"Bagi MPR, sebagai lembaga negara yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD 1945, agenda melakukan perubahan UUD 1945 sangat terbuka,†ujar Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hajriyanto Yasin Tohari Sarasehan Nasional Kelompok DPD di MPR bertema
Perubahan Kelima UUD 1945: Konsolidasi Demokrasi dan Jati Diri Bangsa di Gedung Nusantara IV Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/12) seperti disiarkan Bidang Pemberitaan dan Media Visual Sekjen DPD.
Peluang sangat terbuka tersebut mensyaratkan bahwa usul perubahan konstitusi harus memenuhi ketentuan tata cara dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Ia merujuk kewenangan MPR dalam Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Sedangkan tata cara usul perubahan konstitusi adalah sesuai ketentuan Pasal 37 ayat (1), bahwa usul perubahan dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurangÂkurangnya 1/3 jumlah anggota MPR; dan ayat (2), bahwa usul perubahan tersebut diajukan tertulis dan ditunjukkan jelas bagian yang diusulkan beserta alasannya.
"Mengubah UUD 1945 tidak tabu, asalkan menjadi kehendak kolektif, merupakan pilihan demi menjaga kelarasan dan kelangsungan bangsa dan negara," sambungnya.
Hajriyanto mengingatkan, perubahan kelima UUD 1945 tidak mudah terwujud sebab usul perubahan UUD 1945 harus memenuhi prasyarat atau tata cara dalam Pasal 37 ayat (3) dan (4) UUD 1945 bahwa untuk mengubah pasalÂ-pasal UUD 1945 maka sidang MPR dihadiri sekurangÂkurangnya 2/3 jumlah anggota MPR; dan putusan untuk mengubahnya dengan persetujuan sekurangÂkurangnya 50 persen plus 1 anggota MPR.
"UUD 1945 tidak sakral, dan tidak perlu disakralkan, meskipun perubahan
konstitusi membutuhkan prasyarat yang tidak mudah. Tidak ada konstitusi yang sempurna, karena konstitusi merupakan resultante kebutuhan suatu bangsa atau negara. Wacana mengubah UUD 45 adalah wajar, menunjukkan bahwa masyarakat kita sangat dinamis. Partisipasi publik justru wajib ditampung guna memperkaya alternatif," paparnya.
Dia menambahkan, melewati episode demi episode gerakan perubahan di Indonesa, ternyata perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat UUD 1945 mengandung kelemahan konsepsional, utamanya yang strategis. Makanya, beberapa tahun kemudian bermunculan berbagai macam kritikan dan keluhan, bahkan kecaman.
“Akhir-akhir ini orang mempertanyakan mengapa kita meniadakan GBHN dari sistem ketatanegaraan kita, eka prasetya pancakarsa atau P4 (Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila), dan Sidang MPR sebagai lembaga pertanggungjawaban formal presiden dan wakil presiden," ungkapnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: