Dalam UU itu, tindakan penyilidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang tersangkut perkara hukum dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan dari Presiden atas permintaan penyidik. Apabila tidak diberikan oleh Presiden maka dalam waktu paling lambat enam puluh hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan baru dapat dilakukan.
Padahal, sepanjang 2004-2011, Kementrian Dalam Negeri mencatat sebanyak 158 kepala daerah yang terdiri atas gubernur, bupati dan walikota tersangkut korupsi.
Dalam kajian perundang-undangan yang dilakukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPP Permahi), disebutkan bahwa muatan materi Pasal 36 Ayat 1 dan 2 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah mengandung pasal dan ayat yang inkonstitusional atau yang lebih tepat disebut dengan istilah "pasal sampah".
Bukan saja tidak sesuai dengan materi muatan yang harus mengandung asas kesamaaan kedudukan hukum seperti yang termuat Pasal 6 Poin h UU 32/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tetapi juga bertentangan dengan Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 28 D Ayat 1 UUD 1945 yang secara tegas menyebutkan bahwa warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum.
"Bila penyidik harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Presiden untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana, mengapa keistemewaan hukum yang sama tidak diberikan pada rakyat biasa," kata Ketua Umum DPP Permahi, Windu Wijaya, kepada
Rakyat Merdeka Online, Kamis petang (23/6).
Harus diwaspadai bahwa waktu 60 hari adalah waktu yang panjang untuk dapat dimanfaatkan para kepala daerah yang akan diperiksa atas kasus korupsi untuk menghilangkan bukti-bukti kejahatan mereka.
Untuk itu ada dua hal yang dapat dilakukan yakni, revisi UU dan uji materi UU. DPP Permahi mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera merevisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
"Perihal upaya uji materi undang-undang, kami menantang nyali Presiden SBY untuk menjadi pemohon dalam uji materi dengan tujuan agar Mahkamah Konstitusi dapat mencabut pasal sampah ini," tambahnya.
Menurutnya, Presiden SBY memiliki
legal standing yang kuat sebagai pemohon, karena disamping pasal sampah tersebut tidak sesuai dengan norma-norma hukum, Presiden juga memiliki hak konstitusional atas pasal tersebut.
"Bila Presiden betul-betul berkomitmen memberantas korupsi, tentu tantangan ini akan direspon cepat dan positif oleh SBY. Namun bila target Presiden SBY hanya kekuasaan, dapat dipastikan Presiden SBY tidak akan mampu menjawab," pungkasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: