Bekas Direktur Utama Merpati Belum Dibawa Ke Pengadilan

Jadi Tersangka Di Kejagung Sejak Agustus 2011

Jumat, 20 April 2012, 09:51 WIB
Bekas Direktur Utama Merpati Belum Dibawa Ke Pengadilan
Hotasi Nababan

RMOL. Jadi tersangka perkara dugaan sewa pesawat fiktif sejak Agustus 2011, bekas Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Hotasi Nababan tak kunjung dibawa Kejaksaan Agung ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).  

Menurut Direktur Penyidi­kan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Ang­kouw, berkas perkara atas nama tersangka Ho­tasi Nababan sudah dinyata­kan lengkap atau P21, dan sedang di­buatkan rencana dakwaan (ren­dak) di bagian Pe­nuntutan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus.

Lantaran telah dinyatakan P21, lanjut Arnold, maka kewenangan penanganan tersangka Hotasi telah beralih kepada bagian Pe­nun­tutan pada Jampidsus.

“Kapan dilimpahkan ke pe­nga­dilan, silakan tanya kepada Pe­nuntutan dan Kapuspenkum,” ujarnya di Gedung Bundar Ke­jak­saan Agung, Jakarta, kemarin.

Sedangkan dua tersangka lain, yakni bekas Direktur Keuangan PT MNA Guntur Aradea dan bekas GM Air Craft Procurement Tony Sudjiarto masih dilengkapi pemberkasannya. “Tentu kami menginginkan berkas dua ter­sangka ini secepatnya menyusul lengkap,” ujar bekas Kepala Ke­jak­saan Tinggi Sulawesi Utara ini.

Selain belum membawa kasus ini ke Pengadilan Tipikor, Ja­karta, Kejaksaan Agung juga be­lum menahan para tersangka yang diduga merugikan ke­uangan negara sekitar Rp 9 miliar ini.

Perkara ini bermula saat Di­reksi PT Merpati Nusantara Air­lines menyewa dua pesawat Boeing 737-400 dari Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat pada tahun 2006.

Namun, sejak biaya sewa sebesar 500 ribu dolar AS per pesa­wat dibayarkan ke reke­ning kantor lawyer Hume And Asso­ciates melalui transfer Bank Man­diri, kedua pesawat itu tidak per­nah dikirim ke Indonesia.

Akibatnya, diduga terjadi ke­rugian negara sebesar satu juta do­lar AS atau sekitar Rp 9 miliar pada salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini.

Dalam perkara ini, Hotasi dan Guntur ditetapkan Kejagung se­bagai tersangka sejak Agustus 2011. Sedangkan Tony dite­tap­kan sebagai tersangka ber­da­sar­kan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Print 196/F.2/Fd.1/12/2011 tanggal 22 Desember 2011. Sebelum ditetapkan sebagai ter­sangka, ketiga bekas pejabat PT MNA itu telah lebih dahulu diko­rek keterangannya sebagai saksi.

Bekas Direktur Utama PT Mer­pati Nusantara Airlines lainnya, yakni Cucuk Suryosuprojo juga su­dah diperiksa sebagai saksi pada 16 Agustus tahun lalu. Se­dangkan Presiden Direktur PT MNA Sardjono Jhoni, diperiksa sebagai saksi pada 25 Mei 2011.

Pernah diberitakan, Hotasi me­minta Kejaksaan Agung tidak me­ngesampingkan putusan Pe­ngadilan Distrik Washington DC, Amerika Serikat terkait pesawat yang tak kunjung datang meski sudah dibayar. Menurutnya, Pe­ngadilan Distrik Washington me­ne­rima gugatan Merpati dan me­wajibkan TALG mengembalikan uang milik Merpati.

“Upaya kami menggugat TALG menunjukkan tidak ada kongkalikong. Ini murni per­soa­lan wanprestasi. Bagi Merpati, ini merupakan risiko bisnis,” kata­nya di Kejagung.

Kuasa hukum Hotasi, Law­rence TB Siburian mengatakan bahwa penetapan kliennya seba­gai tersangka tidak tepat. Soal­nya, menurut dia, kasus sewa pe­sawat ini murni perkara perdata, bukan pidana. Lawrence menilai, Kejaksaan Agung terlalu me­mak­sakan diri menetapkan kasus ini ke ranah pidana.

Apalagi, lanjut Lawrence, tindak pidana korupsi harus me­miliki tiga unsur. Yakni melawan hukum, ada kerugian negara yang menguntungkan diri sendiri, orang lain atau koorporasi. “Ke­tiga hal tersebut harus terpenuhi, tidak bisa jika hanya ada satu un­sur,” katanya.

REKA ULANG

Duit Itu Tak Bisa Ditarik Kembali

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Andi Nir­wanto mengaku, kasus korupsi sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 ini masih dikem­bangkan anak buahnya.

Penyidik Pidana Khusus, menurut Andhi, masih mengorek keterangan para saksi untuk men­dalami perkara yang diduga me­rugikan negara 1 juta dolar Ame­rika Serikat atau sekitar Rp 9 mi­liar ini. Kejaksaan Agung, lan­jut­nya, juga meminta keterangan ahli hukum pidana dan ahli pe­ngadaan barang dan jasa untuk men­dalami perkara tersebut.

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan sampai saat ini, kata Andhi, Kejaksaan Agung masih fokus dalam kasus sewa pesawat, belum soal pembelian pesa­wat oleh PT Merpati Nu­san­tara Airlines (MNA). “Informasi yang ada masih sangat minim untuk masalah-masalah pem­be­lian,” katanya.

Kasus sewa pesawat terjadi pada tahun 2006. Saat itu, Direksi PT MNA menyewa dua pesawat Boeing 737 dari Thirdstone Air­caft Leassing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat, seharga 500 ribu dolar AS untuk setiap pe­sa­wat. Tapi, kata Andhi, setelah dilakukan pembayaran sebesar satu juta dolar AS ke rekening lawyer yang ditunjuk TALG, yak­ni Hume & Associates me­lalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat tersebut belum per­nah diterima PT Merpati Nu­san­tara Airlines.

Kejaksaan Agung, lanjut Andhi, mencium indikasi korup­si sebesar satu juta dolar Ame­rika Serikat dalam kasus ter­se­but. Ke­mudian, status perkara ini di­tingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan.

Hal senada pernah disampai­kan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khu­sus Jasman Pandjaitan (kini Ke­pala Kejaksaan Tinggi Ka­li­man­tan Barat). Menurutnya, TALG melanggar kontrak karena tidak menyedia­kan dua pesawat jenis Boeing 737 seri 400 dan 500 yang dijanjikan sebelumnya. Padahal, Merpati telah mentransfer duit jaminan 1 juta dolar AS. Namun, duit yang disetor ke rekening law­yer yang ditunjuk TALG, yakni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, tak bisa ditarik kembali.

Menurut Jasman, kebijakan mengirim uang ke rekening law­yer itulah yang membuat Merpati sulit menarik kembali duit ja­mi­nan tersebut.

Seharusnya, lanjut dia, duit jaminan disimpan pada lembaga penjamin resmi. Maka­nya, dia curiga ada keinginan sejumlah pihak untuk me­nye­le­wengkan dana itu. “Kenapa se­olah di­paksakan disimpan di sana,” Katanya.

Ingatkan Kejagung Jangan Diskriminatif

Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Yah­dil Abdi Harahap mengi­ngat­­­kan pimpinan dan penyi­dik Kejaksaan Agung agar ti­dak dis­kriminatif dalam me­nangani ka­sus korupsi, ter­ma­suk per­kara du­gaan sewa pesa­wat fiktif PT Merpati Nusan­tara Airlines (MNA).

Diskriminatif yang dimaksud Yahdil adalah, ada tersangka kasus korupsi yang cepat dita­han, sedangkan tersangka lain­nya masih bebas berkeliaran.

“Ada yang ditahan cepat seka­li, ada yang tidak ditahan. Ini dis­kriminatif. Padahal, siapa pun yang ditetapkan sebagai ter­sang­ka, berarti alat buktinya sama-sama sudah cukup,” ujar­nya, kemarin.

Dia juga mengingatkan Ke­jak­saan Agung agar menangani kasus-kasus korupsi secara transparan dan dengan batasan waktu yang jelas, sehingga ma­syarakat tak curiga ada sesuatu di balik lambatnya para ter­sang­ka dibawa ke pengadilan. “Ja­ngan sampai diselesaikan da­lam waktu yang lama,” kata ang­gota DPR dari Fraksi PAN ini.

Yahdil menambahkan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak diterangkan secara tegas perihal kepentingan penahanan. Keti­dak­tegasan itu bisa menjadi celah untuk berlaku tidak jujur. “Soal penahanan tersangka itu subyektif, makanya harus diba­has. Apakah ukuran-ukuran ditahan, kenapa tidak ditahan. Alasan-alasan subyektif harus diminimalisir,” kata dia.

Penjaminan atau p­e­na­ng­gu­han pe­nahanan tersangka, kata Yah­dil, juga tidak ada dalam hukum acara. “Banyak sekali yang dija­min, tapi nyatanya ba­nyak juga yang lari, kabur ke luar negeri. Anehnya, tidak ada mekanisme sanksi terhadap yang menjamin. Ini harus di­atur,” tandasnya.

Melihat kondisi seperti itu, menurut Yahdil, pembahasan draf revisi KUHAP menjadi sa­ngat penting. Akan tetapi, me­nu­rutnya, proses ke sana masih menggantung. “Sebenarnya, itu harus diatur dalam KUHAP langsung. Tapi, draft KUHAP tak kunjung selesai di peme­rintah,” ucapnya.

Cenderung Masuk “Peti Es”

Petrus Selestinus, Koordinator TPDI

Koordinator Tim Pem­bela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus me­ni­lai, penanganan perkara dugaan korupsi di PT Merpati Nu­san­tara Airlines (MNA) lamban, bah­kan cenderung masuk “peti es”.

“Sudah menjadi karakter Ke­jaksaan Agung dalam me­na­nga­ni kasus korupsi, yakni lamban, tidak sungkan-sungkan mem­biar­kan seseorang menyandang status tersangka dalam waktu lama dan menimbun berkas per­kara yang siap masuk pe­nun­tutan,” kata Petrus, kemarin.

Kejaksaan Agung, lanjut Petrus, juga tidak sungkan-sung­kan mengeluarkan SP3 un­tuk kasus-kasus yang menurut publik buktinya sudah cukup.

“Kejaksaan Agung seolah tidak peduli terhadap kritik dan tidak mampu menjaga inde­pen­densinya dalam menjalankan tu­gas penegakan hukum,” kritiknya.

Persoalan seperti itulah, lan­jut Petrus, yang membuat ham­pir sebagian besar pelaku ko­rupsi lebih senang kasusnya ditangani Kejaksaan Agung.

“Sebab terdapat celah-celah untuk cincai, tidak ditahan dan bisa diberikan SP3. Setidaknya, status tersangkanya tetap, tetapi berkas perkaranya tidak kun­jung naik ke penuntutan,” ucapnya.

Sebagai contoh, lanjut dia, ka­sus cessie Bank Bali yang di­duga melibatkan banyak pejabat dan pimpinan bank. Padahal, kasus itu ditangani dari tahun 2000. Hingga saat ini, kata Pet­rus, se­jumlah orang penting se­olah-olah mendapatkan privele­ge.

“Kasus Merpati semoga tidak demikian, karena praktek pem­berian hak istimewa kepada se­jumlah tersangka kakap, me­ru­sak citra dan nama baik Kejak­saan Agung,” tuturnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA