RMOL. Jadi tersangka perkara dugaan sewa pesawat fiktif sejak Agustus 2011, bekas Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Hotasi Nababan tak kunjung dibawa Kejaksaan Agung ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Menurut Direktur PenyidiÂkan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold AngÂkouw, berkas perkara atas nama tersangka HoÂtasi Nababan sudah dinyataÂkan lengkap atau P21, dan sedang diÂbuatkan rencana dakwaan (renÂdak) di bagian PeÂnuntutan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus.
Lantaran telah dinyatakan P21, lanjut Arnold, maka kewenangan penanganan tersangka Hotasi telah beralih kepada bagian PeÂnunÂtutan pada Jampidsus.
“Kapan dilimpahkan ke peÂngaÂdilan, silakan tanya kepada PeÂnuntutan dan Kapuspenkum,†ujarnya di Gedung Bundar KeÂjakÂsaan Agung, Jakarta, kemarin.
Sedangkan dua tersangka lain, yakni bekas Direktur Keuangan PT MNA Guntur Aradea dan bekas GM Air Craft Procurement Tony Sudjiarto masih dilengkapi pemberkasannya. “Tentu kami menginginkan berkas dua terÂsangka ini secepatnya menyusul lengkap,†ujar bekas Kepala KeÂjakÂsaan Tinggi Sulawesi Utara ini.
Selain belum membawa kasus ini ke Pengadilan Tipikor, JaÂkarta, Kejaksaan Agung juga beÂlum menahan para tersangka yang diduga merugikan keÂuangan negara sekitar Rp 9 miliar ini.
Perkara ini bermula saat DiÂreksi PT Merpati Nusantara AirÂlines menyewa dua pesawat Boeing 737-400 dari Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat pada tahun 2006.
Namun, sejak biaya sewa sebesar 500 ribu dolar AS per pesaÂwat dibayarkan ke rekeÂning kantor lawyer Hume And AssoÂciates melalui transfer Bank ManÂdiri, kedua pesawat itu tidak perÂnah dikirim ke Indonesia.
Akibatnya, diduga terjadi keÂrugian negara sebesar satu juta doÂlar AS atau sekitar Rp 9 miliar pada salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini.
Dalam perkara ini, Hotasi dan Guntur ditetapkan Kejagung seÂbagai tersangka sejak Agustus 2011. Sedangkan Tony diteÂtapÂkan sebagai tersangka berÂdaÂsarÂkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Print 196/F.2/Fd.1/12/2011 tanggal 22 Desember 2011. Sebelum ditetapkan sebagai terÂsangka, ketiga bekas pejabat PT MNA itu telah lebih dahulu dikoÂrek keterangannya sebagai saksi.
Bekas Direktur Utama PT MerÂpati Nusantara Airlines lainnya, yakni Cucuk Suryosuprojo juga suÂdah diperiksa sebagai saksi pada 16 Agustus tahun lalu. SeÂdangkan Presiden Direktur PT MNA Sardjono Jhoni, diperiksa sebagai saksi pada 25 Mei 2011.
Pernah diberitakan, Hotasi meÂminta Kejaksaan Agung tidak meÂngesampingkan putusan PeÂngadilan Distrik Washington DC, Amerika Serikat terkait pesawat yang tak kunjung datang meski sudah dibayar. Menurutnya, PeÂngadilan Distrik Washington meÂneÂrima gugatan Merpati dan meÂwajibkan TALG mengembalikan uang milik Merpati.
“Upaya kami menggugat TALG menunjukkan tidak ada kongkalikong. Ini murni perÂsoaÂlan wanprestasi. Bagi Merpati, ini merupakan risiko bisnis,†kataÂnya di Kejagung.
Kuasa hukum Hotasi, LawÂrence TB Siburian mengatakan bahwa penetapan kliennya sebaÂgai tersangka tidak tepat. SoalÂnya, menurut dia, kasus sewa peÂsawat ini murni perkara perdata, bukan pidana. Lawrence menilai, Kejaksaan Agung terlalu meÂmakÂsakan diri menetapkan kasus ini ke ranah pidana.
Apalagi, lanjut Lawrence, tindak pidana korupsi harus meÂmiliki tiga unsur. Yakni melawan hukum, ada kerugian negara yang menguntungkan diri sendiri, orang lain atau koorporasi. “KeÂtiga hal tersebut harus terpenuhi, tidak bisa jika hanya ada satu unÂsur,†katanya.
REKA ULANG
Duit Itu Tak Bisa Ditarik Kembali
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Andi NirÂwanto mengaku, kasus korupsi sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 ini masih dikemÂbangkan anak buahnya.
Penyidik Pidana Khusus, menurut Andhi, masih mengorek keterangan para saksi untuk menÂdalami perkara yang diduga meÂrugikan negara 1 juta dolar AmeÂrika Serikat atau sekitar Rp 9 miÂliar ini. Kejaksaan Agung, lanÂjutÂnya, juga meminta keterangan ahli hukum pidana dan ahli peÂngadaan barang dan jasa untuk menÂdalami perkara tersebut.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan sampai saat ini, kata Andhi, Kejaksaan Agung masih fokus dalam kasus sewa pesawat, belum soal pembelian pesaÂwat oleh PT Merpati NuÂsanÂtara Airlines (MNA). “Informasi yang ada masih sangat minim untuk masalah-masalah pemÂbeÂlian,†katanya.
Kasus sewa pesawat terjadi pada tahun 2006. Saat itu, Direksi PT MNA menyewa dua pesawat Boeing 737 dari Thirdstone AirÂcaft Leassing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat, seharga 500 ribu dolar AS untuk setiap peÂsaÂwat. Tapi, kata Andhi, setelah dilakukan pembayaran sebesar satu juta dolar AS ke rekening lawyer yang ditunjuk TALG, yakÂni Hume & Associates meÂlalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat tersebut belum perÂnah diterima PT Merpati NuÂsanÂtara Airlines.
Kejaksaan Agung, lanjut Andhi, mencium indikasi korupÂsi sebesar satu juta dolar AmeÂrika Serikat dalam kasus terÂseÂbut. KeÂmudian, status perkara ini diÂtingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan.
Hal senada pernah disampaiÂkan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana KhuÂsus Jasman Pandjaitan (kini KeÂpala Kejaksaan Tinggi KaÂliÂmanÂtan Barat). Menurutnya, TALG melanggar kontrak karena tidak menyediaÂkan dua pesawat jenis Boeing 737 seri 400 dan 500 yang dijanjikan sebelumnya. Padahal, Merpati telah mentransfer duit jaminan 1 juta dolar AS. Namun, duit yang disetor ke rekening lawÂyer yang ditunjuk TALG, yakni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, tak bisa ditarik kembali.
Menurut Jasman, kebijakan mengirim uang ke rekening lawÂyer itulah yang membuat Merpati sulit menarik kembali duit jaÂmiÂnan tersebut.
Seharusnya, lanjut dia, duit jaminan disimpan pada lembaga penjamin resmi. MakaÂnya, dia curiga ada keinginan sejumlah pihak untuk meÂnyeÂleÂwengkan dana itu. “Kenapa seÂolah diÂpaksakan disimpan di sana,†Katanya.
Ingatkan Kejagung Jangan Diskriminatif
Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR YahÂdil Abdi Harahap mengiÂngatÂÂÂkan pimpinan dan penyiÂdik Kejaksaan Agung agar tiÂdak disÂkriminatif dalam meÂnangani kaÂsus korupsi, terÂmaÂsuk perÂkara duÂgaan sewa pesaÂwat fiktif PT Merpati NusanÂtara Airlines (MNA).
Diskriminatif yang dimaksud Yahdil adalah, ada tersangka kasus korupsi yang cepat ditaÂhan, sedangkan tersangka lainÂnya masih bebas berkeliaran.
“Ada yang ditahan cepat sekaÂli, ada yang tidak ditahan. Ini disÂkriminatif. Padahal, siapa pun yang ditetapkan sebagai terÂsangÂka, berarti alat buktinya sama-sama sudah cukup,†ujarÂnya, kemarin.
Dia juga mengingatkan KeÂjakÂsaan Agung agar menangani kasus-kasus korupsi secara transparan dan dengan batasan waktu yang jelas, sehingga maÂsyarakat tak curiga ada sesuatu di balik lambatnya para terÂsangÂka dibawa ke pengadilan. “JaÂngan sampai diselesaikan daÂlam waktu yang lama,†kata angÂgota DPR dari Fraksi PAN ini.
Yahdil menambahkan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak diterangkan secara tegas perihal kepentingan penahanan. KetiÂdakÂtegasan itu bisa menjadi celah untuk berlaku tidak jujur. “Soal penahanan tersangka itu subyektif, makanya harus dibaÂhas. Apakah ukuran-ukuran ditahan, kenapa tidak ditahan. Alasan-alasan subyektif harus diminimalisir,†kata dia.
Penjaminan atau pÂeÂnaÂngÂguÂhan peÂnahanan tersangka, kata YahÂdil, juga tidak ada dalam hukum acara. “Banyak sekali yang dijaÂmin, tapi nyatanya baÂnyak juga yang lari, kabur ke luar negeri. Anehnya, tidak ada mekanisme sanksi terhadap yang menjamin. Ini harus diÂatur,†tandasnya.
Melihat kondisi seperti itu, menurut Yahdil, pembahasan draf revisi KUHAP menjadi saÂngat penting. Akan tetapi, meÂnuÂrutnya, proses ke sana masih menggantung. “Sebenarnya, itu harus diatur dalam KUHAP langsung. Tapi, draft KUHAP tak kunjung selesai di pemeÂrintah,†ucapnya.
Cenderung Masuk “Peti Esâ€
Petrus Selestinus, Koordinator TPDI
Koordinator Tim PemÂbela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus meÂniÂlai, penanganan perkara dugaan korupsi di PT Merpati NuÂsanÂtara Airlines (MNA) lamban, bahÂkan cenderung masuk “peti esâ€.
“Sudah menjadi karakter KeÂjaksaan Agung dalam meÂnaÂngaÂni kasus korupsi, yakni lamban, tidak sungkan-sungkan memÂbiarÂkan seseorang menyandang status tersangka dalam waktu lama dan menimbun berkas perÂkara yang siap masuk peÂnunÂtutan,†kata Petrus, kemarin.
Kejaksaan Agung, lanjut Petrus, juga tidak sungkan-sungÂkan mengeluarkan SP3 unÂtuk kasus-kasus yang menurut publik buktinya sudah cukup.
“Kejaksaan Agung seolah tidak peduli terhadap kritik dan tidak mampu menjaga indeÂpenÂdensinya dalam menjalankan tuÂgas penegakan hukum,†kritiknya.
Persoalan seperti itulah, lanÂjut Petrus, yang membuat hamÂpir sebagian besar pelaku koÂrupsi lebih senang kasusnya ditangani Kejaksaan Agung.
“Sebab terdapat celah-celah untuk cincai, tidak ditahan dan bisa diberikan SP3. Setidaknya, status tersangkanya tetap, tetapi berkas perkaranya tidak kunÂjung naik ke penuntutan,†ucapnya.
Sebagai contoh, lanjut dia, kaÂsus cessie Bank Bali yang diÂduga melibatkan banyak pejabat dan pimpinan bank. Padahal, kasus itu ditangani dari tahun 2000. Hingga saat ini, kata PetÂrus, seÂjumlah orang penting seÂolah-olah mendapatkan priveleÂge.
“Kasus Merpati semoga tidak demikian, karena praktek pemÂberian hak istimewa kepada seÂjumlah tersangka kakap, meÂruÂsak citra dan nama baik KejakÂsaan Agung,†tuturnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: