Sistem Pendidikan Nasional di Bawah SBY-Boediono Tiru Politik Etis Kolonial

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Selasa, 03 Mei 2011, 10:30 WIB
Sistem Pendidikan Nasional di Bawah SBY-Boediono Tiru Politik Etis Kolonial
RMOL. Pemuda mahasiswa dan pelajar yang bernaung dalam belasan organisasi diantaranya PII, PMKRI, HMI-MPO, PMII, IMM, KAMTRI, HIMMAH, Senat UKI, BEM Jakarta, Hikmabudhi, KMHDI, SMI, LMND dan  PPRI  itu menyebut sistem pendidikan nasional di bawah pemerintahan SBY-Boediono tidak lebih dari praktik politik etis di zaman kolonial.

"Pendidikan nasional tidak diarahkan untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga dapat mengolah dan meningkatkan nilai tambah dari kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa," ujar Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, Lamen Hendra Saputra, dalam pernyataan sikap mahasiswa dan pelajar yang diterima wartawan (Selasa, 3/5) .

Menurutnya, pendidikan nasional telah diselewengkan dan melanggar konstitusi UUD 1945 sebab peruntukkannya hanya demi memenuhi pasar tenaga kerja murah dan pelayan jasa bagi modal-modal internasional yang telah mengeruk kekayaan alam bangsa ini. Menurut data, preferensi pekerjaan yang banyak diisi oleh lulusan perguruan tinggi adalah bidang jasa (52 persen), perdagangan, hotel, restoran (14 persen), dan pertanian (10 persen). Bidang industri pengolahan hanya diminati oleh 8 persen lulusan. Sehingga tidak mengherankan jika saat industri nasional mengalami kehancuran, sistem pendidikan nasional justru menciptakan barisan pengangguran terdidik yang terus meningkat setiap tahunnya.

Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah pengangguran terbuka (S-1) pada Februari 2007 sebanyak 409.900 orang. Setahun kemudian, pada Februari 2008 jumlah pengangguran terdidik bertambah 216.300 orang atau menjadi sekitar 626.200 orang.

Jika setiap tahun jumlah kenaikan rata-rata 216.300, maka pada Februari 2011 telah terjadi peningkatan pengangguran terdidik S1 sejumlah terdapat 1.275.100 orang. Jumlah ini belum ditambah dengan pengangguran lulusan diploma (D-1, D-2, D-3) yang dalam rentang waktu 2007-2010 saja tercatat peningkatan sebanyak 519.900 orang atau naik sekitar 57%.

Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Stefanus Gusma menambahkan, anggaran pendidikan sebesar 20 persen APBN yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah, dalam realisasinya justru bukan didasarkan pada total jumlah APBN sebesar 1.229,5 trilliun. Fakta ini disampaikan oleh Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, Hekinus Manao, bahwa pemenuhan amanat undang-undang dalam penyaluran anggaran pendidikan sebesar 20 persen diambil dari pos belanja pemerintah pusat pada APBN yang besarnya Rp 410,4 trilliun.

"Sehingga tidak mengherankan jika pendidikan nasional tidak menunjukkan perbaikan akses terhadap mayoritas rakyat miskin, kualitas sarana infrastruktur, kurikulum, tenaga pengajar dan kualitas lulusannya, tambah  Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia, Ridho.

Ketua Umum HMI-MPO,  M Chozin menyimpulan bahwa di bawah Pemerintahan SBY-Boediono saat ini kehidupan rakyat Indonesia telah nyata dikembalikan pada kondisi kolonial.  Untuk melanggengkan kekuasaannya, kolonialisme akan terus melanggengkan keterbelakangan, kebodohan dan mentalitas inlander suatu bangsa sehingga harus bersama-sama kita rumuskan metode penyelamatan negara ini  dengan  memutus mata-rantai  itu.

"Perubahan sudah tidak bisa ditunda walaupun pergantian rezim di tengah jalan pilihannya," tegasnya.[ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA