Hal itu dinyatakan Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ton Abdillah Has, kepada
Rakyat Merdeka Online, Selasa malam (14/6). Menurutnya, kasus lama yang diumbar Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD media massa beberapa waktu itu sejatinya murni kasus hukum yang harusnya diselesaikan melalui mekanisme hukum pula.
"Sebagai lembaga politik, DPR mestinya lebih fokus pada evaluasi kinerja lembaga penyelenggara Pemilu, KPU dan Bawaslu, serta kaitannya dengan MK sebagai lembaga tempat penyelesaian hukum sengketa pemilu. Hasil evaluasi ini lebih substantif, agar penyelenggaraan Pemilu ke depan dapat lebih baik dan jauh dari kecurangan," kata Ton.
Langkah “responsif†atas hingar-bingar pemberitaan media tersebut berbanding terbalik dengan ketidakpedulian DPR atas tuduhan mafia anggaran yang justru dilontarkan oleh anggota DPR sendiri, anggota Badan Anggaran DPR, Wa Ode Nurhayati. Padahal, "nyanyian" Wa Ode erat kaitannya dengan wilayah kerja Komisi II DPR, karena umumnya daerah hasil pemekaran yang disahkan lewat komisi II DPR paling dirugikan akibat ketidakmerataan dana penyesuaian infrastruktur daerah.
"Daerah pemekaran yang tidak memiliki dana menyuap anggota dewan, akhirnya tertinggal dalam pembangunan infrastrukturnya," imbuhnya..
Ton tegaskan, DPP IMM perhatian sekali dengan penguatan institusi-institusi demokrasi, termasuk lembaga penyelenggara pemilu, agar pengalaman Pemilu 2009 yang ditengarai penuh dengan kecurangan DPT, dana kampanye, dan pembelian suara tidak terulang kembali pada pemilu yang akan datang. Namun berlarut-larutnya pembahasan UU pemilu di DPR dapat mengganggu tahapan persiapan penyelenggaraan pemilu seperti yang terjadi pada pemilu 2009.
"Oleh karenanya DPP IMM mendesak DPR untuk lebih proporsional menempatkan persoalan kasus dugaan pemalsuan dokumen MK, yang amat mendapat perhatian komisi II DPR, dan memprioritaskan hal-hal yang lebih substantif seperti diatas," pungkasnya.
Andi Nurpati yang kini menjabat Ketua DPP Partai Demokrat tersangkut
kasus pemalsuan surat MK soal sengketa hasil pemilihan umum legislatif.
Dalam sengketa itu, sebenarnya MK memutuskan Mestariyani Habie,
politisi Partai Gerakan Indonesia Raya, sebagai pemenang sengketa.
Namun, surat itu dipalsukan sehingga nama Dewi Yasin Limpo (Partai
Hanura) yang menjadi pemenang.
Surat palsu bertanggal 14 Agustus
2009 itu tetap digunakan KPU untuk meloloskan Dewi Limpo ke DPR.
Padahal, MK sudah membuat surat yang benar dan asli bertanggal 17
Agustus 2009 yang diterima oleh Andi Nurpati.
[ald]
BERITA TERKAIT: