Demikian disampaikan pakar tata negara Margarito Kamis kepada
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Selasa, 14/6). Dia menjelaskan, secara tata negara partai politik adalah subyek hukum dalam Pemilu Presiden. Tetapi hal itu sama sekali tidak berkonsekeuensi hukum Presiden harus jadi Ketua atau Pembina Partai.
"Pada saat yang sama tidak ada larangan bagi Presiden, siapapun dia untuk misalnya menjadi Ketua Partai atau Pembina Partai. Itu sebabnya hanya Presiden SBY sendirilah yang menentukan kepantasannya. Pantas atau tidaknya tergantung pertimbangan Presiden sendiri," jelas Margarito Kamis.
Namun, masalah sebenarnya adalah pada diri Presiden melekat dua status yaitu statusnya sebagai
head of executive dan sebagai
head of state. Pada status kedua inilah Presiden menjadi poros moralitas dan etik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Pada titik itu mucul kewajiban moral atau etis baginya untuk mempertimbangkan kepantasan status beliau sebagai Pembina Partai. Saya berpendapat bahwa disebabkan begitu banyak persoalan bangsa ini yang membutuhkan penanganan secara cepat, tepat dan produktif, maka sepantasnya beliau berbesar hati dengan mengambil prakarsa melepaskan jabatan di partai politik (Partai Demokrat)," ucapnya.
Masih menurut Margarito, kalaupun SBY melepaskan jabatan itu, tidak berarti SBY melepaskan kontrol terhadap Partai Demokrat.
"Saya tidak percaya bahwa dengan melepaskan jabatannya di partai itu akan merangsang partai Demokrat jadi semakin liar. Rasanya sampai kapanpun Beliau akan tetapi diperlakukan oleh fungsionaris Partai Demokrat sebagai
god father," pungkas pria asal Ternate ini.
[ald]
BERITA TERKAIT: