Hampir 3 Bulan, Interpol Tak Mampu Bekuk Nunun

Polisi Tidak Mau Sita HP Suaminya

Selasa, 06 September 2011, 05:56 WIB
Hampir 3 Bulan, Interpol Tak Mampu Bekuk Nunun
Nunun Nurbaetie
RMOL.Dua perempuan Indonesia kini namanya mendunia. Bukan lantaran prestasi yang segunung, tapi karena menjadi buronan kasus korupsi. Saat ini, mereka menjadi buronan polisi internasional alias Interpol di 188 negara. Mereka ialah Nunun Nurbaetie dan Neneng Sri Wahyuni.

Nunun sudah hampir tiga bulan jadi buruan Interpol. Sedangkan Neneng, istri tersangka kasus suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga M Nazaruddin, baru sekitar dua minggu masuk daftar buronan Interpol.

Tapi, keberadaan dua tersangka kasus yang berbeda, Nunun dan Neneng hingga kini belum me­nemukan titik terang. Pasalnya, pihak Interpol belum berhasil me­ngendus keberadaan tersangka ka­sus travel cek dan tersangka ka­sus korupsi pengadaan dan su­pervisi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kementerian Te­naga Kerja dan Transmigrasi ta­hun anggaran 2008 itu.

Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Anton Bachrul Alam, pihaknya belum men­da­pat­kan kabar keberadaan dua wa­nita yang menjadi buronan ter­sebut. Artinya, kata dia, pihaknya belum menemukan titik terang keberadaan istri bekas Wakapolri dan istri bekas Bendahara Umum DPP Demokrat tersebut. “Hingga kini kami masih menunggu kabar dari pihak Interpol,” katanya di Mabes Polri, kemarin.

Anton berharap masyarakat bersabar menunggu hasil kerja Interpol dalam membekuk istri bekas Wakapolri yang tersandung kasus suap pemilihan Deputi Gu­bernur Senior Bank Indonesia (DGSBI) 1999-2004 itu, serta istri bekas Bendahara Umum DPP Demokrat Muhammad Na­zaruddin. Yang jelas, katanya, proses pencarian oleh interpol tetap berjalan dan upaya Polri me­manfaatkan Interpol akan terus dimaksimalkan “Ya se­baiknya kita tunggu saja. Biarkan mereka bekerja dengan pro­fesional,” ucapnya.

Sebelumnya, terbesit kabar bah­wa Nunun mengirimkan pesan singkat yang isinya ucapan selamat hari raya Idul Fitri ke­pa­da Adang Daradjatun. Me­nan­g­ga­pi hal itu, Anton berjanji pihak­nya akan menindaklanjuti pesan singkat tersebut.

Ketika ditanya, apakah polisi akan menyita telepon genggam milik Adang untuk dijadikan barang bukti? Anton menjawab, polisi tidak akan menyita telepon selular suami Nunun itu. “Tidak usah pakai sita-sitaan, tapi yang jelas kami tindak lanjuti,” katanya.

Sekadar latar, wanita yang menurut pengacaranya menderita penyakit lupa ingatan itu mulai menjadi buronan di 188 negara pada 13 Juni 2011. Dalam situs resmi www.interpol.go.id nama Nunun tertulis dalam salah satu buronan yang dicari.

Tercatat,  ciri-ciri fisik perem­puan berusia 60 tahun itu yakni tinggi badan 1,55 meter, berat 55 kilogram, mata dan rambut ber­warna hitam.  

Hal senada dilontarkan Kepala Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo. Menurutnya, KPK be­lum mendapatkan informasi perihal keberadaan istri anggota Komisi III DPR itu. “Hingga kini kami masih terus menelusuri ke­beradaannya bersama dengan pihak Interpol,” katanya ketika dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.

Sementara itu, Neneng juga belum ketahuan keberadaannya meskipun sudah resmi dijadikan tersangka oleh KPK pada 14 Agustus 2011 dalam kasus pe­nga­daan dan supervisi pem­bang­kit listrik tenaga surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) tahun anggaran 2008.  

Lantas, bagaimana keberadaan Neneng saat ini? Menurut Johan, KPK belum mendapatkan in­formasi perihal keberadaan istri Nazaruddin itu. Tapi, katanya, dapat dipastikan bahwa Neneng hingga saat ini masih di luar ne­geri. Namun, Johan belum me­mastikan negara mana yang kini menjadi tempat persembunyian Neneng. “Belum ada informasi yang valid untuk membuktikan hal itu,” katanya.  

Seperti diketahui, tanggal 20 Agustus 2011, markas Interpol atau ICPO resmi menerbitkan red notice Neneng Sri Wahyuni yang menjadi tersangka korupsi proyek PLTS di Kemenakertrans pada 2008. Red Notice itu me­ru­pakan permintaan dari KPK. Ne­neng kini resmi menyandang sta­tus buron Interpol di 188 negara dengan nomor register A-4947/8-2011. Meski begitu, hingga kini keberadaan Neneng belum bisa terdeteksi Interpol.

Alhasil, Neneng sama saja dengan nasib Nunun yang juga belum jelas keberadaannya meski ditangani Interpol.

Reka Ulang

Balada Nunun Dan Neneng Sri Wahyuni

Nama Nunun Nurbaetie dan Neneng Sri Wahyuni masih ramai dibicarakan masyarakat. Mereka diduga terlibat dua kasus korupsi yang berbeda.

Nunun Nurbaetie, istri bekas Wakapolri ini ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK lantaran di­sangka terlibat dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Se­nior Bank Indonesia (DGSBI) Mi­randa Goeltom. Terkuaknya keterlibatan Nunun semakin te­rang dalam sidang terdakwa Dhudie Makmun Murod pada Senin (8/3/2010) di Pengadilan Tipikor, Jakarta.

Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Nani Indrawati terung­kap, kasus itu bermula awal bulan Mei 2004. Saat itu, Komisi IX DPR menerima tugas dari pim­pinan DPR untuk melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan calon DGS BI sebagaimana diusulkan Pre­siden Megawati Soekar­no­put­ri. Ada tiga calon yang di­aju­kan, yakni Miranda Goeltom, Hartadi A.Sarwono, dan Budi Rochadi.

Singkat cerita, Pada 8 Juni 2004, dilakukanlah uji kepatutan dan kelayakan terhadap tiga calon itu yang dilakukan lewat meka­nisme voting. Miranda terpilih sebagai DGSBI untuk masa ja­batan 2004-2009 .

Menurut pengakuan Dudhie, sesaat setelah acara pemilihan, di gedung Nusantara I DPR, dia dihubungi sesama anggota DPR dari PDIP Panda Nababan mela­lui telepon untuk menemui sese­orang bernama Ahmad Hakim Safari alias Arie Malangjudo di restoran Bebek Bali, komplek Taman Ria Senayan, Jakarta. Di sana, Dudhie menerima titipan dari Nunun berupa traveler che­que BII senilai Rp 9,8 miliar. Se­telah menerima traveler che­que, Dudhie kemudian memberitahu Panda. Kemudian, menurut Dud­hie, Panda memintanya untuk membagikan cek itu kepada ang­gota Komisi IX dari Fraksi PDIP.

Sementara itu, Neneng dija­dikan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi pengadaan dan supervisi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kemen­terian Tenaga Kerja dan Trans­mig­rasi tahun anggaran 2008. Pe­ning­katan status istri M Naza­rud­din dari saksi menjadi tersangka itu disampaikan Ketua KPK Busyro Muqoddas di Gedung KPK Jakarta pada 14 Agustus 2011. “Sudah tersangka,” kata Busyro singkat menjawab per­tanyaan pewarta soal status hu­kum Neneng.

Juru bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo menambahkan, KPK juga menetapkan Pejabat pembuat komitmen di Ditjen Pembinaan Pengambangan Ma­syarakat dan Kawasan Trans­mig­rasi (P2MKT) Timas Ginting sebagai tersangka. Timas diduga menyalahgunakan kewe­na­ngan­nya dengan menyetujui pemb­aya­ran pekerjaan supervisi PLTS kepada perusahaan rekanan.

PT Alfindo dan PT Mahkota Ne­gara merupakan rekanan da­lam proyek ini. Adapun PT Mah­kota Negara adalah perusahaan milik M Nazaruddin di bawah induk per­usahaan Grup Permai, sedang­kan PT Alfindo diduga di­pinjam ben­deranya oleh Na­zaruddin. Ka­sus dugaan korupsi pada proyek senilai Rp 8,9 miliar itu ditengarai me­rugikan negara Rp 3,8 miliar.

Dalam kasus ini, Neneng di­sangka berperan sebagai peng­hubung antara Kemenakertrans dan PT Alfindo selaku perus­a­haan rekanan proyek itu. Diduga, peran Neneng sama dengan peran Mindo Rosalina Manulang, yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap wisma atlet.

Bakal Seperti Edi Tanzil

Hendardi, Ketua LSM SETARA Institute

Ketua LSM SETARA Insti­tute Hendardi menilai, aparat penegak hukum di Indonesia lamban menemukan posisi Nunun Nurbaetie dan Neneng Sri Wahyuni. Alhasil, Hendardi khawatir kasus tersebut akan sama nasibnya dengan kasus Edi Tanzil dan Anggoro Wid­jojo yang hingga kini belum ketahuan batang hidungnya.

“Wajar muncul persepsi se­mac­am itu. Coba jika aparat penegak hukum cekatan dalam menuntaskan perkara kedua orang tersebut,” katanya.

Khusus untuk kasus Nunun, Hendardi menilai perkara itu sa­rat dengan kepentingan po­litik. Sehingga, katanya, aparat penegak hukum terkesan se­te­ngah hati menuntaskan perkara tersebut. “Kita semua tahu siapa itu suaminya Bu Nunun. Kalau saya lihat, masih ada rasa eu­weuh pakeweuh dalam me­nun­taskan kasus itu,” tandasnya.

Sementara untuk Neneng, Hen­dardi menilai pencarian istri Nazaruddin itu seharusnya tak memakan waktu yang lama. Buktinya, kata dia, kepolisian tidak membutuhkan waktu lama untuk membekuk Naza­rud­din. “Bahkan polisi sampai tahu di mana posisi Nazar. Hari ini dia di Singapura kemudian besok sudah ada di Argentina dan terakhir di Kolombia. Nah, kenapa untuk istrinya sampai kehilangan jejak,” ucapnya.

Hendardi berharap aparat penegak hukum jangan takut menghadapi ancaman-ancaman yang berbau politis. Bahkan, katanya, aparat penegak hukum di Tanah Air harus bisa menem­bus intervensi politik yang ke­rap mengganggu penuntasan perkara. “Semua sudah disetir politik. Mulai dari kasus Cen­tury, penuntasan BLBI dan terakhir ini kasus dua orang itu,” ujarnya.

Menurutnya, takut dengan intervensi politik sama halnya de­ngan tebang pilih dalam me­nun­taskan suatu perkara, terle­bih kasus tersebut merupakan kasus korupsi. Hendardi kem­bali mengingatkan aparat pe­ne­gak hukum mengenai arti pen­ting program pemerintah yang ingin memberantas korupsi hingga ke akarnya.

“Bagaimana tanggung jawab mengenai wacana itu. Atau jangan-jangan wacana sekadar wacana tanpa adanya bukti yang konkrit,” tandasnya.

Karena itu, Hendardi me­ngim­bau aparat penegak hukum semisal Polri dan KPK untuk me­nuntaskan kasus tersebut. Terlebih, katanya, untuk per­ka­ra suap pemilihan Deputi Gu­bernur Senior Bank Indonesia yang hingga kini penyuapnya belum ditangkap. “Sebanyak 26 politisi yang kemarin itu kan hanya penerima saja. Siapa se­benarnya dalang di balik kasus itu belum ketahuan hingga saat ini,” katanya.

Masyarakat Sudah Gerah

Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Yahdil Abdi Harahap me­ngim­bau aparat penegak hukum da­pat menemukan Nunun Nur­baetie dan Neneng Sri Wahyuni yang menjadi buronan Interpol di 188 negara. Pasalnya, ma­sya­rakat sudah mulai gerah dengan sikap aparat penegak hukum yang terkesan tebang pilih menuntaskan kasus tersebut.

“Saat rapat dengar pendapat nanti akan saya tanyakan kep­a­da KPK dan Polri. Sudah sejauh mana mereka berusaha menun­taskan perkara tersebut. Atau jangan-jangan ada upaya untuk diberhentikan,” katanya.

Menurutnya, saat ini yang di­butuhkan masyarakat bukan ha­nya janji, melainkan bukti nya­ta. Karena itu, Yahdil menilai aparat penegak hukum perlu berkoordinasi lebih intensif dengan pihak Interpol.

“Mung­kin selama ini mereka ku­rang intens berkoordinasi de­ngan Interpol. Padahal koor­di­nasi merupakan poin penting untuk menuntaskan suatu per­masalahan,” tandasnya.

Yahdil juga meminta aparat penegak hukum tak hanya me­ngejar Nunun dan Neneng se­ba­gai target operasi pencarian. Tetapi, lanjut dia, aparat juga harus bisa menemukan buronan kasus korupsi lainnya yang su­dah lebih dahulu kabur ke luar negeri. Menurutnya, pencarian Nunun dan Neneng hanya se­ba­gian kecil dari jumlah para bu­ronan yang kabur ke luar negeri.

“Ada Anggoro Widjojo, Edi Tanzil, Adrian Kiki dan lainnya. Mereka pun jangan dilupakan begitu saja,” ucapnya.

Ketika ditanyakan, apakah dalam membekuk para buronan korupsi yang kabur ke luar negeri dibutuhkan perjanjian ekstradisi dengan suatu negara? Politisi PAN ini menjawab hal itu tidak diperlukan sama sekali. Buktinya, kata dia, aparat pene­gak hukum berhasil menangkap Nazaruddin di Kolombia.

“Padahal, kita tak punya pe­r­janjian ekstradisi dengan pe­me­rintah Kolombia. Seharusnya ini menjadi pelajaran pula untuk mengejar buronan lainnya yang katanya kabur ke Singapura,” tegasnya. [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA