Pembelian Pesawat China Mulai Ditelisik KPK

Buntut Jatuhnya Merpati Yang Tewaskan 27 Orang

Sabtu, 14 Mei 2011, 07:00 WIB
Pembelian Pesawat China Mulai Ditelisik KPK
RMOL. KPK mulai mengkaji dugaan penggelembungan harga pesawat MA 60 yang dibeli PT Merpati Nusantara Airlines. Sebelumnya, Merpati dilaporkan membeli 15 pesawat buatan Cina itu dengan dugaan mark up 46 juta dolar AS.
 
Menurut Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo, KPK sedang mengkaji laporan Fe­derasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara Bersatu (FSPBUMNB) mengenai dugaan mark up pembelian pesawat bikinan Xian Aircraft itu.

Apabila ditemukan mark up, lanjutnya, tanpa segan KPK akan mem­pro­sesnya secara hukum. “Sedang kami telaah untuk me­ngetahui benar tidaknya du­gaan mark up tersebut,” katanya, di Ja­karta, kemarin.

Meski begitu, Johan belum bisa memastikan berapa lama wak­tu yang dibutuhkan untuk menelaah laporan Federasi Seri­kat Pekerja Badan Usaha Milik Ne­gara Ber­satu yang diterima KPK pada Ka­mis (12/5) lalu. “Pastinya mema­kan waktu. Tidak ada yang cepat dalam proses hu­kum,” ucapnya.

Masalah jatuhnya pesawat MA 60 milik maskapai penerbangan Mer­pati Nusantara Airlines (MNA) di Kaimana, Papua Barat beberapa hari lalu bertambah pe­lik. Berbagai kalangan menilai, ke­putusan pembelian pesawat buatan Cina itu tidak tepat dan ter­jadi penggelembungan harga.

Alhasil, FSPBUMNB men­da­ta­ngi Gedung KPK untuk me­min­ta lembaga superbodi itu me­ngu­sut dugaan mark up tersebut. “Kami melaporkan dugaan mark up ini,” kata Ketua Koordinator FSPBUMNB FX Arief Puyuono saat melapor ke KPK.

Mereka mensinyalir terjadi kerugian negara sebesar 2,6 juta dolar AS untuk pembelian setiap unit pesawat MA 60 itu. Ber­da­sar­kan perencanaan pada 2005, Merpati membeli 15 unit MA 60 se­harga 11,6 juta dolar AS per pe­sawat. Pada 2009 kembali di­ajukan proposal yang menaikkan harga pesawat menjadi 14,6 juta dolar AS per unit. “Padahal, pe­sawat ini dikenal yang termurah di kelasnya,” ujar dia.

Menurut Arief, pesawat MA 60 dibandrol dengan harga 11 juta dolar AS per unit. Tetapi, di­ge­lem­bungkan menjadi 14,6 juta dolar AS. Untuk itu, FSPBUMNB akan menyampaikan data tambahan kepada KPK. “Zimbabwe dan Ne­pal saja, hanya membeli se­har­ga 10,5 juta dolar AS, itu sudah lengkap maintenance dan spa­repartnya serta training krunya. Sedangkan Indonesia membeli MA 60 seharga 14,6 juta dolar AS yang tadinya hanya 11 juta dolar AS,” tandasnya.

Menurut Arief, pengadaan p­e­sa­wat ini awalnya untuk meng­gan­tikan armada Merpati Airlines yang sudah tua. Pembelian pe­sa­wat ini menggunakan pinjaman dari Bank Exim Cina dengan pola pembayaran selama lima tahun oleh jaminan Pemerintah In­do­ne­sia. Namun, Merpati tidak mem­ba­yar angsuran sehingga dilak­u­kan skema penerusan pinjaman atau Subsidiary Loan Agreement (SLA).

Sampai 2008, Merpati baru mendapat dua pesawat dengan cara disewa. Namun, kedua pesa­wat ini tetap dikategorikan se­ba­gai penga­daan pesawat baru yang dibeli. Dari mekanisme ini, Fe­de­rasi Pekerja me­nemukan du­ga­an penyim­pa­ngan karena pe­sawat yang sudah disewa tetap dibeli se­harga 11,6 juta dolar AS per unit, selain du­gaan penggelembungan harga.

Selain itu, Arief menyebut pesawat MA 60 tidak mempunyai sertifikat dari Federal Aviation Administration (FAA) sebagai tanda kelayakan terbang.

Menanggapi laporan tersebut, Direktur Utama Merpati Nu­sa­n­tara Airlines, Sardjono Jhony Tjitrokusumo mengatakan, pem­belian 15 pesawat MA 60 meru­pa­kan program yang dibiayai Kementerian Keuangan. Pem­bia­yaan melalui sistem SLA ini men­capai Rp 2,17 triliun.

SLA adalah perjanjian pene­ru­san pinjaman antara Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Ke­men­terian Keuangan dengan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah atau Peme­rin­tah Daerah sehubungan de­ngan proyek yang dilaksanakan BUMN/BUMD/PEMDA, dan dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri yang dite­ruspinjamkan (two step loan). “Dana ini bukan cash, melainkan berupa 15 pesawat,” katanya.

Menurut dia, jika diperkirakan, har­ga pesawat itu sekitar 11 juta dolar AS per unit. Saat itu, Jhony me­nambahkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih sekitar Rp 10.000, se­hingga nilai pesawat itu sekitar Rp 110 miliar.

Keputusan pembelian MA 60, lanjut Sardjono, sudah keluar s­ejak 2006. Saat itu, Merpati me­nandatangani kontrak dengan Xi’an Aircraft melalui pem­bia­yaan Bank of China. Namun, pem­belian dua pesawat ini baru dikemas dalam daftar proyek 2007. Karena saat itu pem­bia­ya­an­nya belum ada, Merpati me­ngajukan pembiayaan kepada pe­merintah melalui SLA.

Setelah SLA ini disetujui, pe­nga­daan MA 60 dimulai pada Desember 2010 dengan nilai kon­trak sebanyak 15 pesawat. Saat ini, pesawat baru dikirim 13 unit. “Sisa dua pesawat akan dikirim pada 19 dan 20 Mei ini,” katanya.

Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas proyek ini? Jhony me­ngatakan, pengambilan kepu­tu­san pembelian ini dilakukan ber­jenjang dari direksi, kemudian di­ajukan ke dewan komisaris Mer­pati. Lalu, berlanjut ke Ke­men­te­rian BUMN, Kementerian Ke­uangan, dan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Na­sional (Bappenas).

Diteken Sebelum DPR Setuju
Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi XI DPR

Pengadaan pesawat MA 60 oleh PT Merpati Nusantara Air­lines, dinilai Wakil Ketua Ko­misi XI DPR Harry Azhar Azis tidak melalui prosedur yang telah ditetapkan.

Pasalnya, pembiayaan untuk pe­ngadaan pesawat tersebut yang disepakati melalui meka­nis­me perjanjian penerusan pin­jaman (Subsidiary Loan Agree­ment/SLA), tidak pernah diba­has bersama Komisi XI.

”Kalau mau ada pemberian SLA, mestinya ada persetujuan dari komisi terkait. Seingat saya, tidak pernah ada per­setu­juan t­entang itu di Komisi XI yang menangani anggaran,” katanya.

Harry juga mempertanyakan kesepakatan pengadaan pesa­wat tersebut, antara Pemerintah dan Merpati pada tahun 2005. Soalnya, kata dia, pengadaan itu belum pernah dibahas dan dise­tujui DPR.

“Kami akan mem­per­ta­nyakan kembali, mengapa kon­trak sudah lebih dulu dari per­setujuan DPR. Juga akan kami bahas sisi bisnis dari pe­nga­daan­nya, apakah ada ke­mung­kinan rekayasa keuangan,” ujarnya.

Harry menambahkan, dalam alur proses pembelian Merpati disebutkan, pemerintah telah menandatangani naskah pem­be­lian Merpati pada 11 Juni 2010. Sementara persetujuan DPR melalui Badan Anggaran baru pada 30 Agustus 2010. “Ter­kesan kami terpaksa me­nye­tujui, meskipun ada keti­dak­sinkronan di sini,” ujarnya.

Saking tak percayanya terha­dap pembelian pesawat MA 60, dia akan meminta Badan Pe­me­riksa Keuangan (BPK) me­laku­kan audit investigasi. Soalnya, keterangan yang diberikan pi­hak Merpati dalam rapat dengar pendapat (RDP) belum me­muas­kan.

“Ada indikasi me­langgar Undang-Undang, ka­rena Mer­pati dan pemerintah lebih da­hulu bertindak sebelum di­se­tujui,” ujarnya.

Harry menambahkan, Ko­mi­si XI akan menghimpun tujuh poin kesimpulan, yang akan ditanggapi Merpati Nusantara Airlines. Selain itu, lanjut dia, pi­haknya akan bertanya kepada Kementerian Keuangan tentang SLA yang tidak dibahas, bah­kan belum mendapat per­setu­juan Komisi XI.

“Mengacu pada undang-un­dang, seharusnya ada konsultasi dan persetujuan DPR terkait penggunaan uang negara yang bersumber dari APBN,” te­gasnya.

Cari Duit Atau Layani Daerah Terpencil?
Boyamin Saiman, Koordinator LSM MAKI

Koordinator LSM Ma­sya­rakat Anti Korupsi Indo­nesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai, kecelakaan pesawat MA 60 adalah buntut dari krisis finansial yang dialami PT Mer­pati Nusantara. Merpati yang miskin subsidi, menjadi repot memastikan perawatan pesawat MA 60 yang juga pesawat tipe ekonomis ini.

 â€œMasalah utamanya adalah Merpati punya masalah ke­uangan. Pesawat Merpati sudah tua-tua lalu mempersiapkan pe­ngadaan pesawat baru. Akhir­nya, Merpati jalan-jalan men­cari pesawat, tapi mampunya itu,” ujarnya.

 Selain itu, krisis ekonomi berimplikasi panjang. Terma­suk perhatian terhadap karya­wan yang kurang memadai, di­se­but-sebut memebuat kinerja mereka dalam perawatan pesa­wat tidak serius. “Misalnya gaji karyawan tak lancar, itu ber­pengaruh pada kondisi. Pilot­nya capek tidak? Dicek tidak sudah bekerja berapa jam? Apa­kah perawatan betul-betul su­dah dijalankan sesuai list yang ditetapkan,” katanya.

 Untuk memastikan pener­bangan yang aman, menurut dia, harus ada kepastian me­nyangkut kondisi finansial Mer­pati. “Kita harus kembali ber­tanya kepada pemilik Merpati, tujuannya untuk cari duit atau me­layani daerah terpencil. Ka­lau Merpati disuruh melayani daerah, pemerintah harus kon­sekuen,” tandasnya.

 Boyamin menduga, pesawat MA 60 yang jatuh pada Sabtu (7/5) lalu di Perairan Kaimana, Pa­pua Barat, merupakan pesa­wat uji coba Cina. “Spesifikasi dan performa pesawat harus teruji di lapangan. MA 60 ini seperti uji coba karena di Cina hanya sedikit, dan digunakan di negara-negara berkembang,” katanya.   [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA