Hal itu ditegaskan Wakil Ketua Komisi I DPR, Mayjen (Purn) Tubagus Hasanuddin. Dia menjelaskan, sebenarnya Presiden Yudhoyono dengan pemerintah Singapura sudah melakukan penandatanganan perjanjian ekstradisi di Tampaksiring, Bali pada 2007.
Sayangnya, Singapura ngotot perjanjian itu merupakan perjanjian yang tak dapat dipisahkan dari Defence Cooperation Agreement. Sedangkan Indonesia ingin keduanya berdiri sendiri-sendiri.
"Dalam perjanjian itu dijelaskan, Indonesia akan memberikan lahan sebanyak 32.000 hektar untuk latihan bersama antara TNI dengan pasukan Singapura," jelas TB kepada
Rakyat Merdeka Online, Selasa (7/6).
Dan ketika mau diratifikasi oleh DPR , ternyata banyak kejanggalan yang dinilai merugikan bangsa Indonesia karena secara politis menukar orang-orang yang bermasalah secara hukum dengan wilayah kedaulatan untuk berlatih sangat tidak menguntungkan.
"Singapura menghendaki wilayah itu dapat dipakai latihan dengan negara manapun tanpa harus izin dari Indonesia lagi," ucap mantan Sekretaris Militer Presiden ini.
Selain itu, Singapura minta perpanjangan waktu penguasaan lahan pada kurun waktu 25 tahun dan tidak menjelaskan senjata apa saja yang akan dipakai dalam latihan perang .
Poin kelima yang merugikan, dalam perjanjian ekstradisi itu Singapura bersedia menyerahkan warga Indonesia yang bermasalah tapi tidak bersedia meyerahkan asetnya dan juga tidak bersedia berlaku surut 12 tahun ke belakang .
"Terakhir, dari 32 ribu hektar tempat latihan ternyata 15 ribu hektar di antaranya adalah hutan lindung," jelas TB.
Jadi, Indonesia akan meratifikasi perjanjian ekstradisi hanya jika Singapura tidak ngotot mempertahankan perjanjian kerja sama pertahanan yang merugikan kedaulatan bangsa.
[ald]
BERITA TERKAIT: