Tersangka Kasus Alkes Tidak Kunjung Diadili

Bekas Sesditjen Bina Pelayanan Medik Belum Ditahan

Rabu, 07 Maret 2012, 09:17 WIB
Tersangka Kasus Alkes Tidak Kunjung Diadili
Ratna Dewi Umar

RMOL. KPK tak kunjung menyeret para tersangka kasus korupsi pengadaan alat kesehatan untuk penanggulangan flu burung tahun anggaran 2007 di Departemen Kesehatan ke Pengadilan Tipikor. Para tersangka itu juga tidak ditahan.

Tersangka yang tidak dita­han KPK itu, pertama, bekas Sek­retaris Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Ke­sehatan Ratna Dewi Umar. Bah­kan, Ratna yang ditetapkan se­bagai tersangka pada perte­nga­han Mei 2010, berkas perkaranya sama sekali belum dilimpahkan KPK ke Pengadilan Tipikor.

Tersangka kedua yang belum ditahan, yakni bekas Kepala Pu­sat Penanggulangan Krisis De­partemen Kesehatan Rustam Sya­rifuddin Pakaya. Rustam yang kini menjabat Direktur Sum­ber Daya Manusia Rumah Sakit Dharmais, ditetapkan KPK sebagai tersangka pada 29 September 2011.

“Yang bisa saya sampaikan, belum ada informasi mengenai apa­kah berkas mereka sudah leng­kap, dan sampai sekarang be­lum ada penahanan,” ujar Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo, Senin (5/3).

Johan pun beralasan, penaha­nan tergantung kepentingan pe­nyidik. “Sampai sekarang belum ada permintaan dari penyidik un­tuk melakukan penahanan para ter­sangka kasus ini. Kalau pe­nyi­dik minta mereka ditahan, tentu saja kami tahan,” ujarnya.

Pada Senin lalu, penyidik KPK kembali memanggil dan meme­rik­sa saksi kasus pengadaan alat kesehatan ini. Kali ini, penyidik memeriksa karyawan PT PP IGN Artika sebagai saksi untuk ter­sang­ka Rustam Syarifuddin Pa­ka­ya. “Yang bersangkutan dipe­rik­sa sebagai saksi untuk pe­ngem­bangan penyidikan,” ujar Johan.

Rustam yang merupakan bekas Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan, di­tetapkan sebagai tersangka se­telah KPK mengembangkan ka­sus korupsi alkes untuk penang­gu­langan flu burung tahun 2006 de­ngan tersangka Ratna Dewi Umar.

Rustam ditetapkan sebagai tersangka pasca Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta men­ja­tuhkan hukuman tiga tahun pen­jara kepada bekas Sekretaris Menteri Koordinator Kese­jah­te­raan Rakyat Sutedjo Juwono da­lam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan senilai Rp 40 miliar ini. “Penetapan tersangka itu me­ru­pa­kan pengembangan penyidikan dari kasus yang lalu,” kata Johan.

Pada proyek pengadaan alkes flu burung itu, Rustam berperan se­bagai Kuasa Pengguna Angga­ran dan Pejabat Pembuat Komi­t­men. Rustam disangka telah mem­perkaya diri sendiri.

Menurut Johan, Rustam di­sang­ka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang Undang Pemberantasan Korupsi. Dari Rp 40 miliar total kerugian negara, lanjutnya, Rustam disangka mem­perkaya diri sendiri sebesar Rp 6,8 miliar. “Saat itu, dia berpe­ran sebagai Kuasa Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen,” katanya.

Johan menambahkan, peneta­pan tersangka terhadap Rustam bukan hasil final pengembangan penyidikan kasus tersebut. Me­nu­rut­nya, tidak tertutup kemung­ki­nan KPK akan menetapkan ter­sangka lain kasus yang telah me­n­yeret anak buah Menko Kesra Aburizal Bakrie, Sesmenkokesra Sutedjo Juwono sebagai terpid­a­na ini. “Kemungkinan itu ada, tergan­tung pihak penyidik,” ujarnya.

KPK juga memeriksa bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Su­pari. Anggota Dewan Pertim­ba­ngan Presiden (Wantimpres) ini, diperiksa sebagai saksi bagi para tersangka. Siti mengaku sudah tujuh kali dipanggil dan diperiksa KPK terkait kasus ini.

Sedangkan Sri Wahyuningsih atau lebih dikenal sebagai artis bernama Cici Tegal juga turut di­periksa. Soalnya, Cici diduga me­ngetahui keberadaan uang Rp 500 juta yang diduga hasil korupsi proyek di Kementerian Kese­hatan dan dipakai untuk konser musik religi pada 10 Februari 2008 lalu. Uang itu disebutnya sebagai sumbangan.

Cici dikorek keterangannya se­laku ketua panitia konser yang di­selenggarakan pengajian Orbit. Pe­ngajian tersebut diikuti se­jum­lah pejabat, termasuk Menteri Ke­sehatan saat itu, Siti Fadillah Supari.

Cici mengaku tidak kenal de­ngan Rustam. Namun, ia me­nga­kui menerima cek pelawat Bank Mandiri senilai Rp 500 juta dari Sekjen Kemenkes saat itu, Sjafii Achmad. Namun, uang yang di­terima Cici itu diduga merupakan bagian dari uang korupsi Rp 9,4 miliar proyek pengadaan rontgen portable di Kemenkes pada 2007.

Kasus tersebut ditaksir merugi­kan negara senilai Rp 6,8 miliar. “Jelas kok duitnya ke mana, buat kon­ser. Ada tanda terimanya. Po­kok­nya semua lengkap,” kata Cici seusai menjalani pe­me­rik­sa­an di Gedung KPK, Jakarta.

REKA ULANG

Bekas Sekretaris Menko Kesra Terbukti Bersalah

Pada Selasa, 23 Agustus 2011, Ma­jelis Hakim Pen­ga­dilan Tin­dak Pidana Korupsi Jakarta men­jatuhkan vonis 3 tahun penjara kepada bekas Sek­retaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rak­yat Sutedjo Yuwono.

Majelis Hakim memutuskan, Sutedjo terbukti bersalah mela­ku­kan korupsi pengadaan alat ke­sehatan (alkes) pe­nanggulangan flu burung di Kementerian Koor­dinator Kesejahteraan Rakyat pada 2006.

Komisi Pemberantasan Korup­si juga mengembangkan kasus lain yang berkenaan dengan pe­ngadaan alat kesehatan, bukan ha­nya perkara pengadaan alkes flu burung.

“Kasus alkes itu lebih dari satu. Kalau tidak salah, ada empat ka­sus. Itu berbeda-beda,” ujar Ke­pala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo.

Johan tidak merinci kasus-kasus apa saja yang terkait pe­nga­daan alat kesehatan itu. Namun, lanjut dia, Komisi Pemberantasan Ko­rupsi terus mengembangkan perkara-perkara tersebut. “Pihak-pihak yang disidik juga berbeda kok,” ucapnya.

Selain KPK, Ma­bes Polri juga menangani perkara korupsi pe­ngadaan alat kesehatan ini. Na­mun, yang Mabes Polri ta­ngani merupakan dugaan korupsi pe­ngadaan alat kesehatan rumah sakit di 30 provinsi tahun ang­garan 2009.

Hingga kini, Mabes Polri baru se­batas memeriksa para saksi, ya­itu direktur rumah sakit di be­be­rapa daerah. Polisi be­lum me­ne­tapkan siapa saja ter­sangka kasus ini. Total nilai proyek tersebut se­kitar Rp 492 miliar.

Kasus Alkes Sangat Lamban

Dasrul Jabar, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Dasrul Jabar menilai, kinerja KPK mengusut kasus korupsi pe­ngadaan alat kesehatan sa­ngat lamban. “KPK tampaknya lebih syur menangani kasus-ka­sus yang menjadi sorotan pub­lik saat ini, namun itu pun tidak maksimal, alhasil kasus alkes tertinggal,” ujarnya, kemarin.

Menurut dia, kasus alkes yang sedang ditangani KPK itu menimbulkan kerugian negara dan masyarakat. Soalnya, ba­nyak alat kesehatan yang tidak memenuhi standar, sehingga tak bisa digunakan. “Itu kan uang rakyat, uang negara. Sia-sia karena tak bisa dipakai. Itu besar nilai kerugiannya.”

Bagi Dasrul, kasus alkes ini sudah menjadi sorotan publik, karena itu KPK tidak boleh ber­lama-lama menuntas­kan­nya. “Seharusnya KPK bergerak lebih cepat, karena kasus ini terang benderang dan menjadi perhatian masyarakat,” ujarnya.

Menurutnya, membongkar ka­sus alkes tidaklah sulit. Se­bab, penelusurannya bisa di­mu­lai dari awal pengadaan tender. “Gampang dibuktikan, berd­a­sar­kan tender gampang disusut kerugian negaranya,” kata Dasrul.

Dia pun mengimbau KPK membuktikan kinerja yang ba­gus kepada masyarakat. “Ja­ngan hanya mengumbar janji dan cenderung menjual mimpi kepada masyarakat. KPK ha­rus ce­pat dan tanggap,” sa­rannya.

Tidak Boleh Berleha-leha

Erna Ratnaningsih, Peneliti KRHN

Peneliti senior LSM Kon­sor­sium Reformasi Hukum Na­sional (KRHN) Erna Rat­na­ning­­sih menyampaikan, kendati kewenangan penahanan ter­sang­ka ada di tangan penyidik, bukan berarti KPK bisa berle­ha-leha menangani sebuah perkara.

Jika seseorang sudah dijadi­kan tersangka, Erna mengi­ngat­kan, artinya pihak penyidik su­dah memiliki minimal dua alat bukti. “Kalau kita lihat jawaban dari KPK, untuk kasus-kasus yang lambat prosesnya seperti kasus Miranda Goeltom, atau Angie yang tidak ditahan, selalu jawabannya menunggu ke­leng­ka­pan berkas,” ujarnya.

Alasan seperti itu, lanjutnya, jus­­tru menunjukkan kinerja yang lamban. “Artinya kerja pe­n­e­gak hukum yang seperti itu tidak profesional,” tandas bekas Ketua Yayasan Lembaga Ban­tuan Hu­kum Indonesia (YLBHI) ini.

Dalam hal tidak melakukan pe­­nahanan, lanjut Erna, penyi­dik beranggapan tersangka atau ter­dakwa tidak melarikan diri, meng­hilangkan barang bukti atau me­lakukan tindak pidana lagi. Na­mun, hal itu tidak bisa dija­di­kan sebagai pembenaran, terutama da­lam mengusut kasus korupsi.

“Dalam kerangka pembe­ran­ta­san korupsi, seharusnya pe­nyidik memberikan efek jera ke­pada pelaku dan menduga bah­wa mereka akan menghi­lang­kan barang bukti, yaitu uang yang sudah dikorupsi mung­kin akan dialihkan kepada pihak lain,” ujar Erna.

Apalagi, lanjut dia, kasus yang penyidikannya memakan waktu lama, bisa menjadi bias. “Sema­kin lama diproses, maka sema­kin banyak bukti yang sulit di­per­oleh, bahkan saksi juga bisa lupa kare­na kejadian tindak pi­da­nanya su­dah terlalu lama.”

Roberto Divonis 2 Tahun Penjara

Roberto Santonius disidik Bareskrim Polri berdasarkan LP/119/II/2011 tanggal 25 Feb­ruari 2011 atas dugaan tindak pidana pencucian uang, dengan pi­dana pokok suap kepada Ga­yus Tambunan sebesar Rp 925 juta. Berkas perkara telah di­nyatakan lengkap oleh jaksa (P21) tanggal 5 Mei 2011.

Ro­berto divonis dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Ti­pikor Jakarta pada 23 Agus­tus 2011.

Demikian tanggapan Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Boy Rafli Amar terha­dap berita halaman 4 edisi Senin, 5 Maret, mengenai Ro­berto Santonius yang tidak jelas ke­beradaannya, sehingga alur ka­sus mafia pajak seperti terputus.

Berdasarkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pi­dana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Gayus terbukti disuap konsultan pajak Roberto Santonius se­be­sar Rp 925 juta. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA