DW Dicurigai Simpan Kekayaan Di Daerah

Harta Yang Disita Sementara Rp 18 Miliar

Jumat, 23 Maret 2012, 09:37 WIB
DW Dicurigai Simpan Kekayaan Di Daerah
Dhana Widyatmika

RMOL. Harta kekayaan tersangka kasus korupsi dan pencucian uang Dhana Widyatmika yang telah disita Kejaksaan Agung, telah dihitung nilainya, yakni sekitar Rp 18 miliar. Tapi, itu masih angka sementara lantaran masih ada aset Dhana yang belum disita. Apalagi, penyidik Kejagung masih menelusuri harta kekayaan PNS Ditjen Pajak itu di sejumlah daerah.

Hal itu disampaikan Jaksa Agung Basrief Arief seusai me­ngikuti pe­luncuran buku Kinerja Akhir Tahun Kejaksaan Agung, ke­marin, di Sa­sana Pradana, Ge­dung Utama, Ke­jaksaan Agung, Jakarta.

“Rekapitulasi itu masih di­lakukan. Angka itu belum ter­ma­suk tanah, karena tanah belum dihitung semua. Ini tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di luar Jakarta. Kami kirim penyidik ke daerah-daerah untuk pe­ne­lu­su­ran,” ujarnya.

Basrief menambahkan, jaja­ran­nya butuh waktu untuk mengusut kasus dengan tersangka berinisial DW ini. “Sebab, yang kami usut itu tindak pidana korupsi dan pen­cucian uangnya sekaligus,” ucap bekas Jaksa Agung Muda In­telijen ini.

Ketika ditanya, mengapa Ke­jag­ung belum menetapkan ter­sang­ka baru kasus ini, Basrief ber­alasan, anak buahnya masih mengumpulkan bukti-bukti. “Tak bisa buru-buru, karena kami ha­rus sesuaikan dengan alat buk­tinya. Percayalah, penyidik telah melakukan tugasnya secara keras,” ujar dia.

Kepala Pusat Penerangan Hu­kum Kejaksaan Agung Adi Toe­garisman menjelaskan, penyidik telah menghitung jumlah harta ke­kayaan DW yang sudah resmi di­sita. “Hasil rekap sementara ter­hadap harta dan barang bukti yang disita dari DW, jumlahnya 18 miliar, 448 ribu rupiah,” ujarnya.

Adi merinci, harta kekayaan DW yang disita itu antara lain, uang dalam penyedia jasa ke­uangan sebesar Rp 11 miliar, uang tunai dalam bentuk Dolar AS sebesar 270 juta, dalam ben­tuk Dinar Irak sekitar 7 juta, da­lam bentuk mata uang Riyad Saudi Arabia sebesar 1,3 juta. Ke­mudian, emas seberat 1,1 kilo­gram. “Kalau dinilai dengan uang, sekitar 465 juta rupiah,” ujar bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau ini.

Barang sitaan lainnya, berupa kendaraan bermotor, termasuk mobil sedan Daimler Chrysler dan truk yang hasil sementara per­hitungannya Rp 1,6 miliar. Se­lanjutnya, kata Adi, investasi be­rupa tanah yang belum semuanya dihitung. Taksiran sementara, ni­lainya sekitar Rp 4,5 miliar. “Te­rus, jam Rolex yang diper­kirakan harganya 103 juta rupiah,” ujarnya.

Adi menambahkan, angka itu masih bisa bertambah lantaran tim penyidik masih menelusuri harta kekayaan DW. “Misalnya, ada sembilan bidang tanah yang sertifikatnya sudah dilakukan pe­nyitaan, tapi secara fisik belum. Sembilan bidang tanah ini belum di­hitung dalam uang,” katanya. Lokasi tanah-tanah itu, menu­rutnya , berada di beberapa tem­pat di sekitar Jakarta. “Luasnya juga belum direkap,” lanjut dia.

Mengenai berapa uang yang diduga didapat Dhana dari wajib pajak, Adi juga mengatakan, angka tersebut sedang dalam penelusuran.

Dia menambahkan, masa pena­hanan terhadap tersangka DW berakhir pada 21 Maret. “Dengan pertimbangan tim penyidik, pe­me­riksaan terhadap tersangka be­lum selesai. Maka, penyidik me­lalui Direktur Penyidikan, me­minta perpanjangan penahanan kepada Direktur Penuntutan pada 16 Maret. Pada 21 Maret, Di­rek­tur Penuntutan menyetujui pena­hanan selama 40 hari,” kata Adi.

Masa penahanan 40 hari itu terhitung sejak 22 Maret hingga 30 April mendatang. “Pukul satu siang, tim penyidik telah me­nemui tersangka DW untuk me­nandatangani berita acara pe­lak­sanaannya,” ujar dia.

Pada bagian lain, Kapus­pen­kum belum dapat memastikan na­sib sejumlah perusahaan yang diduga mengalirkan dana kepada Dhana. “Semua fakta akan di­ru­muskan dan dianalisa penyidik. Kita tunggu saja hasil analisa­nya,” ucapnya.

Sebelumnya, Direktur Penyidi­kan Arnold Angkouw me­nye­but­kan sejumlah perusahaan yang diduga mengalirkan dana kepada Dhana, seperti PT CT, PT Riau Perta Utama, PT Trisula Ar­ta­me­ga dan kemudian diinvestasikan ke PT Bangun Persada Semesta, PT Mitra Modern Mobilindo serta investasi reksadana.

Tim penyidik juga menemukan sim­panan DW yang lain di lima bank, dua safe deposit box di Bank Mandiri dan sejumlah mata uang asing di rumah tersangka, Jalan Elang Indorama, Kecama­tan Makasar, Jakarta Timur.

REKA ULANG

Memancang Lahan Di Woodhill Residence

Penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ke­jaksaan Agung menemukan aset lain yang diduga milik Dhana Widyatmika (DW), pegawai Ditjen Pajak yang menjadi ter­sangka perkara korupsi dan pen­cucian uang.

Aset yang ditemukan penyidik itu berupa lahan di perumahan Woodhill Residence, milik PT Ba­ngun Persada Semesta (BPS), Jati Asih, Bekasi, Jawa Barat. Dhana diketahui turut mena­nam­kan modalnya di PT BPS.

Menurut Kepala Pusat Pene­rangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, DW memiliki aset tanah sebanyak 27 kavling dan tanah yang belum dikavling se­luas 1,2 hektar. “Langkah yang kami lakukan selanjutnya adalah penyitaan,” katanya pada Kamis (15/3).

Namun, proses penyitaan tidak rampung dalam satu hari. “Masih berlanjut, sebab banyak hal yang harus diurus. Ada tanah, serti­fi­kat, dokumen, proses izin ke Pe­ngadilan Negeri Bekasi, tinjau lo­kasi, izin pemerintah setempat. Butuh waktu,” ujar Adi.

Tim penyidik yang terdiri dari empat jaksa, memulai upaya pe­nyitaan aset itu pada Kamis pe­kan lalu. Tim melakukan pe­man­cangan terhadap lahan yang di­yakini milik Dhana. “Tapi, pe­nyi­taan rumah belum, karena harus dicocokkan dengan dokumen-do­ku­men, sebab Dhana bukan pe­milik tunggal perumahan ini. Ha­rus dipastikan yang mana saja bagian Dhana. Proses belum se­lesai, penelusuran masih ber­lanjut,” ujarnya.

Penelusuran itu antara lain de­ngan meminta keterangan rekan bisnis Dhana yang juga berlatar belakang pegawai Ditjen Pajak, Herly Isdiharsono. Penyidik juga memerika bekas atasan Dhana di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Setiabudi Satu, Jakarta Selatan, Firman sebagai saksi.

Herly adalah Komisaris di PT Mitra Modern Mobilindo (MMM). Perusahaan patungan DW dan Herly ini bergerak di bidang jual beli truk. Untuk menelusuri aliran dana DW, penyidik telah meme­rik­sa Direktur Utama PT MMM Ja­maluddin dan Direktur PT MMM Henry Avianto sebagai saksi. Nama terakhir adalah adik Herly.

Terkait transaksi Dhana, pe­nyidik telah mengorek kete­ra­ngan salah seorang bos PT BPS Agus Purwanto, dua Direktur PT Riau Perta Utama (RPU) Khairul Rizal dan Handayani, serta dua Direktur PT Trisula Artha Mega (TAR) Israwan Nugroho dan R Gerald Setiawan.

Terhadap pihak Bank Mandiri, Bank Mega, Bank Bukopin, Bank Mega dan BCA, dan Standard Char­tered Bank, penyidik me­lakukan pemeriksaan saksi untuk mengecek transaksi keuangan dalam rekening aktif Dhana.

Dhana diketahui menerima aliran dana dari PT BPS, PT RPU, PT MMM, PT TAR, Herly dan Firman.

Jangan Seperti Kasus Bahasyim

Yenti Garnasih, Pengamat Hukum

Pengamat hukum Yenti Gar­nasih mendorong Kejak­saan Agung agar transparan ke­pada masyarakat mengenai har­ta kekayaan tersangka Dhana Widyatmika. Tujuannya jelas, agar masyarakat bisa me­ngontrol pimpinan dan aparat Kejagung.

Jika tidak ada kontrol, Yenti khawatir terjadi kongkalikong untuk menghentikan penyitaan harta kekayaan atau membuka pemblokiran rekening ters­ang­ka secara diam-diam demi me­ngeruk keuntungan pribadi.

“Inilah pentingnya transpa­ransi,” tandas wanita yang ke­rap menjadi saksi ahli kasus pen­cucian uang ini, kemarin.

Lantaran itu, dia berpan­da­ngan, para pimpinan Kejaksaan Agung tidak bisa hanya mem­berikan penjelasan meng­gan­tung kepada masyarakat me­nge­nai kasus dengan tersangka pegawai Ditjen Pajak ini.

“Harus benar-benar trans­pa­ran tentang jumlah yang disita, baik itu yang ada di rekening maupun seluruh aset yang di­duga berasal dari kejahatan pa­jak,” tandasnya.

Yenti juga menilai, Kejak­sa­an Agung lamban, sebab sam­pai kemarin belum ada ter­sang­ka baru perkara ini. “Se­ha­­rus­nya jaksa sudah mengan­tongi nama tersangka baru yang ter­libat dugaan korupsi pa­jaknya dan penerima hasil tin­dak pi­da­na pencucian uang­nya,” tandas dia.

Aneh, lanjut Yenti, bila dalam perkara korupsi dan pencucian uang seperti ini, Kejagung ha­nya bisa menjaring satu ter­sang­ka. “Karena korupsi maupun tindak pidana pencucian uang ti­dak mungkin dilakukan sen­diri,” tegasnya.

Lantaran itu, Yenti mengi­ngat­kan kejaksaan agar tidak menangani kasus Dhana se­perti menangani kasus pegawai Dit­jen Pajak lainnya, yaitu Baha­syim Assifie dan Gayus Tam­bu­nan.

“Yang dakwaan korupsi dan pencucian uangnya hanya pada Gayus dan Bahasyim. Ja­ngan sampai kasus ini ter­dakwanya nanti hanya DW,” katanya.

Dia pun meminta kejaksaan bergerak cepat mengusut kasus ini, karena masa penahanan ada batasnya. “Pasti ada kesulitan yang dihadapi Kejagung, tapi kan sudah ada data dari PPATK,” katanya.

Yenti menambahkan, tidak ada alasan bagi pimpinan dan pe­nyidik Kejagung untuk me­ngeluh kesulitan. “Inilah tan­ta­ngannya, dan jangan main-main dengan kasus ini. Saya berha­rap kejaksaan bisa bekerja le­bih ce­pat karena berhadapan dengan kejahatan keuangan yang rentan godaan. Kalau terlambat, bisa hilang tuh hasil ke­jahatan. Uang hasil kejaha­tan harus dikem­balikan kepada ne­gara,” ucap­nya.

Kenapa Tersangkanya Bukan Pejabat

Nasir Jamil, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Nasir Jamil dapat memahami, Kejaksaan Agung tak bisa buru-buru mengusut kasus korupsi dan pencucian uang dengan ter­sangka pegawai Ditjen Pajak Dhana Widyatmika.

Soalnya, menurut Nasir, se­lain banyak aset yang harus di­te­lusuri, penyidik juga butuh kon­sentrasi lebih agar bisa men­jaring semua pihak yang ter­libat. “Sebagaimana disampai­kan Kejaksaan Agung, pada DW itu banyak barang titipan, baik berupa uang dan saham. Nah, menelusuri itu harus cermat dan hati-hati,” katanya, kemarin.

Dia menilai, sejauh ini, pe­ngu­sutan kasus DW masih da­lam batas wajar. “Jaksa mesti hati-hati, teliti. Dan lagi, saya dengar, Jaksa Agung m­e­nye­lek­si penyidik khusus untuk kasus ini. Sebab, kasus ini jadi prio­ritas kejaksaan,” ujar Nasir.

Selanjutnya, Nasir menya­ran­kan kejaksaan agar mem­perjelas mana bagian bisnis mur­ni milik DW, dan yang mana berupa hasil kejahatan. “Bisa jadi memang bisnis. Bisa jadi bisnisnya itu bagian dari pen­cucian uang. Nah, itu semua ha­rus dipastikan,” tandasnya.

Nasir setuju bahwa pengu­su­tan kasus ini mesti dilakukan hati-hati. “Apalagi, kejaksaan me­miliki beban psikologis me­ngusut kasus ini. Ada tanggung jawab yang harus dibuktikan, misalnya, kenapa DW yang jadi tersangka, mengapa bukan pe­jabat? Itu kan menjadi salah satu beban psikologis bagi Kejak­saan Agung,” ucapnya.

Meski begitu, Nasir juga men­dorong upaya pengawasan terhadap Kejaksaan Agung agar kasus ini dituntaskan secara utuh hingga ke pengadilan. “Ten­tu kita harus memonitor proses pe­ngusutannya,” ujar dia. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA