Delegasi pimpinan Gereja Papua yang menghadiri pertemuan adalah Ketua Sinode GKI di Tanah Papua Pdt. Jemima M. Krey, S.Th; Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua Pdt. Dr. Benny Giay; Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua Pdt. Socratez Sofyan Yoman, MA; dan Majelis Umum (Sinode Nasional) Gereja Kristen Alkitab Indonesia Pdt. Dr. Martin Luther Wanma.
Sementara Pihak PGI yang hadir sebagai fasilitator adalah Ketua Umum PGI Pdt. Andreas Yewangoe dan Sekretaris Umum PGI Pdt. Gomar Gultom.
"Pertemuan itu ada, berlangsung sejak Jumat malam jam 8 sampai 11 malam. Difasilitasi oleh PGI karena permintaan para pimpinan Gereja Papua untuk bertemu SBY. Presiden menerima di Cikeas dan memang tadinya pertemuan itu dibuat terbuka, tapi tertutup lagi sampai jelang tengah malam," terang Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Jeirry Sumampow kepada
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Rabu, 21/12)
PGI memang aktif dalam advokasi konflik di Papua dan salah satu bentuk advokasi yang dilakukan adalah memediasi elemen di Papua khususnya Gereja-Gereja dengan pihak yang punya kewenangan di tingkat pusat seperti terjadi dalam pertemuan di Cikeas pekan lalu.
"Selain itu, saya kira satu dua bulan terakhir sejak November eskalasi kekerasan semakin tinggi dan itu ritual tahunan jelang ultah OPM 1 Desember. Tetapi memanasnya ini selalu berimplikasi kepada jatuhnya korban karena penanganan kekerasan yang terus terjadi berulang oleh aparat yang betugas disana baik tentara maupun polisi," ujarnya.
Mengenai penegasan untuk penentuan nasib sendiri atau merdeka, seperti tercantum dalam surat yang disampaikan para pimpinan Gereja Papua kepada SBY, menurut Jeirry tidak harus dibesar-besarkan karena bahasa "merdeka" sudah jadi hal yang lumrah bagi masyarakat luas di Papua.
"Kalau soal tuntutan merdeka itu sudah umum di Papua, jadi disuarakan oleh hampir semua kalangan di Papua dan ada juga yang menolak. Itu bahasa umum masyarakat Papua, dalam perspektif kami ini tak perlu dikhawatirkan karena ada substansi lain dalam ungkapan merdeka itu," katanya lagi.
Dari berbagai sumber diketahui bahwa surat bertajuk
"Menangani Bayi Nasionalisme (Separatisme) Papua Sebagai Hasil 'Perkawinan Paksa' Jakarta-Papua" disampaikan para pendeta kepada Presiden SBY dalam pertemuan yang digelar di Perpustakaan kediaman Presiden di Cikeas, Bogor, Jumat (16/12).
Mereka menganggap, peristiwa-peristiwa bersejarah integrasi Papua ke Indonesia tidak melibatkan rakyat Papua. Hal itulah yang menjadi akar masalah Papua yang terus terjadi sampai dewasa ini. Setelah penentuan pendapat tahun 1969, lanjut surat tersebut, pemerintah melaksanakan pembangunan di Papua yang dianggap warga Papua sebagai kekerasan multi wajah.
Dalam rangka menyikapi "bayi nasionalisme" yang lahir dalam konteks pemerintahan yang berwajah kekerasan, Pimpinan Gereja di Tanah Papua telah mengeluarkan Komunike Bersama Pimpinan Gereja (10 Januari 2011) dan Deklarasi Teologi (pada tanggal 26 Januari 2011) yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah gagal membangun orang asli Papua kecuali melahirkan dan menyuburkan aspirasi Papua merdeka dan tidak punya niat untuk memutuskan mata rantai kekerasan ini.
Para pimpinan Gereja pun merekomendasikan hal-hal yang diantaranya adalah meminta Pemerintah membuka diri menggelar dialog yang inklusif, tanpa syarat, yang adil, bermartabat dan komprehensif dengan rakyat Papua, dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.
Agenda menyelamatkan Otsus Papua dan UP4B yang akan dijalankan, mereka nyatakan sebagai kerja sepihak Pemerintah Indonesia yang tidak demokratis karena dilahirkan tanpa partisipasi rakyat Papua.
[ald]
BERITA TERKAIT: