KPK Bidik Tersangka Baru Kasus Cuci Duit Nazaruddin

Korek 90 Saksi, Termasuk Manajer Investasi Permai Grup

Selasa, 15 Mei 2012, 09:31 WIB
KPK Bidik Tersangka Baru Kasus Cuci Duit Nazaruddin
Muhammad Nazaruddin

RMOL. KPK menelusuri dugaan keterlibatan sejumlah pihak dalam kasus pencucian uang melalui pembelian saham perdana PT Garuda Indonesia, yang dilakukan terpidana perkara suap Wisma Atlet Muhammad Nazaruddin.

Kemarin, penyidik KPK me­manggil dan memeriksa Neni Kartini, Manajer Investasi Permai Grup sebagai saksi. KPK juga memanggil dan memeriksa dua orang bekas karyawan Permai Grup, yakni Syaiful Fahmi dan Ade Susanto.

“Mereka dipanggil sebagai saksi,” ujar Kepala Biro Humas Ko­misi Pemberantasan Korupsi Johan Budi Sapto Prabowo di Gedung KPK, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, ke­marin.

Johan menambahkan, dalam kasus pencucian uang tersebut, KPK memang baru menetapkan satu tersangka, yakni Nazarud­din, bos Permai Grup. “Baru MN yang jadi tersangka,” ujarnya.

Akan tetapi, Komisi Pem­be­rantasan Korupsi masih me­lakukan pengembangan ke semua pihak yang diduga terkait kasus tersebut. Jadi, bukan hanya bekas Ben­dahara Umum Partai De­mokrat itu yang dibidik KPK.

Secara terpisah, Kepala Bagian Pemberitaaan KPK Priharsa Nug­raha menambahkan, penyi­dik sudah memanggil dan me­me­riksa 90 saksi untuk menjaring ter­sangka baru. “Macam-macam yang dipanggil, ada dari swasta, dari universitas dan lain-lain,” kata­nya.

Kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) pembelian saham Garuda oleh Nazaruddin, terung­kap dari pengembangan perkara korupsi pembangunan Wisma Atlet. Perusahaan Nazaruddin, diketahui membeli saham PT Garuda sebesar Rp 308 miliar. Uang itu antara lain diduga terkait kasus Wisma Atlet SEA Games, Jakabaring, Palembang, Sumatra Selatan.

KPK kemudian menetapkan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu sebagai tersangka kasus pencucian uang ini. Na­zaruddin dijerat dengan Pasal 12 huruf a subsidair Pasal 5 dan 11 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Pasal 3 atau Pasal 4 junto Pasal 6 UU No­mor 8 tahun 2010 tentang Tin­dak Pidana Pencucian Uang.

Sedangkan peran Manajer In­vestasi Permai Grup Neni Kar­tini diungkapkan bekas Direktur Keuangan Permai Grup Yulianis dalam persidangan kasus suap Wisma Atlet yang menjerat bekas bos­nya, Nazaruddin, di Penga­dilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Yulianis mengaku pernah meminta bantuan Neni dan staf keuangan bernama Oktarina Furi, untuk memindahkan kardus-kardus berisi barang bukti, ketika penyidik KPK melakukan peng­ge­ledahan di kantor Permai Grup, kawasan Mampang, Jakarta Selatan.

Ketika Yulanis diinterogasi petugas KPK, Neni dan Oktarina memindahkan empat kardus berisi barang bukti tersebut ke ruang kerja Neni dan meng­un­cinya. Sebelumnya, satpam lebih dahulu mematikan lampu kantor untuk memudahkan aksi tersebut. “Setelah satpam kantor me­ma­tikan lampu, Neni dan Oktarina me­mindahkan kardus-kardus itu,” papar Yulianis.

Saiful Fahmi juga pernah di­hadirkan sebagai saksi di per­sidangan. Dalam kesaksiannya, dia mengatakan, Nazaruddin punya panggilan khusus di kalangan karyawan, yakni babe atau big boss. Itu karena Naza­rud­din adalah pemilik Permai Group. Tapi, Saiful mengaku tidak pernah melihat atau rapat bersama Nazaruddin.

“Saya tahu dari Ibu Yulianis,” kata­nya.

REKA ULANG

Beli Saham Garuda Rp 300 Miliar

Setelah menjadi tersangka perkara suap Wisma Altet, bekas Ben­dahara Umum Partai De­mok­rat Muhammad Nazaruddin dite­tapkan KPK sebagai tersangka kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Pencucian uang hasil korupsi tersebut, diduga dilakukan Naza­rud­din dengan cara membeli sa­ham perdana PT Garuda In­do­nesia melalui Mandiri Securitas. Nazaruddin kemudian diu­mum­kan KPK sebagai tersangka kasus pencucian uang ini pada Senin, 13 Februari lalu.

Uang untuk membeli saham Ga­ruda itu, antara lain diduga ter­kait pemenangan PT Duta Graha Indah (PT DGI) sebagai pelak­sana proyek Wisma Atlet SEA Games 2011, Jakabaring, Palem­bang, Sumatera Selatan.

Nazaruddin sebelumnya didak­wa menerima suap terkait peme­nangan PT DGI, berupa cek se­nilai Rp 4,6 miliar. “Diduga berasal dari kasus suap Wisma At­let yang ber­kaitan dengan PT DGI,” kata Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi Sapto Prabowo.

Indikasi tindak pidana pencu­cian uang oleh Nazaruddin ini, ter­ungkap dalam persidangan ka­sus suap Wisma Atlet di Penga­dilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Bekas Wakil Direktur Keuang­an Permai Grup, Yulianis saat bersaksi dalam persidangan ter­dak­wa Nazaruddin mengung­kap­kan, Permai Grup memborong sa­ham PT Garuda Indonesia total Rp 300,8 miliar pada 2010. Pem­belian saham Garuda itu dila­ku­kan lima perusahaan yang me­rupakan anak perusahaan Permai Grup. Nazaruddin pun mengakui ada­nya pembelian saham tersebut.

Untuk mendalami kasus ini, penyidik KPK telah memanggil dan memeriksa saksi-saksi. An­tara lain, Direktur Utama Mandiri Sekuritas Harry Maryanto Su­poyo, bekas Wakil Direkur Ke­uangan Permai Grup Yulianis, bekas staf keuangan Permai Grup Ok­tarina Furi dan Direktur Ke­uangan PT Duta Graha Indah Laurencius Teguh Khasanto.

Polda Metro Jaya juga me­na­ngani kasus pembelian saham Ga­ruda ini, tapi bukan dari sisi pencucian uangnya, melainkan dugaan pemalsuan tanda tangan oleh Yulianis.

Kepala Bidang Humas Polda Met­ro Jaya Kombes Rikwanto sem­pat menjelaskan, polemik ten­tang status Yulianis diawali la­poran anak buah M Nazaruddin, Ger­hana Sianipar. Dalam laporan tanggal 10 Oktober 2011, Yu­lianis diduga memalsukan tanda ta­ngan pelapor.

Sebelumnya, penetapan status tersangka dilakukan pada 10 No­vember 2011. Penyidik Ditres­krim­um Polda Metro Jaya yang te­lah memeriksa pelapor, saksi dan dokumen mengirim surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) nomor IV/3806/XI/2011/ditreskrimum.

SPDP yang disampaikan ke ke­jaksaan itu ditandatangani Kasat Hardabangtah Polda Metro Jaya AKBP Aswin Sipayung. Dalam surat itu tertulis, status Yulianis ter­sangka kasus pemalsuan tanda tangan pembelian saham Garuda oleh PT Utama Exartech Tech­no­logy Utama.

Tanda tangan itu tertera di surat pemesanan saham Garuda dan surat kuasa pem­bu­kaan rekening saham di per­usa­haan pialang PT Mandiri Sekuritas.

 â€œKami mencari apa motivasi pemalsuan tandatangan tersebut,” ka­tanya. Yang jelas, tandatangan itu membuat anak perusahaan Permai Grup ini menguasai sa­ham Garuda sebesar Rp 300 miliar lebih.

Rikwanto mengaku, pengu­sut­an kasus ini tak ditujukan untuk menjegal langkah KPK yang gencar mengusut perkara Naz­a­rud­din. Menurutnya, sama sekali tidak ada motivasi kepolisian membela kepentingan Nazarud­din. “Kami bertindak sesuai pro­sedur hukum,” alasannya.

Tapi, Mabes Polri kemudian menepis penetapan status ter­sang­ka Yulianis. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Saud Usman Nasution memastikan, Yulianis masih berstatus saksi. “Diperiksa saja dia belum pernah. Jadi, sta­tusnya di kasus tandatangan palsu ma­sih saksi,” tegasnya.

Yang Terkait Itu-itu Juga...

Taslim Chaniago, Anggota Komisi III

Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago juga menilai, Na­zaruddin tidak melakukan pen­­cucian uang hasil korupsi sendirian. Karenanya, sangat mungkin pihak-pihak lain di­usut dan dijadikan tersangka juga.

“Dari informasi pembelian saham Garuda dengan jumlah besar oleh Nazaruddin itu, tentu ada tangan-tangan lain yang terlibat,” ujar Taslim, kemarin.

Taslim menyarankan, pengu­sut­an kasus ini dapat ditelusuri KPK dari kasus Wisma Atlet yang membelit Nazar. Jika pe­nyidik jeli dan fokus, maka ke­terlibatan sejumlah pihak dalam sejumlah kasus yang menyeret Na­zaruddin dapat dibongkar tuntas. “Saya kira yang terkait kasus Nazar, orangnya itu-itu juga,” ujarnya.

Dia pun mengingatkan KPK agar getol mengejar para pelaku yang patut diduga bersama-sama Nazaruddin mencuci uang itu. “Kalau baru hanya Na­za­rud­din yang jadi tersangka, itu berarti KPK belum selesai atau belum maksimal mengusut ka­sus ini,” ujarnya.

Mengingat, ada dugaan se­jumlah pejabat tinggi dan po­litisi terlibat kasus ini, lanjut Taslim, tidak tertutup ke­mung­kinan ada upaya-upaya politis pihak-pihak berkepentingan un­tuk melokalisir kasus dan bah­kan menyetop pengusutannya. Akan tetapi, dia mengingatkan KPK agar tidak terpengaruh da­lam mengusutnya.

“Tentu kasus ini banyak sisi po­­litisnya, karena Garuda ada­lah BUMN, tapi KPK tak boleh terpengaruh sisi politis itu. KPK harus fokus pada kasus. Soal mempolitisir atau melokalisir, itu sangat mungkin terjadi, maka di sinilah kita tuntut in­de­pendensi KPK. Sebagai lem­baga yang masih dipercaya rakyat, jangan rusak keper­ca­yaan itu,” ujarnya.

Tersangka Nazar Tak Berdiri Sendiri

Sandi Ebeneser, Majelis Pertimbangan PBHI

Ada dua sisi yang perlu di­per­hatikan dalam kasus pencucian uang melalui pembelian saham PT Garuda Indonesia dengan ter­sangka Muhammad Nazarud­din.

“Pertama, yang meng­gu­nakan uang itu Na­za­rud­din. Kedua, yang menerima uang itu pihak Garuda atau bro­ker,” kata ang­gota Majelis Pertimbangan Perh­im­punan Ban­tuan Hukum Indonesia (PBHI) Sandi Ebe­ne­ser, ke­marin.

Untuk lancarnya pengusutan, lanjut Sandi, sebaiknya KPK se­gera melakukan upaya blokir terhadap uang saham tersebut. “Karena uang itu diduga berasal dari kejahatan, semestinya dengan itikad baik, nilai saham tersebut sementara dibekukan saja,” ujarnya.

Sandi pun mengingatkan, dalam perkara ini, Nazaruddin tidak berdiri sendiri. Semua pe­mainnya harus dibongkar tuntas. “Pencucian uang itu bu­kan perkara tunggal, tapi ada perkara lain yang terjadi, yaitu korupsi. Sumber uang itu diperoleh Nazaruddin dari siapa? Pemberi uang kepada Nazaruddin itu semestinya jadi tersangka juga,” katanya.

Selain si pemberi uang ke­pada Nazaruddin harus jadi ter­sangka dalam kasus ini, kata Sandi, para petinggi perusahaan di mana Nazar bernaung pun harus segera bertanggung ja­wab. “Karena dalam pembelian saham itu, Nazar tidak meng­gunakan pribadinya, tapi per­usahaan,” tandas Sandi.

Sedangkan pihak Garuda, lanjut Sandi, punya kewajiban untuk menyetop sahamnya Na­zaruddin, tapi ada kendala ka­rena terkait otoritas bursa. “Ga­ruda dan Mandiri Sekuritas adalah pihak yang pasif, yang mengikuti bursa saham karena saham tersebut dijual di publik. Yang perlu ditelisik adalah sumber uang tersebut dari ma­na,” tandasnya.

Kasus ini pun, lanjut Sandi, sa­ngat kental kepentingan po­litiknya. Lantaran itu, dia me­nilai, KPK, Kejaksaan Agung dan Polri belum memiliki ke­beranian untuk mengusut sumber uang tersebut.

Pada posisi seperti inilah, KPK kembali diuji keberanian­nya untuk berhadapan dengan sejumlah elit dan politisi yang hendak menghentikan pengu­sut­an lebih jauh. “Kasus ini me­miliki dimensi politik yang tinggi karena kejahatan kerah putih melibatkan petinggi-petingi,” ujarnya.

Sandi mengingatkan, agar pembuktian kasus ini tidak meng­gunakan model pem­buktian konvesional yang bisa dimainkan untuk menutupi peran para petinggi.

“Kalau pembuktiannya kon­vensial, maka KPK kesulitan me­nemukan jejak para petinggi itu. Jika itu yang dilakukan, KPK bisa dinilai tidak berani ka­rena pejabat KPK sekarang ini kepanjangan tangan po­li­tisi,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA