Kasus Sewa Pesawat Fiktif Merpati Airlines Mangkrak

Kapuspen: 2 Tersangka Sudah Dilimpahkan Ke Penuntutan

Sabtu, 28 April 2012, 10:53 WIB
Kasus Sewa Pesawat Fiktif Merpati Airlines Mangkrak
Hotasi Nababan
RMOL. Jadi tersangka kasus dugaan sewa pesawat fiktif sejak Agustus 2011, kapan bekas Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan dan anak buahnya dibawa Kejaksaan Agung ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi? Perkara ini mangkrak?   

Tapi, menurut Kepala Pusat Pe­nerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, dua ter­sangka kasus korupsi sewa pe­sawat Boeing 737-400 dan 737-500 senilai satu juta dolar Ame­rika Serikat pada 2006 ini, segera diadili di Pengadilan Tindak Pi­dana Korupsi (Tipikor).

“Untuk dua tersangka, pe­nyi­di­kannya sudah selesai. Sedang­kan satu tersangka lainnya, masih dalam tahap penyidikan,” ujar Adi di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, kemarin.

Adi menjelaskan, dua ter­sang­ka yang segera naik ke tahap pe­nuntutan adalah bekas Direktur Utama PT Merpati Nusantara Air­lines (MNA) Hotasi Nababan dan bekas GM Air Craft Pro­cu­rement Tony Sudjiarto.

“Untuk tersangka HN dan TS,  penyidik sudah melimpahkan ke bagian penuntutan, untuk diteliti apakah perkara ini sudah lengkap atau masih perlu penambahan. Tapi, rasanya sudah lengkap,” katanya. Sedangkan tersangka yang berkasnya belum lengkap, sehingga belum dilimpahkan ke bagian penuntutan, yakni bekas Direktur Keuangan PT MNA Guntur Aradea.

Para tersangka terancam pida­na selama 20 tahun, seperti diatur dalam Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Nomor 31 tahun 1999, sebagaimana di­ubah menjadi Undang Undang Nomor 21 Tahun 2000. Akan tetapi, hingga kemarin, para ter­sangka yang diduga merugikan keuangan negara sekitar Rp 9 miliar ini, belum ditahan Ke­jaksaan Agung.

“Setelah tahap penelitian ber­kas, tentu ada tahap pelengkapan. Nanti biasanya dilakukan pena­hanan. Saat ini belum dirasa per­lu,” Adi beralasan.

Bahkan, dari ketiga tersangka ha­nya Guntur Aradea yang dike­nak­an status pencegahan berper­gian ke luar negeri. Padahal, dua tersangka lainnya disidik sejak Agustus 2011.

Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andi Nirwanto, se­lain mengorek keterangan se­jum­lah saksi, jajarannya juga me­minta keterangan ahli hukum pi­dana dan ahli pengadaan ba­rang dan jasa untuk men­dalami kasus ini.

Kasus sewa pesawat ini terjadi pada tahun 2006. Saat itu, Direksi PT MNA menyewa dua pesawat Boeing 737 dari Thir­dstone Air­caft Leassing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat, seharga 500 ribu dolar AS untuk setiap pesawat.

Tapi, setelah dilakukan pem­ba­yaran sebesar satu juta dolar AS ke rekening lawyer yang ditunjuk TALG, yakni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat tersebut belum pernah diterima PT Mer­pati Nusantara Airlines. Lantaran itu, lanjut Andhi, Kejaksaan Agung mencium indikasi korupsi sebesar satu juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 9 miliar dalam kasus tersebut.

TALG diduga melanggar kon­trak karena tidak menyediakan dua pesawat jenis Boeing 737 seri 400 dan 500 yang dijanjikan se­belumnya. Padahal, Merpati telah mentransfer duit jaminan 1 juta do­lar AS. Namun, duit yang di­se­tor ke rekening lawyer yang di­tunjuk TALG, yakni Hume & As­sociates melalui transfer Bank Man­diri, tak bisa ditarik kembali.

Kebijakan mengirim uang ke rekening lawyer itulah yang mem­buat Merpati sulit menarik kem­bali duit jaminan tersebut. Seharusnya, duit jaminan disim­pan pada lembaga penjamin res­mi. Makanya, Kejaksaan Agung menyangka ada keinginan sejum­lah pihak untuk menyelewengkan dana itu.

REKA ULANG

Tersangka Merasa Tidak Kongkalikong

Kuasa hukum tersangka Hotasi Nababan, Lawrence TB Siburian mengatakan bahwa penetapan kliennya sebagai tersangka tidak tepat. Soalnya, menurut dia, ka­sus sewa pesawat ini murni per­kara per­­data, bukan kasus pidana. Law­rence menilai, Kejaksaan Agung terlalu memaksakan diri me­ne­tap­kan kasus ini ke ranah pidana.

Apalagi, lanjut Lawrence, per­buatan korupsi harus memiliki tiga unsur. Yakni melawan hu­kum, ada kerugian negara yang mengun­tung­kan diri sendiri, orang lain atau koorporasi. “Ke­tiga hal terse­but yang harus ter­penuhi, tidak bisa jika hanya satu,” katanya.

Sedangkan Hotasi meminta Kejaksaan Agung tidak me­nge­sampingkan fakta hukum perkara ini, terutama putusan pengadilan Distrik Washington DC, Amerika Serikat. Menurutnya, Pengadilan Distrik Washington menerima gugatan PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) dan mewajibkan Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc (TALG) me­ngem­ba­li­kan uang milik Merpati.

“Upaya kami menggugat TALG menunjukkan tidak ada kong­ka­likong antara Merpati dan TALG. Ini murni persoalan wanprestasi. Bagi Merpati, ini merupakan ri­si­ko bisnis,” kata Hotasi.

Di tempat berbeda, Direktur Uta­­ma PT MNA Sardjono Jhoni me­nyatakan bahwa Merpati pro­aktif menyelesaikan persoalan ter­sebut. Sikap proaktif itu, me­nu­rut­nya, ditunjukkan dengan ked­a­ta­ngan dirinya dan sejumlah pejabat Merpati ke Kejaksaan Agung.

“Saya pernah datang ke Ke­jagung untuk mendampingi D­i­rek­tur Keuangan dan Direktur Ope­rasional yang dimintai kete­ra­ngan jaksa. Kedatangan saya bukan dalam kapasitas dipanggil, tapi diundang kejaksaan,” kata­nya seraya membantah, ke­da­ta­ngannya ke Kejagung dalam ka­pasitas sebagai saksi.

Menurutnya, yang patut dipa­hami dalam kasus ini adalah, pro­ses pengajuan penyewaan pe­sa­wat didasari kebutuhan Merpati yang saat itu tidak punya uang. “Kami butuh pesawat, tapi tidak pu­nya uang, makanya diputuskan untuk menyewa. Merpati selalu merujuk pada kebijakan kor­po­rasi, bukan kebijakan perorangan. Karena itu, kami mengikuti saja proses hu­kum yang berjalan,” ucapnya.

Kasus sewa pesawat ini terjadi pa­da tahun 2006. Saat itu, Direksi PT MNA menyewa dua pesawat Boeing 737 dari TALG di Ame­ri­ka Serikat, seharga 500 ribu dolar Am­erika Serikta untuk se­tiap pesawat.

Tapi, setelah dilakukan pem­ba­yaran sebesar satu juta dolar AS ke rekening lawyer yang ditunjuk TALG, yakni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat tersebut be­lum pernah diterima Merpati. Lan­­taran itu, Kejaksaan Agung mencium indikasi korupsi sebe­sar satu juta dolar Amerika Se­ri­kat atau sekitar Rp 9 miliar dalam kasus tersebut.

Masyarakat Semakin Tidak Percaya

Naldy Nazar Haroen, Ketua Umum BUMN Watch

Ketua Umum LSM BUMN Watch Naldy Nazar Haroen ber­pendapat, para tersangka ka­sus sewa pesawat ini layak di­tahan dan segera disidang.

Jika para tersangka itu tidak ditahan dan tak kunjung dibawa ke persidangan, maka kecu­ri­gaan publik akan semakin ting­gi terhadap pimpinan Ke­jak­saan Agung. “Kalau ancaman hukumannya melebihi lima tahun, ya harus ditahan. Ini kan acaman sampai 20 tahun, tetapi kenapa tak ditahan? Ada apa ini,” herannya.

Menurut Naldy, penahanan ter­hadap tersangka kasus ko­rupsi seperti ini harus dila­ku­kan. Hal itu tentu saja di­bu­tuh­kan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

“Nanti kalau orang-orang itu melarikan diri, ya habislah kita. Banyak kejadian tersangka lari dan menghilangkan barang bukti,” ujarnya.

Dia juga mengingatkan Ke­jak­saan Agung agar tidak ber­tindak diskriminatif dalam hal melakukan penahanan. “Jangan diskriminatif. Kok ada yang segera ditahan, tapi ini dari Agus­tus 2011 tak ditahan,” katanya.

Menurut Naldy, dalam se­jum­lah kasus korupsi di Badan Usaha Milik Negara, patut di­curigai ada pihak-pihak yang bermain dan mengintervensi pro­ses hukum.

“Karena di BUMN itu kadang-kadang bisa bermain. Merpati ini kan BUMN. Tetapi, biar bagaimanapun penegak hu­kum harus melakukan pena­ha­nan,” ujarnya.

Jika tidak segera diproses dan dilimpahkan ke pengadilan, lan­jut dia, masyarakat akan sema­kin tidak percaya pada program pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan Agung.

“Apa kasus ini mau di-peties-kan? Apakah mau di-SP3? Pe­nanganan kasus ini patut di­pertanyakan jika tak kunjung sampai ke persidangan,” ka­tanya.

Seperti Ada Yang Ditutupi

Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi menyampaikan, adalah hal yang wajar jika masyarakat mem­pertanyakan kinerja Ke­jaksaan Agung dalam mengusut kasus ini.

Menurut Politisi Golkar itu, kerugian negara harus dikem­balikan kepada negara dan para pelakunya mesti diproses hing­ga tuntas di pengadilan. “Ada apa dengan Kejaksaan Agung. Kenapa tampak tidak serius mengusut kasus ini. Kenapa jalan di tempat, sedangkan ke­rugian negara sudah ketahuan,” ujar Andi.

Andi mengingatkan, jika per­kara korupsi yang menim­bulkan kerugian negara milia­ran rupiah prosesnya mengam­bang, maka kinerja kejaksaan mengusut kasus lain yang nilai kerugian negaranya lebih kecil, bisa tidak jelas.

“Kasus yang ke­rugian nega­ranya miliaran saja begini, ba­gaimana dengan kasus korupsi yang nilainya ratusan juta. Tak jelas jadinya,” kata dia.

Andi juga menyarankan Ke­jaksaan Agung agar segera me­lakukan penahanan terhadap para tersangka. Jika penahanan itu dilakukan, kata Andi, hal itu menjadi salah satu bukti bahwa Kejaksaan Agung benar-benar serius menegakkan hukum dan melakukan pemberantasan korupsi.

“Ada apa dibalik semua ini? Penyidikan sudah sejak Agus­tus 2011, tapi tersangka tidak di­ta­han-tahan. Penanganan ka­sus ini tidak serius. Kenapa be­lum dilimpahkan ke penga­di­lan. Bukti apa lagi yang dicari? Ke­napa seperti ada yang di­tu­tupi,” ucapnya.

Dia pun meminta Kejaksaan Agung agar bersikap terbuka. Men­jelaskan apa kesulitan dan bagaimana upaya yang dila­ku­kan dalam menuntaskan kasus ini. “Apakah ada tekanan-teka­nan dari luar. Apa yang mem­buat Kejaksaan Agung me­ngam­bil sikap begini. Apakah ada tekanan, titipan dan lain-lain, itu semua harus dibuka se­ca­ra transparan,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA