presiden Soeharto sudah memasuki usia ke 14. Sukses atau gagalkah? Bekas anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Adnan Buyung Nasution punya penilaian sendiri.
Kata dia, orde reformasi telah gagal mewujudkan cita-citanya. Kebijakan-kebijakan yang munÂcul pada orde ini justru telah melanggar atas cita-cita proÂklamasi.
“Yang berhasil hanya sebagian, yakni amandemen Undang-undang Dasar 45 dan pelaksaÂnaan pemilihan umum. SelebihÂnya tidak ada,’’ kata Adnan BuÂyung Nasution, kemarin.
Usia reformasi yang terbilang masih muda, menurut advokat senior itu, harus tetap diwaspadai dan diperkuat tujuannya. Karena setidaknya saat ini ada upaya tarik-menarik antara kelompok-kelompok progresif yang ingin mewujudkan demokrasi secara otentik dengan kelompok-kelomÂpok konservatif yang hanya meÂmanfaatkan keterbukaan untuk tujuan-tujuan nondemokrasi. Adnan melihat setidaknya ada tiga gejala terkait itu. Berikut kutiÂpan selengkapnya:
Apa benar saat ini reformasi telah gagal?
Jujur kita harus katakan saat ini memang sudah ada hasilnya, tapi itu masih jauh dari harapan kita semua.
Era reformasi yang dimulai pada 1998 dan kini sudah beruÂmur 14 tahun telah menÂjadi jalan pembuka masa transisi IndoÂnesia menuju demoÂkrasi. TerÂcatat sudah ada agenda-agenda penting yang substansial, salah satunya amandeÂmen konstitusi yang berhasil meÂmaÂsukÂkan pasal-pasal HAM dan meÂlaÂkukan pembenahan penÂting terhadap sistem ketataÂneÂgaraan kita.
Selain itu, keberhasilan lainnya yakni adanya kebebasan berfikir, berbicara dan mengekspresikan diri. Kalau dulu kan tidak ada karena kita berada di bawah sisÂtem otoriter, menindas serta reÂpreÂsif. Tapi hanya sebatas itu, karena faktanya kemerdekaan yang diciptakan reformasi belum tercapai sasarannya secara utuh. Jika dipersentasekan, keberhasiÂlan reformasi baru mencapai 10 persen dan lebih banyak lagi yang harus dikerjakan.
Sebenarnya apa sasaran utaÂma reformasi saat itu?
Sasaran utama saat itu adalah memanfaatkan demokrasi untuk mensejahterakan rakyat. DemoÂkrasi dipakai untuk ke sana, kenyataannya sekarang malah diÂtelikung dan ditunggangi orang-orang berduit, sehingga menjadiÂkan demokrasi sebagai proseduÂral saja dan rakyat tetap saja misÂkin dan tidak ada perbaikan tingÂkat hidupnya. Itu artinya reforÂmasi telah gagal karena tidak berÂhasil membawa kesejahteraan pada rakyat Indonesia.
Siapa yang bertanggung jawab?
Termasuk saya yang aktivis proÂÂdemokrasi, yang menggagas reformasi itulah yang bertangÂgung jawab. Karena kita memÂbongkar dan membuka belenggu kebebasan, tetapi pada kenyaÂtaanÂnya kita sendiri yang terbeÂlenggu dalam kemerdekaan reforÂmasi yang kita bongkar.
Saat ini para reformis hanya menÂjadi penonton saja, karena orang lainlah yang menguasai yakni penguasa dan pengusaha.
Setidaknya saat ini ada ada tiga gejala yang membuat reformasi gagal. Pertama, kelompok fundaÂmentalis yang memaksakan keÂhenÂdaknya dengan membajak proÂsedur demokrasi, ‘menyanÂdera’ alat-alat negara untuk meÂwujudkan tujuan kelompok atau golongan tertentu. Mereka mengÂgunakan cara-cara intimidasi dan kekerasan yang melanggar HAM dan mengorbankan sesama warga negara.
Kedua, sistem oligarki yang seÂmakin menggurita, yang menceÂkik pemerintahan kita. Saat ini semua parpol bekerja sama deÂngan birokrat dan militer untuk mempengaruhi publik dan meÂngeÂruk keuntungan dengan mengÂhalalkan segala cara demi memÂpertahankan harta dan kekuasaan.
Ketiga, kelompok konservatif atau ultra nasionalis yang mengÂagungkan ilusi kejayaan masa lalu. Mereka ini sesungguhnya anti perubahan. Misalnya, meÂreka ini hendak mendorong amanÂdemen kelima untuk kemÂbali pada UUD 1945 awal atau yang mereka sebut sebagai UUD 1945 yang asli.
Apa yang harus dilakukan seÂkarang?
Untuk memperbaiki itu semua, mesti ada kekuatan baru dari geÂnerasi muda. Mereka harus kemÂbali melakukan penggalangan kekuatan untuk melakukan doÂbrakan-dobrakan merebut kemerÂdekaan itu lagi.
Apa itu cukup?
Tentu tidak, selain menggalang kekuatan pemuda, jangan menguÂlang kembali kesalahan kami dulu. Dulu kami berhasil merebut kemerdekaan reformasi, tapi kami tidak siap mengembalikan dan melanjutkan kepemimpinan seterusnya.
Memangnya apa kesalahan para penggagas reformasi?
Kesalahan saya dulu adalah ceÂpat puas membongkar dan menÂjatuhkan rezim, tapi ada keÂengganan untuk masuk dan berÂÂÂperan daÂlam politik seterusÂnya. Hal itu diseÂbabkan karena dulu ada anggapan politik itu kotor dan akhirnya estafet keÂpemimpinan itu diÂserahÂkan ke orang lain, iniÂlah kesalahan kami yang utama dan tidak boleh dilakukan lagi.
Jadi bagaimana seharusnya?
Yang benar adaÂlah selain memÂbongkar dan menÂjatuhkan rezim, maka haÂrus siap dengan konsep untuk meÂngiÂsi reforÂmasi. Jadi jaÂngan naif seperti saya dan kaÂwan-kawan waktu itu.
Maka dari itu, kita harus pintar memilih yang bersih dan tidak tercemar. Untuk 100 persen berÂsih pasti susah, tapi setidaknya kita ajak untuk memikirkan renÂcana jangka panjang pembanguÂnan bangsa dan negara yang lebih baik. Dan yang paling penting lagi, mereka harus menyiapkan seorang pemimpin yang diusung ke depan dengan konsep yang jelas dan bisa dikontrol oleh kita. Misalnya saja ada sebuah gerakan ketika gerakan itu berhasil maka kita perlu mengontrolnya melalui pemimpin yang diusung.
Bagaimana dengan para seÂnior pergerakan, apakah meÂreka akan turun?
Sebenarnya yang harus bergeÂrak dan mengambil inisiatif adalah kaum muda, tapi kami siap kok jika harus turun kembali membantu mereka semua. Saya pastikan semua aktifis pro demoÂkrasi siap dipanggil untuk memÂperbaiki keadaan bangsa yang tidak menentu ini. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.