Hal itu disampaikan pakar kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA., sambil mempertanyakan investigasi yang dilakukan LSM asing yang bermarkas di Belanda itu.
Menurut Yanto, seharusnya Greenpeace masuk ke pabrik perusahaan yang dianggap bermasalah dan melihat langsung jenis mesin yang digunakan apakah bisa dipakai untuk kayu ramin yang biasa digunakan untuk pelapis perabotan.
"Setahu saya, mesin untuk pembuat bubur kertas itu mempunyai spesifikasi tertentu, artinya hanya bisa dipakai untuk jenis kayu-kayu yang sudah ditentukan," katanya seperti dikutip Antara.
"Kalau mesin itu untuk kayu meranti, maka tidak bisa dipakai untuk kayu yang lain," sambung Yanto sambil menambahkan semestinya Greenpeace tidak hanya mengamati tumpukan kayu hasil produksi.
Bisa saja ramin ada di tumpukan kayu. Tapi belum trntu bahan baku bubur kertas itu adalah ramin. Dia juga mengatakan, penggunaan kayu ramin itu sama sekali tidak ekonomis karena harganya terbilang mahal. Apalagi bila hanya dijadikan bubur kertas.
"Biasanya, untuk bahan baku bubur kertas kalau tidak mangium, sengon, atau jati putih. Itu lebih masuk akal dan lebih ekonomis, karena harganya jauh lebih murah," masih kata Yamto.
"Kalau sekedar investigasi, tapi tidak lengkap informasinya, ya gimana bisa dikatakan benar," demikian Yanto.
Greenpeace baru-baru ini menyerahkan bukti investigasi rahasia yang mereka lakukan satu tahun penuh kepada Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Dalam laporannya, LSM asing itu menguraikan hasil uji laboratorium kayu yang diidentifikasi sebagai ramin. Sebanyak 56 sample kayu dikirim ke laboratorium independen kertas di Jerman untuk diverifikasi. Seorang spesialis identifikasi kayu yang dilindungi secara internasional mengkonfirmasi bahwa ke-46 sampel adalah ramin. [dem]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: