Nunun sudah hampir tiga bulan jadi buruan Interpol. Sedangkan Neneng, istri tersangka kasus suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga M Nazaruddin, baru sekitar dua minggu masuk daftar buronan Interpol.
Tapi, keberadaan dua tersangka kasus yang berbeda, Nunun dan Neneng hingga kini belum meÂnemukan titik terang. Pasalnya, pihak Interpol belum berhasil meÂngendus keberadaan tersangka kaÂsus travel cek dan tersangka kaÂsus korupsi pengadaan dan suÂpervisi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kementerian TeÂnaga Kerja dan Transmigrasi taÂhun anggaran 2008 itu.
Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Anton Bachrul Alam, pihaknya belum menÂdaÂpatÂkan kabar keberadaan dua waÂnita yang menjadi buronan terÂsebut. Artinya, kata dia, pihaknya belum menemukan titik terang keberadaan istri bekas Wakapolri dan istri bekas Bendahara Umum DPP Demokrat tersebut. “Hingga kini kami masih menunggu kabar dari pihak Interpol,†katanya di Mabes Polri, kemarin.
Anton berharap masyarakat bersabar menunggu hasil kerja Interpol dalam membekuk istri bekas Wakapolri yang tersandung kasus suap pemilihan Deputi GuÂbernur Senior Bank Indonesia (DGSBI) 1999-2004 itu, serta istri bekas Bendahara Umum DPP Demokrat Muhammad NaÂzaruddin. Yang jelas, katanya, proses pencarian oleh interpol tetap berjalan dan upaya Polri meÂmanfaatkan Interpol akan terus dimaksimalkan “Ya seÂbaiknya kita tunggu saja. Biarkan mereka bekerja dengan proÂfesional,†ucapnya.
Sebelumnya, terbesit kabar bahÂwa Nunun mengirimkan pesan singkat yang isinya ucapan selamat hari raya Idul Fitri keÂpaÂda Adang Daradjatun. MeÂnanÂgÂgaÂpi hal itu, Anton berjanji pihakÂnya akan menindaklanjuti pesan singkat tersebut.
Ketika ditanya, apakah polisi akan menyita telepon genggam milik Adang untuk dijadikan barang bukti? Anton menjawab, polisi tidak akan menyita telepon selular suami Nunun itu. “Tidak usah pakai sita-sitaan, tapi yang jelas kami tindak lanjuti,†katanya.
Sekadar latar, wanita yang menurut pengacaranya menderita penyakit lupa ingatan itu mulai menjadi buronan di 188 negara pada 13 Juni 2011. Dalam situs resmi www.interpol.go.id nama Nunun tertulis dalam salah satu buronan yang dicari.
Tercatat, ciri-ciri fisik peremÂpuan berusia 60 tahun itu yakni tinggi badan 1,55 meter, berat 55 kilogram, mata dan rambut berÂwarna hitam.
Hal senada dilontarkan Kepala Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo. Menurutnya, KPK beÂlum mendapatkan informasi perihal keberadaan istri anggota Komisi III DPR itu. “Hingga kini kami masih terus menelusuri keÂberadaannya bersama dengan pihak Interpol,†katanya ketika dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.
Sementara itu, Neneng juga belum ketahuan keberadaannya meskipun sudah resmi dijadikan tersangka oleh KPK pada 14 Agustus 2011 dalam kasus peÂngaÂdaan dan supervisi pemÂbangÂkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) tahun anggaran 2008.
Lantas, bagaimana keberadaan Neneng saat ini? Menurut Johan, KPK belum mendapatkan inÂformasi perihal keberadaan istri Nazaruddin itu. Tapi, katanya, dapat dipastikan bahwa Neneng hingga saat ini masih di luar neÂgeri. Namun, Johan belum meÂmastikan negara mana yang kini menjadi tempat persembunyian Neneng. “Belum ada informasi yang valid untuk membuktikan hal itu,†katanya.
Seperti diketahui, tanggal 20 Agustus 2011, markas Interpol atau ICPO resmi menerbitkan red notice Neneng Sri Wahyuni yang menjadi tersangka korupsi proyek PLTS di Kemenakertrans pada 2008. Red Notice itu meÂruÂpakan permintaan dari KPK. NeÂneng kini resmi menyandang staÂtus buron Interpol di 188 negara dengan nomor register A-4947/8-2011. Meski begitu, hingga kini keberadaan Neneng belum bisa terdeteksi Interpol.
Alhasil, Neneng sama saja dengan nasib Nunun yang juga belum jelas keberadaannya meski ditangani Interpol.
Reka Ulang
Balada Nunun Dan Neneng Sri Wahyuni
Nama Nunun Nurbaetie dan Neneng Sri Wahyuni masih ramai dibicarakan masyarakat. Mereka diduga terlibat dua kasus korupsi yang berbeda.
Nunun Nurbaetie, istri bekas Wakapolri ini ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK lantaran diÂsangka terlibat dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur SeÂnior Bank Indonesia (DGSBI) MiÂranda Goeltom. Terkuaknya keterlibatan Nunun semakin teÂrang dalam sidang terdakwa Dhudie Makmun Murod pada Senin (8/3/2010) di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Nani Indrawati terungÂkap, kasus itu bermula awal bulan Mei 2004. Saat itu, Komisi IX DPR menerima tugas dari pimÂpinan DPR untuk melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan calon DGS BI sebagaimana diusulkan PreÂsiden Megawati SoekarÂnoÂputÂri. Ada tiga calon yang diÂajuÂkan, yakni Miranda Goeltom, Hartadi A.Sarwono, dan Budi Rochadi.
Singkat cerita, Pada 8 Juni 2004, dilakukanlah uji kepatutan dan kelayakan terhadap tiga calon itu yang dilakukan lewat mekaÂnisme voting. Miranda terpilih sebagai DGSBI untuk masa jaÂbatan 2004-2009 .
Menurut pengakuan Dudhie, sesaat setelah acara pemilihan, di gedung Nusantara I DPR, dia dihubungi sesama anggota DPR dari PDIP Panda Nababan melaÂlui telepon untuk menemui seseÂorang bernama Ahmad Hakim Safari alias Arie Malangjudo di restoran Bebek Bali, komplek Taman Ria Senayan, Jakarta. Di sana, Dudhie menerima titipan dari Nunun berupa traveler cheÂque BII senilai Rp 9,8 miliar. SeÂtelah menerima traveler cheÂque, Dudhie kemudian memberitahu Panda. Kemudian, menurut DudÂhie, Panda memintanya untuk membagikan cek itu kepada angÂgota Komisi IX dari Fraksi PDIP.
Sementara itu, Neneng dijaÂdikan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi pengadaan dan supervisi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di KemenÂterian Tenaga Kerja dan TransÂmigÂrasi tahun anggaran 2008. PeÂningÂkatan status istri M NazaÂrudÂdin dari saksi menjadi tersangka itu disampaikan Ketua KPK Busyro Muqoddas di Gedung KPK Jakarta pada 14 Agustus 2011. “Sudah tersangka,†kata Busyro singkat menjawab perÂtanyaan pewarta soal status huÂkum Neneng.
Juru bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo menambahkan, KPK juga menetapkan Pejabat pembuat komitmen di Ditjen Pembinaan Pengambangan MaÂsyarakat dan Kawasan TransÂmigÂrasi (P2MKT) Timas Ginting sebagai tersangka. Timas diduga menyalahgunakan keweÂnaÂnganÂnya dengan menyetujui pembÂayaÂran pekerjaan supervisi PLTS kepada perusahaan rekanan.
PT Alfindo dan PT Mahkota NeÂgara merupakan rekanan daÂlam proyek ini. Adapun PT MahÂkota Negara adalah perusahaan milik M Nazaruddin di bawah induk perÂusahaan Grup Permai, sedangÂkan PT Alfindo diduga diÂpinjam benÂderanya oleh NaÂzaruddin. KaÂsus dugaan korupsi pada proyek senilai Rp 8,9 miliar itu ditengarai meÂrugikan negara Rp 3,8 miliar.
Dalam kasus ini, Neneng diÂsangka berperan sebagai pengÂhubung antara Kemenakertrans dan PT Alfindo selaku perusÂaÂhaan rekanan proyek itu. Diduga, peran Neneng sama dengan peran Mindo Rosalina Manulang, yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap wisma atlet.
Bakal Seperti Edi Tanzil
Hendardi, Ketua LSM SETARA Institute
Ketua LSM SETARA InstiÂtute Hendardi menilai, aparat penegak hukum di Indonesia lamban menemukan posisi Nunun Nurbaetie dan Neneng Sri Wahyuni. Alhasil, Hendardi khawatir kasus tersebut akan sama nasibnya dengan kasus Edi Tanzil dan Anggoro WidÂjojo yang hingga kini belum ketahuan batang hidungnya.
“Wajar muncul persepsi seÂmacÂam itu. Coba jika aparat penegak hukum cekatan dalam menuntaskan perkara kedua orang tersebut,†katanya.
Khusus untuk kasus Nunun, Hendardi menilai perkara itu saÂrat dengan kepentingan poÂlitik. Sehingga, katanya, aparat penegak hukum terkesan seÂteÂngah hati menuntaskan perkara tersebut. “Kita semua tahu siapa itu suaminya Bu Nunun. Kalau saya lihat, masih ada rasa euÂweuh pakeweuh dalam meÂnunÂtaskan kasus itu,†tandasnya.
Sementara untuk Neneng, HenÂdardi menilai pencarian istri Nazaruddin itu seharusnya tak memakan waktu yang lama. Buktinya, kata dia, kepolisian tidak membutuhkan waktu lama untuk membekuk NazaÂrudÂdin. “Bahkan polisi sampai tahu di mana posisi Nazar. Hari ini dia di Singapura kemudian besok sudah ada di Argentina dan terakhir di Kolombia. Nah, kenapa untuk istrinya sampai kehilangan jejak,†ucapnya.
Hendardi berharap aparat penegak hukum jangan takut menghadapi ancaman-ancaman yang berbau politis. Bahkan, katanya, aparat penegak hukum di Tanah Air harus bisa menemÂbus intervensi politik yang keÂrap mengganggu penuntasan perkara. “Semua sudah disetir politik. Mulai dari kasus CenÂtury, penuntasan BLBI dan terakhir ini kasus dua orang itu,†ujarnya.
Menurutnya, takut dengan intervensi politik sama halnya deÂngan tebang pilih dalam meÂnunÂtaskan suatu perkara, terleÂbih kasus tersebut merupakan kasus korupsi. Hendardi kemÂbali mengingatkan aparat peÂneÂgak hukum mengenai arti penÂting program pemerintah yang ingin memberantas korupsi hingga ke akarnya.
“Bagaimana tanggung jawab mengenai wacana itu. Atau jangan-jangan wacana sekadar wacana tanpa adanya bukti yang konkrit,†tandasnya.
Karena itu, Hendardi meÂngimÂbau aparat penegak hukum semisal Polri dan KPK untuk meÂnuntaskan kasus tersebut. Terlebih, katanya, untuk perÂkaÂra suap pemilihan Deputi GuÂbernur Senior Bank Indonesia yang hingga kini penyuapnya belum ditangkap. “Sebanyak 26 politisi yang kemarin itu kan hanya penerima saja. Siapa seÂbenarnya dalang di balik kasus itu belum ketahuan hingga saat ini,†katanya.
Masyarakat Sudah Gerah
Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Yahdil Abdi Harahap meÂngimÂbau aparat penegak hukum daÂpat menemukan Nunun NurÂbaetie dan Neneng Sri Wahyuni yang menjadi buronan Interpol di 188 negara. Pasalnya, maÂsyaÂrakat sudah mulai gerah dengan sikap aparat penegak hukum yang terkesan tebang pilih menuntaskan kasus tersebut.
“Saat rapat dengar pendapat nanti akan saya tanyakan kepÂaÂda KPK dan Polri. Sudah sejauh mana mereka berusaha menunÂtaskan perkara tersebut. Atau jangan-jangan ada upaya untuk diberhentikan,†katanya.
Menurutnya, saat ini yang diÂbutuhkan masyarakat bukan haÂnya janji, melainkan bukti nyaÂta. Karena itu, Yahdil menilai aparat penegak hukum perlu berkoordinasi lebih intensif dengan pihak Interpol.
“MungÂkin selama ini mereka kuÂrang intens berkoordinasi deÂngan Interpol. Padahal koorÂdiÂnasi merupakan poin penting untuk menuntaskan suatu perÂmasalahan,†tandasnya.
Yahdil juga meminta aparat penegak hukum tak hanya meÂngejar Nunun dan Neneng seÂbaÂgai target operasi pencarian. Tetapi, lanjut dia, aparat juga harus bisa menemukan buronan kasus korupsi lainnya yang suÂdah lebih dahulu kabur ke luar negeri. Menurutnya, pencarian Nunun dan Neneng hanya seÂbaÂgian kecil dari jumlah para buÂronan yang kabur ke luar negeri.
“Ada Anggoro Widjojo, Edi Tanzil, Adrian Kiki dan lainnya. Mereka pun jangan dilupakan begitu saja,†ucapnya.
Ketika ditanyakan, apakah dalam membekuk para buronan korupsi yang kabur ke luar negeri dibutuhkan perjanjian ekstradisi dengan suatu negara? Politisi PAN ini menjawab hal itu tidak diperlukan sama sekali. Buktinya, kata dia, aparat peneÂgak hukum berhasil menangkap Nazaruddin di Kolombia.
“Padahal, kita tak punya peÂrÂjanjian ekstradisi dengan peÂmeÂrintah Kolombia. Seharusnya ini menjadi pelajaran pula untuk mengejar buronan lainnya yang katanya kabur ke Singapura,†tegasnya. [rm]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: