Tahun lalu setidaknya 15 terÂsangka yang disebut teroris tewas ditembak, dan sampai Maret ini sudah ada 6 tersangka teroris yang kena hujam timah panas.
Koordinator Presidium IPW, Neta S. Pane mengecam aksi peÂnembakan itu. Baginya tindakan main tembak itu adalah bar-bar dan tidak patut dibanggakan. TuÂgas polisi yang sebenarnya adalah melumpuhkan tersangka demi menÂdapatkan informasi dan mengembangkan penyelidikan.
“Untuk membongkar jaringan teroris harus dari dalam, yakni menangkap anggotanya hidup-hidup dan menggali informasi. Dengan begitu, ada modal bagi Densus 88 untuk mengemÂbangÂkan penyelidikan,†katanya saat berbincang kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurutnya, bila Densus 88 terus-menerus beraksi seperti koÂboi dan main tembak ditempat bisa dikategorikan tidak beradab. Bukan tidak mungkin hal itu bisa menimbulkan trauma yang menÂdalam bagi masyarakat, dan menÂjadi teror dalam bentuk lain.
Diungkapkan, jika tidak ada perubahan standart operation procedure dalam kerja Densus 88 Antiteror, berita tentang terÂsangÂka teroris tewas ditembak baÂkal teÂrus-terusan bermunculan dalam meÂdia massa. Sebab, sampai seÂkarang saja sedikitnya ada sekitar 30 sampai 50 buron alias DPO.
Semua DPO itu memang terÂgolong teroris karena memiliki sejarah yakni pernah ikut dengan Abu Thalut, terpidana teroris yang diduga berperan sebagai penÂcari dana jaringan teroris kelompok Aceh.
Densus 88 mestinya memperÂhiÂtungkan bahwa penembakan terÂhadap teroris menimbulkan efek balas dendam. Terbukti, taÂhun lalu terjadi beberapa kali peÂristiwa penembakan terhadap apaÂrat polisi. Seperti penyeÂrangÂan pos poÂlisi di Palu pada Mei 2011.
Melihat kondisi tersebut IPW menÂÂdesak kewenangan diskresi yang dimiliki Densus 88 AntiÂteror diÂÂevalusi secara internal. MengiÂngat penembakan itu seÂakan-akan sebuah eksekusi terÂsangka teroris tanpa proses peradilan.
“Kami minta Polri melakukan penyelidikan internal apakah penembakan itu sesuai prosedur atau tidak, dan hasil penyelidikan internal itu perlu diinformasikan kepada publik,†ujarnya.
Sekalipun Densus mempunyai kewenangan diskresi sebagaiÂmana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2/2002 Tentang Kepolisian dan KUHAP, tetapi seÂtelah tindakan tersebut dilakuÂkan, diperlukan penyelidikan inÂternal untuk membuktikan apaÂkah tindakan itu telah melalui seÂbuah pertimbangan yang matang. “Ini demi peningkatan kinerja kepolisian dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,†katanya.
Kenyataan di Lapangan Yang Kerap Memaksa
Ansyaad Mbai, Kepala BNPT
Badan Nasional PenangguÂlangan Terorisme (BNPT) meÂminÂta DeÂwan Perwakilan Rakyat membuat undang-undang soal penggunaan senjata api untuk melumpuhkan hingga menembak mati kelomÂpok teroris atau pelaku kejahatan lainnya. MengÂingat, kenyataan di laÂpangan meÂmaksa aparat keamaÂnan mengÂambil tindakan menemÂbak hingÂga tewas pelaku kejahaÂtan tindak terorisme.
Undang-Undang itu diperlukan untuk memberikan arahan dan prosedural bagi aparat untuk berÂtindak di lapangan yang terpaksa harus melakukan tindakan memÂbalas tembakan pelaku terorisme. Ini demi memberikan perlinÂdungan hukum bagi aparat agar tiÂdak dituduh melanggar hak asasi manusia.
Petugas lapangan hanya sekaÂdar menjalankan tugas dan perinÂtah dari atasannya. Karena itulah, BNPT berharap, perlu ada UU yang mengatur prosedur pengguÂnaan senjata api untuk melawan terorisme atau pelaku tindak keÂjahatan lainnya.
Perlu diingat pada 19 April 2011 Presiden SBY telah mengÂinsÂtruksikan agar dilakukan koorÂdinasi dengan seluruh PemeÂrintah Daerah untuk bekerjasama dengan Polri (Densus 88), DenÂsus milik TNI, dan aparat lainnya dalam mencegah dan menangÂgulangi aksi terorisme di negeri ini.
Tindakan Tak Beradab
Aboebakar Alhabsy, Anggota Komisi III DPR
Polisi dinilai tidak profesioÂnal dan ceroboh karena semena-mena main tembak orang yang disangkakan teroris. Kasus penembakan itu tidak lebih dari tindakan tidak beradab, karena mengeksekusi tersangka tanpa proses persidangan.
Janganlah Indonesia ini diÂjadikan lahan latihan bermain perang perangan, sudah cukup puluhan orang mati ditembak tanpa proses persidangan. Ini sudah masuk dalam kategori pelanggaran HAM.
Kami khawatir Polri makin berani melanggar Peraturan KaÂpolÂri Nomor 8 Tahun 2009 tenÂtang Penerapan HAM di KeÂpolisian, dan seterusnya periÂlaku main tembak ini menjadi kebiaÂsaan. Bisa jadi nanti kalau ada poÂlisi salah tembak mereka langÂsung bilang korban adalah teroÂris, sebagai bentuk pemÂbeÂnaran.
Kapolri harus melakukan pemeriksaan internal. Perlu auÂdit investigatif atas tindakan apaÂrat yang tak prosedural ini. Jangan sampai isu terorisme diÂjadikan alasan pembenar untuk membunuh orang.
Membunuh Atau Dibunuh
Susaningtyas Kertopati, Anggota Komisi I DPR
Tindakan Densus 88 Anti Teror yang main tembak terÂsangka teroris sangat disayangÂkan. Sebab, teroris yang mati tiÂdak bisa digali informasi untuk mendapatkan embrio grupnya.
Namun, tidak bisa dipungkiri saat berhadap-hadapan dengan teroris, aparat keamanan dalam konÂdisi ‘berperang’ yang artiÂnya keputusan cepat harus diÂambil, yakni membunuh atau dibunuh.
Terpenting sebelum menyerÂgap teroris adalah informasi inÂtelijen. Densus 88 harus punya informasi yang akurat seputar siapa yang dihadapi, kadar baÂhaya dari si teroris dan persenÂjaÂtaan yang mereka miliki. DeÂngan begitu, polisi punya kepuÂtusan yang tepat ketika berÂhadap-hadapan dengan teroris.
Kewenangan Polri dalam menangani teroris tertuang daÂlam Undang-Undang TeroÂrisÂÂme Pasal 6 yang menyebutÂkan pelaku teror harus dipiÂdaÂna, artinya harus dihukum dan diÂtangkap.
Oleh karena itulah sebaiknya Densus 88 jangan terpancing untuk melakukan tindakan keÂras seperti penembakan di temÂpat yang mengakibatkan jatuh banyak korban. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: