"Tapi cara Kementerian Hukum dan HAM keliru. Soal remisi dan pembebasan bersyarat itu sudah diatur UU dan PP, tidak bisa direduksi oleh surat edaran apalagi cuma dari Dirjen Lapas. Itu keliru 100 persen," ujar pakar tata negara Margarito Kamis kepada
Rakyat Merdeka Online, Sabtu siang (12/11).
Dia mengatakan hak diskresi hanya dimiliki oleh menteri, bukan wakil menteri apalagi Dirjen. Maka untuk memecah kebuntuan polemik perkara pengetatan itu, bagi Margarito mudah saja.
"Revisi UU dan PP. Dalam perubahan itulah dijelaskan apa saja detail gagasan pengetatan," ucapnya.
Pilihan lain yang lebih mudah dan cepat, Presiden SBY keluarkan keputusan presiden atau Peraturan Pemerintah Pengganti UU. Tapi, hingga kini tidak ada satupun upaya penyelesaian yang coba dilakukan pemerintah. Orang-orang pemerintah malah terus bersitegang dengan kekuatan yang kontra kebijakan.
"Paling masuk akal saat ini mengakomodasi gagasan itu, tapi tidak ada langkah terobosannya. Pemerintahan ini senang dengan kegaduhan, padahal persoalan kecil ini bersumber dari orang yang paham hukum. Polemik dibiarkan, padahal jalan keluarnya simpel saja," sesal Margarito.
Mengenai gugatan dari partai politik pada kebijakan tak berdasar itu, pemegang gelar doktor hukum ini mengatakan langkah itu wajar karena sejumlah kader mereka dirugikan tidak jadi bebas dari bui.
"Sah sekali kalau mereka ambil tindakan hukum, misalnya menggugat pemerintah dalam ini Menteri Hukum dan HAM, karena tanggungjawab itu yang memikul Menteri Hukum dan HAM," tandasnya.
Sekali lagi dia tegaskan bahwa dirinya 100 persen memahami dan mendukung semangat pengetatan itu. Namun, untuk melakukan perluasan karakter pembinaan narapidana diperlukan aturan formal yang terang benderang.
"Jangan cuma koar-koar soal kadar rasa keadilan rakyat. Sekarang bagaimana kita identifikasi rasa keadilan itu? Fenomena sekarang ini belum tentu yang
genuine, bisa jadi artifisial. Sehingga lebih baik bikin aturan tegas, jangan ujug-ujug kebijakan," tandasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: