Pertolongan pertama yang diberikan oleh rekan-rekannya di Belanda tak mendapat hasil. Kabar yang kami terima dari pihak keluarga di Belanda, duka berawal di hari Minggu (5/2). Pak Pardi, demikian Beliau selalu kami sapa, yang selalu enerjik meski usianya sudah kepala tujuh, sedang memacu staminanya di lapangan badminton.
"Tiba-tiba jantung bapak berhenti berdenyut. Pertolongan pertama yang diberikan oleh rekan-rekan sesama pemain badminton tidak berhasil," ujar putrinya, Agustina Supardi, mengabarkan dari Belanda, beberapa saat lalu. Kata teman-temannya yang jadi lawan main, jantung Pak Pardi sempat berhenti beberapa menit.
Pada Selasa (7/2), redaksi mendapat kabar dari rekan Beliau sesama jurnalis dari Radio Nederland, Bari Muchtar, yang menyatakan, kondisi Pak Pardi tidak mengalami perkembangan berarti.
"Dia masih koma. Mari doakan yang terbaik untuk Beliau," demikian Bari.
Agustina menceritakan, sepuluh menit setelah serangan jantung di lapangan badminton, ambulan tiba. Pak Pardi segera diberikan pertolongan dengan Cardioversi (shock listrik) hingga 9 kali, barulah jantung Bapak Supardi mulai berdenyut kembali. Dalam keadaan koma, segera dilarikan ke UGD Rumah Sakit VU Amsterdam.
Pertolongan yang cepat dari tim medis menganalisa bahwa telah terjadi penyumbatan pembuluh darah di jantung Pak Pardi. Segera dilakukan dotter dan pemasangan stent pada dua tempat di pembuluh darah jantung yang tersumbat tersebut. Badan pria kelahiran Jakarta tahun 1941 itu didinginkan selama 24 jam untuk mengurangi kerusakan pada organ tubuh. Setelah itu segera dipindahkan ke Unit Intensive Care di Zaans Medical Center, Zaandam, dimana pria necis yang sejak 1962 meninggalkan Indonesia itu berdomisili.
Tiga hari dalam perawatan intensif, Pak Pardi masih tetap dalam keadaan koma. Rabu pagi tanggal 8 Februari (waktu setempat) dilakukan dua kali pemeriksaan reflex system urat syaraf, ternyata tetap tidak ada reaksi apa-apa. Para dokter di Zaans Medical Centrum berpendapat telah terjadi apa yang dinamakan “hersen dood†(kematian otak). Dengan demikian tidak ada kemungkinan pemulihan fungsi sistem urat syaraf kembali, meskipun perawatan dilanjutkan. Maka perawatan akan dihentikan setelah tanggal 9 Februari setelah Hani, anak bungsu dari "orang tua kami" itu tiba dari Indonesia.
Kabar terakhir, Kamis siang (9/2) pukul 14.00, semua perawatan terhadap Supardi Adiwijaya dihentikan. Meskipun demikian, hingga pukul 17.00 sore waktu Belanda, Beliau masih bernafas.
Aliran doa dari seluruh awak Rakyat Merdeka terus menerus menghampiri Pak Pardi dan keluarga di Belanda. Kami memang merindukan koreksi-koreksi tajam yang hampir setiap hari diutarakannya via telepon. Dalam tiap kesempatan itu, tidak pernah tidak, Pak Pardi menegaskan, "Saya terus pantau dari sini, tetap semangat ya!"
Pengawasan Pak Pardi yang terus menerus dari jarak ribuan kilometer, membuat kami para juniornya senantiasa terjaga. Di belahan bumi sana, ada pria tua necis yang tidak pernah putus memberikan inspirasi dan teladan.
Keteguhan sikap yang pasti tertangkap dengan mudah oleh siapapun yang pernah bertemu dengannya, membuat kami di sini percaya, Pak Pardi akan bangkit dari sakitnya. Setidaknya hingga hari ini, harapan itu masih ada. Amin.
[***]