Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Saleh Partaonan Daulay menilai, selain menyakiti umat Islam, usulan tersebut sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip toleransi antar umat beragama.
Apalagi, umat Islam yang mayoritas di negeri ini, terang Saleh, juga tidak pernah merasa terganggu dengan seruan-seruan ibadah dari agama lain, seperti bunyi lonceng gereja yang berbunyi pada waktu-waktu ibadah tertentu umat Kristiani.
Hal itu disampaikan Saleh kepada Rakyat Merdeka Online pagi ini (Selasa, 1/5).
"Saya melihat bahwa Wapres Boediono tidak memahami hikmah di balik disyariatkannya azan. Di samping untuk syiar Islam, azan itu ya untuk mengingatkan orang bahwa waktu shalat telah tiba. Siapa saja yang mendengar azan, diimbau untuk segera melakukan shalat di masjid-masjid," ujarnya.
Pada saat pembukaan Muktamar itu, Boediono mengatakan, DMI kiranya juga dapat mulai membahas, umpamanya, tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid.
"Kita semua sangat memahami bahwa azan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban shalatnya. Namun demikian, apa yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain, yaitu bahwa suara azan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita," kata Boediono waktu itu.
Menurut Saleh, harusnya, yang disampaikan Boediono pada pembukaan muktamar itu adalah bagaimana agar para ta'mir masjid kehidupannya bisa lebih sejahtera. Misalnya, melalui Departemen Agama, pemerintah memberikan sumbangan rutin bagi para ta'mir masjid. Atau bisa juga dengan pengembangan ekonomi keumatan berbasis masjid.
"Masih banyak tawaran lain yang pantas disampaikan. Kok malah pengaturan suara azan yang ditonjolkan. Ada apa ini? Jangan sampai ini dinilai sebagai pesanan
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: