RMOL. KPK tak kunjung menyeret para tersangka kasus korupsi pengadaan alat kesehatan untuk penanggulangan flu burung tahun anggaran 2007 di Departemen Kesehatan ke Pengadilan Tipikor. Para tersangka itu juga tidak ditahan.
Tersangka yang tidak ditaÂhan KPK itu, pertama, bekas SekÂretaris Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen KeÂsehatan Ratna Dewi Umar. BahÂkan, Ratna yang ditetapkan seÂbagai tersangka pada perteÂngaÂhan Mei 2010, berkas perkaranya sama sekali belum dilimpahkan KPK ke Pengadilan Tipikor.
Tersangka kedua yang belum ditahan, yakni bekas Kepala PuÂsat Penanggulangan Krisis DeÂpartemen Kesehatan Rustam SyaÂrifuddin Pakaya. Rustam yang kini menjabat Direktur SumÂber Daya Manusia Rumah Sakit Dharmais, ditetapkan KPK sebagai tersangka pada 29 September 2011.
“Yang bisa saya sampaikan, belum ada informasi mengenai apaÂkah berkas mereka sudah lengÂkap, dan sampai sekarang beÂlum ada penahanan,†ujar Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo, Senin (5/3).
Johan pun beralasan, penahaÂnan tergantung kepentingan peÂnyidik. “Sampai sekarang belum ada permintaan dari penyidik unÂtuk melakukan penahanan para terÂsangka kasus ini. Kalau peÂnyiÂdik minta mereka ditahan, tentu saja kami tahan,†ujarnya.
Pada Senin lalu, penyidik KPK kembali memanggil dan memeÂrikÂsa saksi kasus pengadaan alat kesehatan ini. Kali ini, penyidik memeriksa karyawan PT PP IGN Artika sebagai saksi untuk terÂsangÂka Rustam Syarifuddin PaÂkaÂya. “Yang bersangkutan dipeÂrikÂsa sebagai saksi untuk peÂngemÂbangan penyidikan,†ujar Johan.
Rustam yang merupakan bekas Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan, diÂtetapkan sebagai tersangka seÂtelah KPK mengembangkan kaÂsus korupsi alkes untuk penangÂguÂlangan flu burung tahun 2006 deÂngan tersangka Ratna Dewi Umar.
Rustam ditetapkan sebagai tersangka pasca Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menÂjaÂtuhkan hukuman tiga tahun penÂjara kepada bekas Sekretaris Menteri Koordinator KeseÂjahÂteÂraan Rakyat Sutedjo Juwono daÂlam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan senilai Rp 40 miliar ini. “Penetapan tersangka itu meÂruÂpaÂkan pengembangan penyidikan dari kasus yang lalu,†kata Johan.
Pada proyek pengadaan alkes flu burung itu, Rustam berperan seÂbagai Kuasa Pengguna AnggaÂran dan Pejabat Pembuat KomiÂtÂmen. Rustam disangka telah memÂperkaya diri sendiri.
Menurut Johan, Rustam diÂsangÂka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang Undang Pemberantasan Korupsi. Dari Rp 40 miliar total kerugian negara, lanjutnya, Rustam disangka memÂperkaya diri sendiri sebesar Rp 6,8 miliar. “Saat itu, dia berpeÂran sebagai Kuasa Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen,†katanya.
Johan menambahkan, penetaÂpan tersangka terhadap Rustam bukan hasil final pengembangan penyidikan kasus tersebut. MeÂnuÂrutÂnya, tidak tertutup kemungÂkiÂnan KPK akan menetapkan terÂsangka lain kasus yang telah meÂnÂyeret anak buah Menko Kesra Aburizal Bakrie, Sesmenkokesra Sutedjo Juwono sebagai terpidÂaÂna ini. “Kemungkinan itu ada, terganÂtung pihak penyidik,†ujarnya.
KPK juga memeriksa bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah SuÂpari. Anggota Dewan PertimÂbaÂngan Presiden (Wantimpres) ini, diperiksa sebagai saksi bagi para tersangka. Siti mengaku sudah tujuh kali dipanggil dan diperiksa KPK terkait kasus ini.
Sedangkan Sri Wahyuningsih atau lebih dikenal sebagai artis bernama Cici Tegal juga turut diÂperiksa. Soalnya, Cici diduga meÂngetahui keberadaan uang Rp 500 juta yang diduga hasil korupsi proyek di Kementerian KeseÂhatan dan dipakai untuk konser musik religi pada 10 Februari 2008 lalu. Uang itu disebutnya sebagai sumbangan.
Cici dikorek keterangannya seÂlaku ketua panitia konser yang diÂselenggarakan pengajian Orbit. PeÂngajian tersebut diikuti seÂjumÂlah pejabat, termasuk Menteri KeÂsehatan saat itu, Siti Fadillah Supari.
Cici mengaku tidak kenal deÂngan Rustam. Namun, ia meÂngaÂkui menerima cek pelawat Bank Mandiri senilai Rp 500 juta dari Sekjen Kemenkes saat itu, Sjafii Achmad. Namun, uang yang diÂterima Cici itu diduga merupakan bagian dari uang korupsi Rp 9,4 miliar proyek pengadaan rontgen portable di Kemenkes pada 2007.
Kasus tersebut ditaksir merugiÂkan negara senilai Rp 6,8 miliar. “Jelas kok duitnya ke mana, buat konÂser. Ada tanda terimanya. PoÂkokÂnya semua lengkap,†kata Cici seusai menjalani peÂmeÂrikÂsaÂan di Gedung KPK, Jakarta.
REKA ULANG
Bekas Sekretaris Menko Kesra Terbukti Bersalah
Pada Selasa, 23 Agustus 2011, MaÂjelis Hakim PenÂgaÂdilan TinÂdak Pidana Korupsi Jakarta menÂjatuhkan vonis 3 tahun penjara kepada bekas SekÂretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan RakÂyat Sutedjo Yuwono.
Majelis Hakim memutuskan, Sutedjo terbukti bersalah melaÂkuÂkan korupsi pengadaan alat keÂsehatan (alkes) peÂnanggulangan flu burung di Kementerian KoorÂdinator Kesejahteraan Rakyat pada 2006.
Komisi Pemberantasan KorupÂsi juga mengembangkan kasus lain yang berkenaan dengan peÂngadaan alat kesehatan, bukan haÂnya perkara pengadaan alkes flu burung.
“Kasus alkes itu lebih dari satu. Kalau tidak salah, ada empat kaÂsus. Itu berbeda-beda,†ujar KeÂpala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo.
Johan tidak merinci kasus-kasus apa saja yang terkait peÂngaÂdaan alat kesehatan itu. Namun, lanjut dia, Komisi Pemberantasan KoÂrupsi terus mengembangkan perkara-perkara tersebut. “Pihak-pihak yang disidik juga berbeda kok,†ucapnya.
Selain KPK, MaÂbes Polri juga menangani perkara korupsi peÂngadaan alat kesehatan ini. NaÂmun, yang Mabes Polri taÂngani merupakan dugaan korupsi peÂngadaan alat kesehatan rumah sakit di 30 provinsi tahun angÂgaran 2009.
Hingga kini, Mabes Polri baru seÂbatas memeriksa para saksi, yaÂitu direktur rumah sakit di beÂbeÂrapa daerah. Polisi beÂlum meÂneÂtapkan siapa saja terÂsangka kasus ini. Total nilai proyek tersebut seÂkitar Rp 492 miliar.
Kasus Alkes Sangat Lamban
Dasrul Jabar, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Dasrul Jabar menilai, kinerja KPK mengusut kasus korupsi peÂngadaan alat kesehatan saÂngat lamban. “KPK tampaknya lebih syur menangani kasus-kaÂsus yang menjadi sorotan pubÂlik saat ini, namun itu pun tidak maksimal, alhasil kasus alkes tertinggal,†ujarnya, kemarin.
Menurut dia, kasus alkes yang sedang ditangani KPK itu menimbulkan kerugian negara dan masyarakat. Soalnya, baÂnyak alat kesehatan yang tidak memenuhi standar, sehingga tak bisa digunakan. “Itu kan uang rakyat, uang negara. Sia-sia karena tak bisa dipakai. Itu besar nilai kerugiannya.â€
Bagi Dasrul, kasus alkes ini sudah menjadi sorotan publik, karena itu KPK tidak boleh berÂlama-lama menuntasÂkanÂnya. “Seharusnya KPK bergerak lebih cepat, karena kasus ini terang benderang dan menjadi perhatian masyarakat,†ujarnya.
Menurutnya, membongkar kaÂsus alkes tidaklah sulit. SeÂbab, penelusurannya bisa diÂmuÂlai dari awal pengadaan tender. “Gampang dibuktikan, berdÂaÂsarÂkan tender gampang disusut kerugian negaranya,†kata Dasrul.
Dia pun mengimbau KPK membuktikan kinerja yang baÂgus kepada masyarakat. “JaÂngan hanya mengumbar janji dan cenderung menjual mimpi kepada masyarakat. KPK haÂrus ceÂpat dan tanggap,†saÂrannya.
Tidak Boleh Berleha-leha
Erna Ratnaningsih, Peneliti KRHN
Peneliti senior LSM KonÂsorÂsium Reformasi Hukum NaÂsional (KRHN) Erna RatÂnaÂningÂÂsih menyampaikan, kendati kewenangan penahanan terÂsangÂka ada di tangan penyidik, bukan berarti KPK bisa berleÂha-leha menangani sebuah perkara.
Jika seseorang sudah dijadiÂkan tersangka, Erna mengiÂngatÂkan, artinya pihak penyidik suÂdah memiliki minimal dua alat bukti. “Kalau kita lihat jawaban dari KPK, untuk kasus-kasus yang lambat prosesnya seperti kasus Miranda Goeltom, atau Angie yang tidak ditahan, selalu jawabannya menunggu keÂlengÂkaÂpan berkas,†ujarnya.
Alasan seperti itu, lanjutnya, jusÂÂtru menunjukkan kinerja yang lamban. “Artinya kerja peÂnÂeÂgak hukum yang seperti itu tidak profesional,†tandas bekas Ketua Yayasan Lembaga BanÂtuan HuÂkum Indonesia (YLBHI) ini.
Dalam hal tidak melakukan peÂÂnahanan, lanjut Erna, penyiÂdik beranggapan tersangka atau terÂdakwa tidak melarikan diri, mengÂhilangkan barang bukti atau meÂlakukan tindak pidana lagi. NaÂmun, hal itu tidak bisa dijaÂdiÂkan sebagai pembenaran, terutama daÂlam mengusut kasus korupsi.
“Dalam kerangka pembeÂranÂtaÂsan korupsi, seharusnya peÂnyidik memberikan efek jera keÂpada pelaku dan menduga bahÂwa mereka akan menghiÂlangÂkan barang bukti, yaitu uang yang sudah dikorupsi mungÂkin akan dialihkan kepada pihak lain,†ujar Erna.
Apalagi, lanjut dia, kasus yang penyidikannya memakan waktu lama, bisa menjadi bias. “SemaÂkin lama diproses, maka semaÂkin banyak bukti yang sulit diÂperÂoleh, bahkan saksi juga bisa lupa kareÂna kejadian tindak piÂdaÂnanya suÂdah terlalu lama.â€
Roberto Divonis 2 Tahun Penjara
Roberto Santonius disidik Bareskrim Polri berdasarkan LP/119/II/2011 tanggal 25 FebÂruari 2011 atas dugaan tindak pidana pencucian uang, dengan piÂdana pokok suap kepada GaÂyus Tambunan sebesar Rp 925 juta. Berkas perkara telah diÂnyatakan lengkap oleh jaksa (P21) tanggal 5 Mei 2011.
RoÂberto divonis dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan TiÂpikor Jakarta pada 23 AgusÂtus 2011.
Demikian tanggapan Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Boy Rafli Amar terhaÂdap berita halaman 4 edisi Senin, 5 Maret, mengenai RoÂberto Santonius yang tidak jelas keÂberadaannya, sehingga alur kaÂsus mafia pajak seperti terputus.
Berdasarkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak PiÂdana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Gayus terbukti disuap konsultan pajak Roberto Santonius seÂbeÂsar Rp 925 juta. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: