Cuma Satu Kasus Masuk Majelis Kehormatan Hakim

KY Terima 1.169 Pengaduan Kenakalan Hakim

Kamis, 15 September 2011, 05:37 WIB
Cuma Satu Kasus Masuk Majelis Kehormatan Hakim
Komisi Yudisial (KY)
RMOL.Selama periode Januari-Agustus 2011, Komisi Yudisial (KY) menerima 1.169 laporan pengaduan dari masyarakat perihal pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan hakim. Namun, hanya satu hakim yang perkaranya sampai ke Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Lantas, bagaimana nasib laporan pengaduan lainnya?

Adalah perkara hakim Penga­dilan Negeri Mataram, Edy yang diproses hingga ke MKH. Edy dinilai bersalah oleh MKH karena terbukti menerima duit sebesar Rp 100 juta saat masih men­jabat sebagai hakim Penga­dilan Negeri Dumai. Duit itu di­te­rima Edy dari temannya, Ita Ma­riani setelah diminta membuat memori kasasi. Karena menerima duit itu, maka pada Selasa 24 Mei 2011, Edy dihukum menjadi ha­kim non palu selama dua tahun dan dicabut remunerasinya.

Tapi, mengapa dari 1.169 lapo­ran yang masuk ke KY, hanya satu yang masuk ke MKH? Men­dengar hal itu, Wakil Ketua KY Imam Anshori Saleh mem­be­nar­kan, periode Januari-Agustus 2011, MKH hanya me­nyi­dangkan satu hakim, yakni Eddy. Namun, katanya, hal itu bukan berarti KY tidak memproses ribu­an laporan yang masuk.

“Lihat dulu perkaranya. Kalau perkaranya itu berat, maka kami tidak segan untuk membawa ma­sa­lah itu ke MKH. Tapi, ribuan la­poran yang masuk itu ber­po­tensi hanya pelanggaran ringan,” katanya ketika dihubungi <I>Rakyat Merdeka.

Sekadar mengingatkan, MKH terdiri dari unsur KY dan Mah­ka­mah Agung (MA). Persisnya, empat orang dari KY dan tiga orang dari MA. MKH menyidang hakim yang diduga melakukan pelanggaran berdasarkan re­komendasi KY.

Menurut Imam, dari ribuan la­poran yang masuk, tidak se­mua­nya dapat ditindaklanjuti KY. Se­bab, katanya, ada beberapa la­po­ran yang tidak tergolong masalah kode etik atau menyentuh ma­sa­lah putusan hakim. “Nah, kalau yang demikian itu, kami tidak bisa menindaklanjutinya,” tandas dia.

Imam menambahkan, KY siap membawa ribuan laporan itu ke MKH jika memang ada perkara yang tergolong berat. Jika tak ter­golong perkara berat, katanya, maka KY hanya akan mere­ko­men­dasikan kepada MA agar mem­berikan teguran tertulis. “Mekanismenya memang seperti itu. Pokoknya kami akan proses semua laporan pengaduan masya­rakat yang masuk,” ucapnya.

Ketika ditanya, apakah 1.169 la­po­ran pengaduan itu ada yang tergolong pelanggaran berat, Imam belum bisa men­je­las­kan­nya. Menurutnya, hal itu masih per­lu pengkajian yang mendalam oleh tim panel. “Pokoknya jika ada pelanggaran berat, maka kami akan segera tindaklanjuti,” ujarnya.

Imam menambahkan, sepan­jang tahun 2005 hingga Agustus 2011, 426 orang memenuhi panggilan KY, sedangkan yang mangkir 16 orang. “Dari jumlah itu, yang dapat direkomendasi mendapatkan sanksi ada 123 hakim,” katanya.

Dia merinci, dari 123 hakim yang direkomendasikan men­da­pat sanksi itu, 17 hakim diberhen­ti­kan, 11 hakim diberhentikan se­mentara selama dua tahun, dua ha­kim diberhentikan sementara se­lama 18 bulan, 11 hakim diber­hen­tikan sementara satu tahun, 11 hakim diberhentikan selama enam bulan dan dua hakim diber­hentikan sementara selama tiga bulan. “Sementara teguran tertulis untuk hakim sebanyak 69,” ujarnya.

Dari total itu, 15 laporan sudah dit­erima MA. Rinciannya, tujuh rekomendasi diterima MA, tiga rekomendasi diterima tapi me­nunggu pemeriksaan, dan lima ha­kim diajukan ke MKH. Se­mentara yang ditolak MA, kata Imam, jumlahnya 41 dengan alasan menyentuh teknis yudisial. “Yang sudah dijatuhi sanksi oleh MA ada tujuh hakim, ditolak de­ngan alasan lain ada tujuh, se­men­tara yang belum ada tang­ga­pan sebanyak 108,” ucapnya.

Menurut Juru Bicara KY Asep Rahmat Fajar, pada periode Ja­nuari-Agustus 2011, KY telah me­nerima 1.169 laporan penga­du­an dari masyarakat. Lima dae­rah dengan laporan terbanyak adalah Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatra Utara dan Jawa Tengah.

Berdasarkan rapat panel KY untuk menindaklanjuti laporan tersebut, yang tidak dapat ditin­daklanjuti sebanyak 300 laporan. Sementara, yang dapat ditin­dak­lanjuti ke tahap selanjutnya, yak­ni pemeriksaan hakim berma­sa­lah sebanyak 206 laporan. “Si­sanya masih telaah laporan oleh tim pengawas hakim,” ujarnya.

Asep menjelaskan, MKH mem­berikan satu kali sanksi atas nama hakim Eddy yang putu­san­nya divonis sebagai hakim yus­ti­sial atau non palu selama dua ta­hun. Disamping itu, katanya, yang bersangkutan tidak diberi­kan remunerasi pendapatan se­lama dua tahun.

Reka Ulang

Kasusnya Cuma Sekelas Rp 100 Juta

Periode Januari hingga Agus­tus 2011, Eddy merupakan satu-satunya hakim yang dibe­rikan sanksi oleh Majelis Kehor­matan Hakim (MKH).

Hakim  Pengadilan Negeri Ma­taram, Nusa Tenggara Barat itu terbukti telah menerima uang se­be­sar Rp 100 juta untuk biaya membantu membuat memori kasasi.

Alhasil, pada Selasa 24 Mei 2011, Eddy dijatuhi sanksi berupa pemberhentian sementara sebagai hakim selama dua tahun.

Hari itu, saat sidang berlang­sung pada pukul 10.WIB di Ge­dung MA, Jakarta, terdakwa Eddy menceritakan kepada MKH awal mulanya kasus itu. Perkara tersebut  bermula saat dia menjadi hakim Pengadilan Negeri Dumai. Ketika itu, Eddy bertemu teman SMA-nya, Ita pada pertengahan Juli 2008.

Namun, ia membantah bahwa pertemuan itu berkaitan dengan per­­kara yang sedang ditanga­ni­nya. “Dia meminta saya mem­bantu mengajukan kasasi ke MA terkait sengketa tanah di Du­mai,” ucapnya.

Mendengar permohonan ban­tuan itu, Eddy mengaku awalnya tidak bisa membantu Ita secara langsung. Namun, dia berjanji mengenalkan Ita dengan seorang pengacara bernama Edy Hamsy. Eddy mengatakan kepada Ita bahwa biaya menyewa penga­cara untuk perkara tersebut se­besar Rp 100 juta.

Setelah mendengar arahan itu, tanpa ragu Ita mengirimkan uang tersebut dengan cara mentransfer ke rekening Eddy. “Uang Rp 100 juta saya serahkan kepada Edy Hamsy. Saya dapat Rp 2,5 juta dari Ita. Edy Hamsy memberikan saya Rp 15 juta,” katanya.

Namun, lanjut Eddy, majelis kasasi MA menolak permoho­nan kasasi yang diajukan Ita melalui Edy Hamsy. “Ita ke­ce­wa dan meminta uang dikem­bali­kan,” ujarnya.

Lantaran tak berhasil menda­patkan uangnya kembali, pada akhir 2010, Ita mengajukan per­soalan tersebut ke KY dan me­nyebut Eddy menerima sejumlah uang untuk membantu suatu pe­r­kara. Dalam persidangan, Eddy me­ngaku telah mengganti seba­gian uang yang Ita berikan. Kata Eddy, Istrinya telah mengganti uang Ita sebesar Rp 55 juta dan berupaya melunasi sisanya.

Sidang MKH ini dipimpin per­wakilan dari KY dan MA. Per­wa­kilan dari Mahkamah Agung yakni Zaharudin Utama, Ko­ma­riah Embong dan Supandi. Ko­misi Yudisial terdiri dari Tau­fi­qurrahman Syahuri, Suparman Marzuki, Jaja Ahmad Jayus, dan Abbas Said.

MKH memutus, Eddy terbukti menerima uang untuk jasa mengurus perkara tingkat kasasi. “Saudara Eddy dijatuhi hukuman disiplin berupa mutasi di Penga­dilan Tinggi Jambi sebagai hakim non palu selama dua tahun, dan di­cabut remunerasinya,” kata Ke­tua MKH kasus ini, Tau­fi­qurrahman Syahuri.

Menurut MKH, Eddy terbukti bersalah karena bertindak sebagai perantara orang yang mau me­nga­jukan kasasi ke MA, Ita Ma­riani dengan pengacara Edy Ham­sy terkait sengketa tanah.

“Dalam kurun waktu men­jalani hu­kuman, saudara Eddy tak ber­hak mendapat remunerasi sama sekali. Saudara Eddy harus mendapatkan pembinaan di Pengadilan Tinggi Jambi,” ucapnya.

Ragukan Kinerja Komisi Yudisial

Jusuf Rizal, Presiden LSM LIRA

Presiden LSM Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Jusuf Rizal meminta DPR menge­sah­kan revisi Undang-Undang Ko­misi Yudisial (KY). Pasalnya, kata dia, di tengah situasi lem­baga peradilan yang carut marut seperti ini, sudah saatnya mun­cul lembaga adhoc yang mam­pu mengawasi sekaligus mem­berikan sanksi kepada instru­men peradilan yang melanggar ketentuan.

“Bagaimana KY mau be­kerja dengan baik kalau setiap reko­mendasi yang dilakukan selalu diprotes MA. Maka wa­jar saja kalau KY saat ini sa­ngat lemah dalam melakukan tugasnya,” katanya.

Menurut Jusuf, sudah saat­nya KY diberikan kewena­ngan le­bih. Sebab, kata dia, saat ini kinerja KY seakan tidak pernah ter­­lihat di mata masyarakat. Ka­rena itu, Jusuf mengimbau DPR untuk me­ngesahkan revisi UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

“Dengan begitu, KY baru bisa menambah kewe­na­ngan­nya, yakni pemberian sanksi ter­hadap hakim secara lang­sung dan pemanggilan paksa,” tegasnya.

Ketika ditanya, mengapa be­gitu menginginkan KY bisa melakukan pemanggilan paksa, Jusuf menjawab, hal itu lantaran para hakim di bawah naungan MA kerap mangkir dari pang­gilan. Soalnya, tidak ada sanksi yang mengatur kewajiban ha­kim memenuhi pemeriksaan KY. “Dengan ekspektasi besar tapi kewenangan yang dimiliki limitatif, maka hal itu sama saja bohong,” ucapnya.

Alhasil, Jusuf ragu pada ki­nerja KY yang saat ini belum di­dukung legalitas undang-un­dang. Soalnya, undang-undang itu belum mampu untuk men­cip­takan perbaikan instansi peradilan di Tanah Air. Jusuf ber­harap, KY bisa menjadi lem­baga yang hampir mendekati KPK dalam hal kewenangan tu­gasnya. “Kalau begitu, sudah ten­tu para hakim akan mikir se­ribu kali untuk melakukan pe­langgaran,” katanya.

Rekomendasi KY Sering Ditolak MA

Bambang Soesatyo, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo meminta Mahkamah Agung (MA), seba­gai lembaga yang menaungi para hakim, bekerjasama de­ngan Komisi Yudisial (KY) untuk menciptakan lembaga peradilan yang bebas dari jeratan mafia peradilan.

Bambang pun berharap, MA dapat menghargai rekomen­dasi yang dikeluarkan KY. “Tidak seperti sekarang ini. Saya lihat MA kerap menolak apa yang telah dire­ko­men­da­si­kan KY,” ujarnya.

Karena itu, Bambang kem­bali meminta MA untuk mem­perbaiki kinerjanya dalam me­naungi para hakim. Menurut Bambang, apabila MA tidak me­nunjukkan kinerja terbaik­nya, maka dirinya di Komisi Hu­kum akan mengusulkan su­paya anggaran untuk MA di­potong.

“Saat rapat dengan kami, MA mengusulkan DPR supaya mengesahkan anggaran sebesar Rp 6 triliun. Tapi jika tak ada peningkatan, maka akan kami potong anggaran itu,” ucap politikus Golkar ini.

Saat ditanya, apa alasan ingin memotong anggaran MA, dia menjawab bahwa semua angga­ran lembaga pemerintah saat ini diatur dengan metode berbasis kinerja. Menurutnya, jika ki­nerja suatu lembaga pemerintah menurun, maka tidak mustahil anggaran yang diberikan ke­pada lembaga itu akan di­potong. “Jadi, jangan semata-mata ingin anggaran besar tanpa hasil kerja yang memuaskan,” tandasnya.

Bambang merasa anggaran sebesar Rp 6 triliun untuk MA sangat memberatkan. Soalnya, kata dia, jika anggaran sebesar itu dikaitkan dengan maraknya sejumlah hakim yang terbukti menerima suap, maka akan terjadi penolakan yang deras dari masyarakat.  

“Kita prihatin banyaknya pe­nangkapan hakim dan putusan hakim yang tidak sesuai fakta hukum. Ini menjadi catatan kami untuk meninjau ulang anggaran,” tegasnya.

Mengenai revisi Undang-Un­dang KY, Bambang setuju jika KY diberikan porsi kewen­a­ngan untuk melakukan eksekusi terhadap para hakim yang ter­bukti melanggar kode etik.

“Itu­lah yang saat ini sedang kami bahas. Semoga saja bisa ter­wujud,” katanya. [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA