RMOL. Salah satu tersangka kasus korupsi dan pencucian uang milik PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), Umar Zen alias A Chung dapat status tahanan kota. Jaksa berdalih, perubahan status penahanan dilatari alasan kemanusiaan.
Keputusan memberi status tahanan kota itu, berbeda dengan keputusan polisi yang sebelumÂnya menahan tersangka pemÂboÂbol dana perusahaan asuransi di baÂwah bendera BUMN ini.
Kepala Pusat Penerangan HuÂkum Kejaksaan Agung Adi ToeÂgaÂrisman beralasan, bos PT TranÂka Kabel (TK) itu sakit. Tapi, dia tak mau membeberkan sakit yang diÂderita salah satu tersangka kaÂsus pembobolan dana Askrino seÂkitar Rp 400 miliar ini.
Menurut Jaksa Agung Muda PeÂngawasan Marwan Efendy, kaki tersangka patah dan terpaksa menggunakan kursi roda. Jika tetap ditahan, katanya, tidak ada yang bisa merawat Umar.
Marwan menambahkan, sakit yang dialami tersangka bisa menghambat proses persidangan. Untuk itu, jaksa memutuskan meÂngubah status tahanan tersebut menjadi tahanan kota.
HaÂraÂpanÂnya, selama berstatus tahanan kota, Umar bisa berobat makÂsiÂmal. Dengan kesembuhan Umar, lanjutnya, proses persidaÂngan bisa digelar tanpa hamÂbaÂtan. “Agar tersangka dapat meÂngikuti persidangan tanpa alasan sakit dan sebagainya.â€
Menyangkut teknis perubahan menjadi status tahanan kota, meÂnurut Marwan, Umar telah meÂnyelesaikan kewajibannya. KeÂwajiban yang dimaksud adaÂlah, mengganti kerugian negar a yang diduga dikorupsinya. Tapi, beraÂpa nominal uang pengganti yang telah disetor, Marwan belum bisa merincinya.
Dia menambahkan, jaminan dari tersangka juga jelas. PeÂnaÂhaÂnan kota diberikan setelah keÂluarga dan tim kuasa hukum memÂberi jaminan bahwa terÂsangÂka tak akan melarikan diri serta menghilangkan barang bukÂti. “Kejari Jaksel juga sudah berÂkoordinasi dengan Imigrasi. JakÂsa meminta Imigrasi mencekal dan mencabut paspor yang berÂsangkutan,†ucapnya.
Dengan begitu, menurut MarÂwan, kekhawatiran tersangka akan melarikan diri sudah diÂanÂtiÂsipasi sejak dini. Intinya, samÂbung dia, selama menyandang staÂtus tahanan kota, tersangka wajib menjalani pengobatan. Perkembangan hasil pengobatan yang dijalani tersangka pun wajib dilaporkan pada jaksa tiap pekan. Selama berstatus tahanan kota, kata Marwan, tersangka juga diÂkenai status wajib lapor. “TeÂkÂnisnya ditaÂngani Kejari Jaksel,†ujarnya.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto menyatakan, kewenangan memÂbeÂrikan status tahanan kota itu ada di tangan jaksa. Soalnya, PolÂda Metro Jaya sudah selesai meÂnaÂngani kasus ini. “Berkas perÂkara dan tersangka sudah dilimÂpahkan ke kejaksaan.â€
Dalam kasus pembobolan dana Askrindo, Subdit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Direktorat ResÂkrimsus Polda Metro Jaya meneÂtapkan tujuh tersangka. Lima terÂsangka dari perusahaan manager investasi (MI) adalah Markus SurÂyawan dan Beni Andreas (PT JS), Ervan Fajar Mandala dari PT RAM dan T Helmi Azwari dari PT HAM serta Umar Zen dari PT Tranka Kabel selaku penerima aliran dana.
Sebelumnya, polisi menetapÂkan dua tersangka yang meÂruÂpaÂkan bekas Direktur Keuangan PT Askrindo Zulfan Lubis dan Rene Setiawan. Dua tersangka ini diteÂngarai telah bekerjasama dengan sejumlah manajer investasi (MI) untuk menyalurkan dana AskrinÂdo ke perusahaan investasi terÂseÂbut. Kedua tersangka ini diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan jalan membuat rekayasa keuangan dengan bekerjasama dengan MI.
REKA ULANG
Mabes Polri Sempat Cium Aroma Tak Sedap?
Apakah Mabes Polri sempat mencium aroma penyimpangan dalam penanganan kasus korupsi di perusahaan asuransi milik neÂgara (BUMN) ini? Soalnya, jauh sebelum tersangka Umar Zen daÂpat status tahanan kota dari keÂjaksaan, Mabes Polri sempat tuÂrun tangan saat kasus ini diÂtaÂngaÂni Polda Metro Jaya.
Namun, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya saat itu, KomÂbes Baharuddin Djafar beralasan, turun tangannya penyidik Mabes merupakan hal yang biasa. Bukan karena ada penyimpangan dalam penanganan kasus ini.
Sedikitnya 27 personel BÂaÂresÂkrim Mabes Pori diturunkan unÂtuk membantu mempercepat peÂnyidikan di Direktorat Reserse KriÂminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya.
Menurut Baharuddin, peÂnanganan kasus Askrindo perlu keÂÂhati-hatian ekstra, sehingga munÂcul kesan lamban. “Tapi, tidak ada penyimpangan penyeÂlidikan dan penyidikan kasus ini,†katanya.
Alasan senada disampaikan Kepala Divisi Humas Polri saat itu Irjen Anton Bachrul Alam. Dia menyatakan, kasus Askrindo masuk kategori perkara besar. UnÂtuk itu, penanganannya harus hati-hati dan cermat.
Menurutnya, bisa saja Mabes Polri mengambil alih kasus terseÂbut dari Polda Metro Jaya. NaÂmun, langkah tersebut tidak dilaÂkukan. Pertimbangannya, kasus ini sudah berjalan di Polda Metro Jaya. “Kami tinggal memÂtak lama kemudian dana tersebut kembali ditransfer ke rekening Askrindo. “Diduga ada penÂcuÂcian uang,†tandasnya.
Temuan tersebut, tambah dia, suÂdah ditanyakan ke pihak BaÂpeÂpam LK yang belakangan meÂlaÂporÂkan kasus tersebut. Kepada peÂnyidik, saksi ahli dari Biro PeÂngelolaan Investasi dan dari Biro Transaksi Lembaga Efek BaÂpeÂpam menerangkan transaksi terÂseÂbut menyalahi aturan.
Menurut Baharuddin Djafar, laporan Bapepam ke kepolisian, sejak awal menyebutkan adanya penempatan dana investasi yang tidak sesuai undang-undang peÂnanaman modal. Askrindo mengÂhimpun dana nasabah unÂtuk diÂinvestasikan lagi ke peÂruÂsaÂhaan investasi.
Kejaksaan Mengundang Kecurigaan Masyarakat
Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR
Langkah kejaksaan memÂbeÂriÂkan status tahanan kota bagi terÂsangka kasus Askrindo, meÂnurut anggota Komisi III DPR Desmon J Mahesa, bisa meÂngunÂdang kecurigaan masyarakat.
Dia pun mengingatkan agar perubahan status tahanan menÂjadi tahanan kota, jangan samÂpai dimanfaatkan sebagai moÂmentum untuk memperoleh keÂuntungan pribadi. “Alasannya haÂrus logis dan jelas. Ada kriÂteÂria yang harus dipenuhi,†katanya.
Lantaran itu, Desmon akan menanyakan masalah peruÂbaÂhan status tahanan tersebut keÂpada pimpinan kejaksaan. ApaÂlagi, selama ini kepolisian tidak memberikan status tahanan kota kepada para tersangka perÂkara tersebut.
Perubahan status tahanan menjadi tahanan kota itu, lanjut Desmon, harus disampaikan seÂcara transparan kepada maÂsyaÂrakat. “Kalau begini bisa meÂngundang kecurigaan pubÂlik. Menganggu rasa keadilan maÂsyarakat,†tandasnya.
Tanpa keterbukaan, kata DesÂmon, bisa saja pemberian status tahanan kota dijadikan sebagai akal-akalan oleh penegak huÂkum. “Memberi status tahanan kota merupakan hak jaksa. NaÂmun, hal itu harus diikuti perÂtanggungjawaban yang jelas,†tegasnya.
Dia ingin, bentuk perubahan status tahanan didahului proses penyitaan aset tersangka. DeÂngan begitu, jika tahanan terÂseÂbut melarikan diri, aset hasil korupsinya sudah aman. “TingÂgal memikirkan bagaimana ekÂsekusi badan tersangka diÂlÂaÂkuÂkan,†tuturnya.
Yang jelas, rangkaian proses perubahan status tahanan ini harus segera diselesaikan. Jika tersangka sakit, apakah kejaÂksaÂan tidak mampu menghadirkan dokter yang khusus menangani penyakit tersangka itu. Yang lebih berbahaya, kata Desmon, biasanya tersangka pura-pura saÂkit. â€Untuk itu, alangkah baikÂÂnya jaksa segera mengeÂvaÂluasi penetapan status tahanan kota ini,†tuturnya.
Picu Kecemburuan Tersangka Lain
Iwan Gunawan, Sekjen PMHI
Sekjen Perhimpunan MagisÂter Hukum Indonesia (PMHI) Iwan Gunawan juga meÂngiÂngatÂkan, perubahan status tahaÂnan menjadi tahanan kota pada tersangka kasus korupsi harus melewati tahapan yang sangat ketat. Tidak bisa sembarangan, kaÂrena pola ini bisa diikuti terÂsangka perkara korupsi lainnya.
“Apalagi Umar Zen ini adaÂlah tersangka kasus korupsi. NiÂlai kasusnya pun sangat fanÂtaÂstis, Rp 400 miliar. Pokok perÂkaÂranya pun berjalan dalam tengÂgat waktu yang sangat panÂjang,†tandasnya.
Para tersangka kasus dugaan korupsi yang sangat besar seÂperÂti ini, menurut Iwan, secara huÂkum tidak layak menÂdaÂpatÂkan perlakuan khusus. Karena itu, pertimbangan keÂmaÂnuÂsiaÂan hendaknya bisa dipÂerÂtangÂgungÂjawabkan kejaksaan.
“DaÂlih sakit seperti itu biasa diÂguÂnaÂkan tersangka. Tak jaÂrang, meÂreka memanfaatkan hal itu unÂtuk melarikan diri,†tegasnya.
Kalau sudah begitu, kejakÂsaÂan bakal repot. Rangkaian penÂcarian pun terpaksa dilakukan. Hal ini, jelas makan waktu, enerÂgi dan biaya besar. Untuk itu, hal tersebut hendaknya dihindari.
Upaya memberikan status tahanan kota, kemungkinan meÂmicu kecemburuan tersangka lainnya. Para tersangka lain akan berupaya mendapatkan status tersebut. Di sinilah, kata dia lagi, proses tawar-menawar akan terbuka.
Jika jaksa tidak berpegang pada prinsip profesionalisme keÂjaksaan, dia yakin, ke depan akan lebih banyak tersangka yang menyandang status tahaÂnan kota. Apalagi, umumnya para terÂsangka kasus korupsi meÂmiliki kekuatan finansial beÂsar. Dengan kemampuan keÂuangan yang besar tersebut, meÂreka bisa berusaha optimal memenuhi seÂtiap kemauannya. “Ini tentunya haÂrus diÂwasÂpadai.†[Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: