RMOL. Kemarin, KPK kembali memanggil dan memeriksa Bekas Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan Rustam Syarifuddin Pakaya yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pengadaan alat kesehatan pada 2007.
“RSP diperiksa sebagai terÂsangka,†kata Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi JoÂhan Budi Sapto Prabowo.
Selain mengorek keterangan Rustam lagi, menurut Johan, KPK juga menjadwalkan kemÂbali pemeriksaan Menteri KeÂseÂhatan Endang Rahayu SedÂyaÂningsih. Pada 26 Maret lalu, KPK menjadwalkan pemeriksaan terÂhadap Endang sebagai saksi. NaÂmun, Menteri Kesehatan tidak daÂtang dengan alasan sakit. “KaÂmi sudah menjadwalkan kemÂbali,†ujar Johan.
Kendati begitu, Johan belum mau memastikan jadwal pemeÂrikÂsaan terhadap Menteri KeÂseÂhatan. “Yang pasti, panggilan suÂdah kami kirim lagi,†elaknya.
Johan menjelaskan, KPK menÂdalami empat kasus dugaan koÂrupsi di Departemen KeÂsehatan (sekarang Kementerian KeseÂhatÂan). Pertama, perkara pengadaan alat kesehatan untuk penanganan flu burung. Kedua, pengadaan alkes tahun 2006 dan 2007. KeÂtiga, pengadaan alkes untuk Pusat Penanggulangan Krisis Depkes tahun 2007. Keempat, perkara pemÂbelian zat-zat kimia. Nah, MenÂteri Kesehatan akan diÂpanggil kembali sebagai saksi salah satu kasus korupsi itu.
Johan tidak menjelaskan secara rinci, mengapa Endang dipanggil seÂbagai saksi. Tapi, bekas SekÂretaris Ditjen Bina Pelayanan MeÂdik Departemen Kesehatan RatÂna Dewi Umar yang meruÂpaÂkan salah satu tersangka kasus ini, sedikit memberikan gamÂbarÂan, mengapa KPK ingin meÂngorek keterangan Endang.
Meski mengaku tidak tahu apa yang diketahui Endang sebagai saksi, Ratna menyatakan, pengaÂdaan alkes flu burung pada 2007 merupakan tanggung jawab Pusat Litbang Biomedis Farmasi. Saat itu, Pusat Litbang Biomedis dikeÂpalai Endang. “Yang jelas, itu doÂmainnya Litbangkes,†kata Ratna seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta (29/3).
Menurut Ratna, Endang juga pernah menjadi Koordinator Penelitian Flu Burung pada tahun 2006. Selain memanggil Endang, KPK juga telah memanggil bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah SuÂpari untuk dimintai keteÂrangÂan. Anggota Dewan PertimÂbangÂan Presiden itu telah berkali-kali hadir untuk diperiksa sebagai saksi. Bukan tersangka.
Tiga tersangka kasus korupsi di Depkes, yakni bekas Sekretaris DitÂjen Bina Pelayanan Medik DepÂkes Mulya A Hasjmy, bekas SekÂretaris Ditjen Bina Pelayanan Medik Ratna Dewi Umar dan beÂkas Kepala Pusat PenangÂguÂlangan Krisis Depkes Rustam Syarifuddin Pakaya.
Rustam ditetapkan sebagai terÂsangka setelah Majelis Hakim PeÂngadilan Tindak Pidana KoÂrupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara keÂpada bekas Sekretaris Menteri KoordiÂnator Kesejahteraan RakÂyat Sutedjo Juwono dalam kasus pengadaan alat kesehatan senilai Rp 40 miliar. “PeÂnetapan terÂsangÂka itu merupakan pengembangan peÂnyidikan dari kasus yang lalu,†kata Johan.
Pada proyek pengadaan alkes flu burung, Rustam berperan seÂbagai Kuasa Pengguna AngÂgaran dan Pejabat Pembuat Komitmen. RusÂtam disangka telah memÂperÂkaya diri sendiri.
Menurut Johan, Rustam diÂsangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang Undang Pemberantasan Korupsi. Rustam diÂsangka memperkaya diri senÂdiri sebesar Rp 6,8 miliar. “Saat itu, dia berperan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen,†katanya.
Tidak tertutup kemungkinan, kata Johan, KPK akan meneÂtapÂkan tersangka lain kasus yang telah menyeret anak buah Menko Kesra Aburizal Bakrie, SesÂmenÂkokesra Sutedjo JuÂwoÂno sebagai terpidana ini. “KeÂmungkinan itu ada, tergantung piÂhak penyidik,†ujarnya.
REKA ULANG
Sekretaris Menkokesra Di Era Ical Jadi Terpidana
Sutedjo Yuwono, bekas SekÂretaris Menteri Koordinator KeÂsejahteraan Rakyat Aburizal BakÂrie atau Ical, ditahan KPK pada 7 Februari 2011 setelah ditetapkan sebagai terÂsangka kasus korupsi pengÂadaÂan alat kesehatan pada 3 SepÂtember 2009.
Sutedjo telah diadili di PeÂngadilan Tipikor, Jakarta. Pada Selasa, 23 Agustus 2011, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman penjara tiga tahun untuknya.
Menurut KPK, Sutedjo meÂnyebabkan kerugian negara seÂbesar Rp 32 miliar. Adapun nilai kontrak pengadaan senilai Rp 98 miliar. Dia dikenakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang Undang PemÂberantasan Tindak Pidana KoÂrupsi (Tipikor).
Dalam kasus ini, terjadi pengÂgelembungan harga pembelian alat-alat kesehatan. Komisi PemÂberantasan Korupsi menghitung, daÂlam pengadaan itu terjadi penÂggelembungan harga hingga 200 persen.
Selain mark up, modus korupsi juga dilakukan melalui upaya peÂngiriman kembali alat-alat yang sama kepada RSUD yang sebeÂlumÂnya sudah pernah menerima, seÂhingga barang-barang tersebut sudah tidak diperlukan, karena sudah ada.
Pada Mei 2010, KPK meÂneÂtapkan bekas Sekretaris DiÂrekÂtorat Jenderal Bina Pelayanan MeÂdik Ratna Dewi Umar sebagai tersangka kasus pengadaan alat kesehatan penanganan flu burung tahun 2006.
Ratna ditetapkan sebagai terÂsangka terkait posisinya selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat KoÂmitmen (PPK) dalam pengadaan alat kesehatan.
Selain Ratna, bekas Kepala PuÂsat Penanggulangan Krisis DeÂpartemen Kesehatan Rustam SyaÂrifuddin Pakaya juga telah ditetapkan KPK sebagai terÂsangka. Rustam yang belaÂkangÂan menjabat Direktur SumÂber Daya MaÂnusia Rumah Sakit Dharmais, ditetapkan KPK seÂbagai terÂsangÂka pada 29 SepÂtemÂber 2011.
KPK juga telah menetapkan Sesditjen Bina Pelayanan Medik KeÂmenterian Kesehatan Mulya A HaÂsyim sebagai tersangka. DaÂlam konteks kasus ini, Mulya berÂtanggungjawab dalam pengadaan yang anggarannya telah digeÂlembungkan.
Selain KPK, Mabes Polri juga menangani perkara korupsi peÂngadaan alat kesehatan. Namun, yang Mabes Polri tangani meÂrupakan dugaan korupsi pengaÂdaÂan alat kesehatan rumah sakit di 30 provinsi tahun anggaran 2009. Kejaksaan Agung pun menangani kasus serupa untuk tahun angÂgaran 2010.
Menurut Jaksa Agung Muda PiÂdÂana Khusus Andhi Nirwanto, hal tersebut bukanlah masalah. Katanya, Kejagung berkoordinasi dengan Mabes Polri terkait peÂnanganan perkara dugaan korupsi pengadaan alat pendidikan dokter di Kemenkes ini. “Penuntutan perÂkara itu akan digabung dengan tersangka yang ditangani Mabes Polri, yakni Syamsul Bahri,†ujarnya.
Andhi menambahkan, berkas penuntutan akan digabung seÂtelah dinyatakan lengkap atau P21 serta tersangka dan barang bukÂti diserahkan ke kejaksaan. Dia juga mengatakan, Kejaksaan Agung dan Polri telah seÂpaÂkat soal penggabungan berkas dan penuntutan ini.
“Digabung terÂÂhadap yang tersangkanya saÂma. Di sana kan baru satu terÂsangka, sementara di sini sudah ada tiga tersangka, jadi nanti kita gaÂbung. Tidak ada masalah,†ujarÂnya.
KPK Tak Boleh Duluin Pencitraan
Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Taslim Chanigo menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi lambat mengusut kasus korupsi pengadaan alat kesehatan.
Saking lambatnya, ada yang telah ditetapkan sebagai terÂsangÂka sejak Mei 2010, tetapi beÂlum dibawa ke tahap peÂnunÂtutan. “Menurut saya, KPK tiÂdak serius, sehingga peÂnangÂanÂan kasus ini lambat,†ujarnya, keÂmarin.
Taslim menambahkan, seÂtidaknya, ada dua kemungkinan mengapa KPK tidak kunjung meÂlimpahkan para tersangka itu ke Pengadilan Tindak Pidana KoÂrupsi (Tipikor). Pertama, berÂkas para tersangka itu belum lengÂkap. Kedua, tidak cukup bukti untuk menjadikan berkas-berkas itu P21.
Dia pun mengingatkan agar KPK tidak sibuk membangun citra saja, tanpa mengusut kaÂsus-kasus korupsi yang terÂbengÂkalai sampai tuntas. “KPK tidak boleh lebih banyak ke penÂÂcitraan keÂtimbang meÂnyeÂleÂsaiÂkan kasus korupsi,†nasihatnya.
Hal yang juga penting, lanjut TasÂlim, KPK perlu melakukan pembenahan internal supaya kasus-kasus yang ada bisa tuntas, dan tidak ada lokalisir perÂÂkara. “Ada yang baru diteÂtapÂkan sebagai tersangka lanÂgÂsung ditahan, tapi yang sudah berÂtahun-tahun jadi tersangka tidak diapa-apakan, ini kan aneh. Ada apa dengan KPK,†heÂÂrannya.
Menurut Taslim, KPK lambat mengusut dugaan korupsi pada pengadaan alat kesehatan kaÂrena kasus itu sudah tidak menÂjadi sorotan publik lagi. “KPK cenderung kepada perkara yang lebih menjadi sorotan publik. Inilah salah satu faktor yang membuat KPK dinilai tebang pilih,†ujarnya.
Lambat Karena Sentuh Pejabat Dan Bekas Pejabat
Petrus Selestinus, Praktisi Hukum
Praktisi hukum yang juga Koordinator Forum Advokat Pengawal Konstitusi (Faksi) PetÂrus Selestinus curiga, peÂngusutan kasus pengadaan alat kesehatan (alkes) lamban kaÂrena menyenggol nama seÂjumÂlah pejabat dan bekas pejabat.
“Penanganan kasus ini lamÂbat karena ada sejumlah nama orang penting di situ,†ujar KoorÂdinator Tim Pembela DeÂmokrasi Indonesia (TPDI) ini, kemarin.
Lantaran itu, menurut Petrus, independensi KPK dalam meÂngusut kasus pengadaan alat kesehatan patut dipertanyakan. “TerÂsangkanya tidak ditahan, peÂnyidikannya sangat lambat. SeÂpertinya KPK ingin jalan ceÂpat, tapi langkahnya ditarik ke beÂlakang oleh kekuatan besar yang diduga terlibat. Kekuatan beÂsar itu belum disentuh,†ujarÂnÂya.
Lebih lanjut, Petrus mengÂingatkan, langkah KPK meÂmangÂgil sejumlah saksi, terÂmasuk bekas Menteri KeÂseÂhatan Siti Fadilah Supari dan Menteri Kesehatan Endang RaÂhayu Sedyaningsih dipantau maÂsyarakat. “Jangan sampai keÂlÂambanan ini karena KPK meÂlindungi pihak-pihak tertentu. Masyarakat bisa merasakan jika ada yang janggal di KPK,†ujarnya.
Dia pun meminta KPK segera melakukan penahanan terhadap para tersangka dan melakukan peÂningkatan penyidikan dengan meÂnetapkan tersangka baru. “Jika tetap lambat, saya khaÂwatir, masyarakat curiga KPK seÂdang melindungi pelaku koÂrupsi sesungguhnya,†wanti-wanti Petrus.
Petrus pun berharap KPK memÂbuka posisi hukum sebeÂnarnya terkait kasus korupsi peÂngadaan alat kesehatan. “KPK perÂlu segera menjelaskan keÂpada publik mengenai posisi huÂkum kasus alkes,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: