"Indonesia Maritime Institute siap membantu pemerintah untuk mendata dan penamaan pulau yang ada di Indonesia," tegas Direktur Eksekutif IMI, Y Paonganan kepada wartawan di Jakarta, Kamis (2/2).
Doktor Kelautan IPB ini, meyayangkan masih ada pulau yang belum bernama di sebuah negeri yang 70 persennya diisi lautan.
"Jangan sampai kasus Sipadan dan Ligitan terulang kembali," ujarnya.
Wakil Direktur IMI, Zulficar Mochtar, menambahkan, sekitar tahun 2006-2007 mulai dibentuk tim Toponimi lintas institusi yang tugasnya mengidentifikasi pulau-pulau RI sesuai dengan kaidah penamaan dan identifikasi pulau yang diakui oleh PBB.
"Akhir tahun 2010, jumlah yang diverifikasi oleh tim Toponimi tersebut adalah 13.487 buah pulau. Ternyata banyak pulau yang selama ini ada salah identifikasi, nama ganda, termasuk gunakan bahasa daerah. Jumlah inilah yang kemudian dikirimkan ke PBB untuk mendapatkan pengakuan formal," kata Zulficar.
Zulficar mengatakan pendataan pulau masih sangat simpang siur. Interpretasi citra satelit juga punya bias, khususnya ketika awan atau karang yang ada di permukaan laut, kadang diinterpretasikan sebagai pulau juga. Semenjak hilangnya Sipadan Ligitan dan beberapa pulau yang tenggelam, data jumlah pulau sekitar 17.504, dengan menggunakan argumen data dari Kementerian Dalam Negeri.
"Bakosurtanal dan Lapan juga mulai aktif melakukan pemetaan, khususnya menggunakan teknologi interpretasi citra satelit. Mereka mengklaim ada 18.200 buah pulau. Namun diralat dan akhirnya diserahkan ke Bu Megawati (presiden saat itu) jumlah 18.100 buah pulau. Lapan sangat pede, tapi Bu Mega tidak jadi umumkan secara resmi," sambungnya.
Menurutnya PBB tidak begitu saja mengakui klaim sebuah negara. Ada kaidah mengidentifikasi sebuah pulau, misalnya nama, koordinat, dan berbagai aturan lainnya.
"Jadi pulau-pulau RI belum diakui statusnya," katanya.
Ia menjelaskan, penamaan pulau harus ikuti Resolusi PBB yang jadi prosedur tetap, baik proses, pengumpulan info, dan strategi verifikasinya.
"Misalnya pulau harus dikunjungi dan dianggap sah kalau diucapkan oleh minimal dua orang lokal dengan penggunaan dialek yang persis sama. Sedangkan kalau defenisi tentang pulau yang dimaksud mengacu ke UNCLOS yaitu dikelilingi oleh air laut, alamiah, dan tetap muncul di atas pasang surut tertinggi," imbuhnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: