Tersangka Kasus DW Tambah Dua Orang

Satu Dari Ditjen Pajak, Satu Lagi Wajib Pajak

Kamis, 19 April 2012, 09:35 WIB
Tersangka Kasus DW Tambah Dua Orang
Dhana Widyatmika (DW)
RMOL. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto kemarin menyampaikan, Kejaksaan Agung menaikkan status dua orang sebagai tersangka baru kasus Dhana Widyatmika (DW). Kedua tersangka itu langsung ditahan.

“Ada dua tersangka baru, dari pi­hak wajib pajak dan dari Ditjen Pa­jak,” ujar Andhi di Gedung Bun­­dar, Kejaksaan Agung, tadi ma­­lam. Namun, dia belum mau menjelaskan bagaimana peran dua tersangka baru itu dalam ka­sus DW. “Terkait materi, nanti ikuti saja. Masih dikembangkan,” ucapnya.

Kedua tersangka itu adalah, pegawai Ditjen Pajak Herly Is­diharsono, yang diketahui juga me­miliki bisnis jual beli mobil den­­gan tersangka DW. Tersangka selanjutnya adalah Johnny Ba­suki, Direktur PT Mutiara Virgo sebagai wajib pajak yang juga ber­peran sebagai broker.

Johnny ditangkap penyidik Ke­jagung, kemarin siang. Satuan Khu­sus Pidana Khusus Kejak­s­a­an Agung menciduk Johnny lan­ta­ran dia tidak kooperatif. Tim yang dipimpin Kuntadi itu me­nyergap Johnny di Hotel Indo­ne­sia Kempinski, Jakarta.

Berdasarkan informasi yang didapat salah seorang penyidik, Johnny sempat melakukan perla­wa­nan saat akan ditangkap. Me­ngetahui sasarannya akan kabur, penyidik menyergap dan me­mi­ting­nya. Johnny langsung ditetap­kan sebagai tersangka dan dit­a­han di Rutan Cipinang, Jakarta Timur.

Sedangkan Herly Isdiharsono, seusai diperiksa penyidik hanya diam. Dia tak berkomentar soal penetapan status dan pena­ha­nan­nya. “Saya tak bisa komentar,” kata tersangka yang dibawa ke Ru­tan Salemba cabang Kejak­sa­an Negeri Jakarta Selatan ini.

Direktur Penyidikan pada Jak­sa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw menambahkan, seiring penetapan dua tersangka itu, maka berkas perkara kasus pajak ini bisa segera dipersiapkan untuk masuk ke penga­dilan.

“Masih ada keterlibatan pi­hak-pihak lain. Tetapi yang ini su­dah bisa diberkaskan, dan yang lain tetap dikembangkan,” kata­nya, kemarin.

Diduga, Johnny dan Herly ber­peran dalam hal restitusi pajak ter­hadap PT Mutiara Virgo pada tahun 2005-2006. “Terkait uang Rp 30 miliar pada restitusi pajak. Nah, H berbagi dengan DW, me­reka ber­dua yang mengurusi,” kata bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Sula­wesi Utara ini. John­ny dan Herly dijerat dengan Un­dang-Undang Tindak Pidana Ko­rupsi dan Tin­dak Pidana Pen­c­u­cian Uang.

Penyidik mengejar keterlibatan sejumlah perantara atau broker yang berperan sebagai konsultan pajak, yang kerap bermain de­ngan para tersangka dari Ditjen Pajak itu. “Kami masih me­la­ku­kan pengejaran terhadap mereka. Ada beberapa orang yang kami ke­jar, sabarlah, nanti kalau ter­tang­kap, kami beritahu,” kata Ar­nold pada Selasa malam (17/4).

Arnold mengatakan, para pe­rantara ini diduga kerap menyuap tersangka dari Ditjen Pajak demi ke­pentingan kliennya. Meski tidak mau menyebutkan nama pe­la­kunya, namun Arnold menya­takan akan segera menangkap mereka.

Arnold membeberkan, pihak­nya juga telah memeriksa seorang kon­sultan pajak sebagai saksi. Yang menarik, katanya, konsul­tan pajak itu memberikan dana ke Dhana de­ngan modus baru. Na­mun, Arnold enggan menjelaskan bagaimana mo­dus baru tersebut dilakukan.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan atasan DW, yakni Firman (F) sebagai tersangka ka­sus tindak pidana korupsi dan pen­cucian uang ini. “Setelah me­la­kukan pengembangan kasus, penyidik menemukan dua alat bukti yang cukup, maka F dite­tapkan sebagai tersangka,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi M Toega­risman di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta.

Firman disangka memiliki peran signifikan dalam kasus ini, sewaktu anak buahnya, Dhana bertugas di Kantor Pajak Pan­coran. Sehingga, Firman dijerat de­ngan Pasal 12 g Undang Un­dang Tindak Pidana Korupsi (Ti­pikor). “Pada 2006, DW adalah Ketua Tim Pemeriksa Pajak yang memeriksa wajib pajak PT KTU. F adalah Supervisor DW waktu itu. Inti kasusnya di situ. Nanti kami sampaikan secara rinci ke­terlibatan atasan DW itu setelah proses pemeriksaan,” ujarnya.

Atasan DW itu belum ditahan. Adi beralasan, masalah penaha­nan tersangka sesuai kebutuhan penyidik saja. Namun, penyidik sudah menjadwalkan pemerik­sa­an Firman sebagai tersangka.

“Kalau tidak ada halangan, hari Kamis tanggal 19 April, F akan di­periksa pertama kali sebagai ter­sangka,” ujar Adi.

REKA ULANG

Disangka Memiliki Harta Tak Wajar

Dhana Widyatmika ditetapkan sebagai tersangka perkara tindak pidana korupsi dan pencucian uang pada 17 Februari 2012. Ke­jak­saan Agung telah memper­panjang masa penahanan Dhana pada 21 Maret lalu.

Dhana disangka memiliki harta tidak wajar sebagai PNS go­lo­ngan III C. Dia memiliki rekening berjumlah miliaran rupiah di sejumlah bank. Selain itu, Dhana juga memiliki beberapa barang berharga seperti emas, dokumen sertifikat tanah dan mobil me­wah. Tim Satuan Khusus pada Jampidsus telah menyita sejum­lah barang berharga milik Dhana.

Harta kekayaan Dhana yang te­lah disita Kejaksaan Agung, telah dihitung nilainya, yakni sekitar Rp 18 miliar. Tapi, itu masih ang­ka sementara lantaran masih ada aset Dhana yang belum disita. Apalagi, penyidik Kejagung masih menelusuri harta kekayaan PNS Ditjen Pajak itu di sejumlah daerah.

Hal itu disampaikan Jaksa Agung Basrief Arief seusai me­ngikuti peluncuran buku Kinerja Akhir Tahun Kejaksaan Agung, di Sasana Pradana, Gedung Uta­ma, Kejaksaan Agung, Jakarta.

“Rekapitulasi itu masih dila­ku­kan. Angka itu belum terma­suk ta­nah, karena tanah belum di­hitung se­mua. Ini tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di luar Ja­karta. Kami kirim penyidik ke dae­rah-daerah untuk penelu­su­ran,” ujarnya.

Basrief menambahkan, jaj­a­ran­nya butuh waktu untuk mengusut kasus dengan tersangka berinisial DW ini. “Sebab, yang kami usut itu tindak pidana korupsi dan pencucian uangnya sekaligus,” ucap bekas Jaksa Agung Muda Intelijen ini.

Kepala Pusat Penerangan Hu­kum Kejaksaan Agung Adi Toe­garisman menjelaskan, penyidik telah menghitung jumlah harta kekayaan DW yang sudah resmi disita. “Hasil rekap sementara terhadap harta dan barang bukti yang disita dari DW, jumlahnya 18 miliar, 448 ribu rupiah,” ujarnya.

Adi merinci, harta kekayaan DW yang disita itu antara lain, uang dalam penyedia jasa ke­uangan sebesar Rp 11 miliar, uang tunai dalam bentuk Dolar AS sebesar 270 juta, dalam ben­tuk Dinar Irak sekitar 7 juta, da­lam bentuk mata uang Riyad Saudi Arabia sebesar 1,3 juta. Ke­mudian, emas seberat 1,1 kilo­gram. “Kalau dinilai dengan uang, sekitar 465 juta rupiah,” ujarnya.

Barang sitaan lainnya, berupa kendaraan bermotor, termasuk mobil sedan Daimler Chrysler dan truk yang hasil sementara per­hitungannya Rp 1,6 miliar.

Selanjutnya, kata Adi, investasi berupa tanah yang belum semua­nya dihitung. Taksiran sementara, nilainya sekitar Rp 4,5 miliar. Ke­mudian, jam Rolex yang diper­ki­ra­kan harganya Rp 103 juta.

Adi menambahkan, angka itu masih bisa bertambah lantaran tim penyidik masih menelusuri har­ta kekayaan DW. “Misalnya, ada sembilan bidang tanah yang sertifikatnya sudah dilakukan pe­nyitaan, tapi secara fisik belum. Sembilan bidang tanah ini belum dihitung dalam uang,” katanya. Lokasi tanah-tanah itu, menurut­nya , berada di beberapa tempat di sekitar Jakarta. “Luasnya juga belum direkap,” lanjut dia.

Bantahan Tersangka Biasanya Ditaruh Di Belakang

Suhartono Widjaya, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Suhartono Widjaya mengata­kan, urusan teknis penyelidikan dan penyidikan dalam kasus Dhana Widyatmika adalah we­wenang Kejaksaan Agung.

Dalam teknis penyelidikan dan penyidikan, kata Suhar­to­no, pengakuan tersangka atau terdakwa selalu diletakkan pada urutan belakang. “Bila pe­nga­ku­an tersangka dijadikan bukti, maka hal tersebut diletakkan pada urutan terakhir, kecuali di­temukan fakta hukum tercatat,” ujar Suhartono, kemarin.

Menurutnya, hal tersebut mem­buat rumit, karena sering ter­jadi terdakwa membantah tu­du­han bahwa dia tidak melaku­kan sendiri dan selalu ingin men­cari orang lain untuk me­ngurangi bebannya.

“Bila tidak ditemukan fakta hukum, maka akan menjadi pu­kulan terhadap terdakwa. Un­tuknya dapat dituntut sebagai pemfitnah, sesuai Pasal 317 KUHP,” kata politisi Partai De­mokrat itu.

Bagi Suhartono, pengusutan kasus korupsi di Kejaksaan Agung harus tetap memegang prinsip hukum yang benar. Dengan prinsip itu, pengusutan akan sesuai track-nya.

“Memang banyak tuntutan me­lalui opini atau pernyataan-per­­n­yataan dari masyarakat yang ingin agar kasus pidana se­gera di­tuntaskan, tetapi kita kan nega­ra hukum dimana criminal justi­ce system yang diper­ca­ya­kan pada institusi polisi, ke­jak­saan dan pe­ngadilan tidak boleh diin­ter­vensi, karena para pe­tu­gasnya te­lah di­bekali teknis dan ilmu yang sesuai profesi,” ujar dia.

Masyarakat Curiga Bila Terlalu Lama

Alex Sato Bya, Pensiunan Jaksa Agung Muda

Bekas Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Alex Sato Bya meminta pe­nyi­dik Kejaksaan Agung mem­per­cepat kinerjanya mengusut ka­sus korupsi dan pencucian uang pegawai Ditjen Pajak Dhana Widyatmika (DW).

Menurutnya, penyidik Ke­jak­saan Agung telah bekerja da­lam bentuk tim, dengan jaksa-jaksa yang terlatih dan memiliki keahlian. Karena itu, tidak ada alasan bekerja lambat.

“Kasus ini sudah menyita per­hatian publik. Penyidik ha­rus­nya bisa cepat melimpahkan perkara ini ke pengadilan. M­i­nimal berkas yang sudah ram­pung langsung naik ke pe­nun­tutan,” ujar Alex, kemarin.

Kata Alex, bila terlalu lama proses penyidikan, publik akan curiga. Menurutnya, lebih ba­gus kalau penyidik melim­pah­kan satu per satu tersangka ka­sus ini ke pengadilan.

“Nah, sampai sekarang be­lum ada yang masuk ke penga­dilan. Untuk apa dibentuk tim ka­lau lama dan menggantung per­kara,” kata bekas Ketua Komite Aksi Pemuda Pelajar In­donesia (Kappi) Angkatan 66 Sumatera Selatan ini.

Tim penyidik yang dibentuk, lanjut Alex, harus benar-benar be­k­­erja. Mereka juga sudah di­didik dan dibekali keahlian pe­nyidikan yang layak. “Tim itu kan untuk mempercepat pem­ber­kasan. Tiap hari mereka pemberkasan, untuk memenuhi sasaran, tidak terlalu masalah se­gera naik ke penuntutan. Biar tidak bertumpuk. Jangan sam­pai semua kasus bertumpuk dan pada akhirnya membuat mereka kebingungan sendiri,” ujarnya.

Dalam penanganan perkara seperti ini, kata Alex, mem­per­lihatkan sejauh mana kualitas dan kecepatan penyidik me­ngu­sut kasus. “Jangan sampai sak­si-saksi, tersangka  dipanggil-pang­gil dan diperiksa tapi tak naik-naik ke penunutan. Pe­nyi­dik itu kan orang-orang ahli. Di­godok di Pusdiklat Pasar Ming­gu menjadi penyidik yang han­dal. Tak perlu berlama-lama, se­bab mereka su­dah tahu bagai­mana membuat pemberkasan,” ujarnya.

Mata dan telinga publik, kata Alex, tidak pernah tertutup atas kinerja kejaksaan. Karena itu, fungsi pengawasan dan ma­na­je­rial pimpinan Kejaksaan Agung mesti berjalan dengan benar. “Kesan masyarakat dan DPR terhadap kejaksaan tidak enak kalau kasus ini tak naik-naik prosesnya. Seolah-olah tidak bisa kerja. Pimpinan perlu melakukan monitoring yang serius,” katanya. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA