"Ketika kami berhasil menumbangkan Soeharto, kami mengalami euforia sesaat seolah bahwa semua problem bangsa selesai dengan Soeharto turun. Ternyata selama 13 tahun reformasi kita mengalami dekadensi kehidupan berbangsa dan bernegara," ujar salah seorang tokoh 98, Ahmad Kasino, kepada
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Kamis, 12/5).
Mahasiswa pada saat itu, menurut Kasino, sudah merasa muak akan sifat otoriter dan korup Orde Baru. Akumulasi kekecewaan puluhan tahun itu mendapat momen pada 1998 hingga tumbangnya Soeharto. Tapi dalam perjalanannya, reformasi dibajak kekuatan penumpang gelap karena mahasiswa memberikan cek kosong kekuasaan pada elit. Sementara, aktor-aktor yang waktu itu berada di lapangan reformasi semakin hari semakin terpinggirkan.
"Karena idealismenya para mantan aktivis itu tidak bisa masuk dalam sistem. Sementara mereka yang pernah berjuang dulu dan ada di dalam sistem hanya menjadi sekrup kekuasaan, untuk melegitimasi kekuasaan sekarang," terang Kasino.
Sejatinya, imbuh Kasino, cita-cita reformasi adalah substansial, tentang bagaimana warga negara terlibat secara langsung untuk dalam pembuatan kebijakan publik. Tapi akibat dari pembajakan reformasi itu yang tercipta hanya demokrasi prosedural yang membanggakan proses Pemilu.
"Setelah itu kelompok liberal memasukkan agenda-agenda neoliberal ke dalam proses amandemen UUD 45. Padahal tuntutan agenda reformasi sesuai amanat konstitusi dalam mukadimah UUD 45. Tapi akhirnya kelompok neolib berhasil mengubah pasal-pasal yang sangat strategis," ungkapnya.
[ald]