Menjelang pemilihan umum 2014, kalangan jurnalis diingatkan untuk berhati-hati menghadapi peningkatan ancaman kekerasan. Potensi kekerasan ini berkaitan dengan kepemilikan media oleh pimpinan partai politik atau calon presiden. Selain bisa juga dipicu oleh pemberitaan yang tidak profesional, serta respon aparat keamanan dalam menangani kasus kekerasan pers yang lambat.
Demikian disampaikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam pernyataan akhir tahun yang ditandatangani Ketua Umum Eko Maryadi dan Sekretaris Jenderal Suwarjono. Pernyataan itu diterima redaksi beberapa waktu lalu (Rabu, 28/12).
"AJI menyatakan keprihatinan mendalam atas meningkatnya ancaman fisik terhadap jurnalis, meminta masyarakat agar menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap jurnalis dan pers, dan minta ketegasan aparat hukum mengusut kasus-kasus kekerasan tersebut," tulis mereka.
Di sisi lain, AJI juga mengajak komunitas pers untuk terus meningkatkan profesionalisme dan ketaatan terhadap kode etik jurnalistik, agar pers Indonesia semakin berkualitas dan bermanfaat untuk masyarakat.
Divisi Advokasi AJI Indonesia mencatat 49 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi antara Desember 2010 hingga Desember 2011. Kekerasan ini meliputi kekerasan fisik dan non-fisik.
"Jumlah kekerasan 2011 menurun dibandingkan tahun lalu (2010 tercatat 51 kekerasan), namun jumlah kekerasan fisik 2011 meningkat dari 16 menjadi 19 kasus yang didominasi oleh aparat pemerintah dan kelompok massa," tulis AJI Indonesia lagi.
Kekerasan fisik yang dimaksud meliputi intimidasi, teror, pemukulan, penyerangan, pengeroyokan, pembakaran, sampai pembunuhan. [guh]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: