Di dalam ideologi negara Islam, menurut intelektual muda Nahdlatul Ulama Zuhairi Misrawi, terdapat klausul yang mengkhawatirkan yaitu bahwa klausul negara dalam situasi perang. Itulah yang digunakan kelompok radikal Islam untuk melawan rezim berkuasa.
"Ini persoalan paham keagamaan di dalam Islam. Ideologi negara Islam adalah ideologi Islam kontemporer baru muncul saat kelompok besar seperti ikhwanul muslimin dan revolusi Iran lahir. Padahal, tidak ada dalam Islam klasik yang membenarkan pandangan negara Islam," tegasnya dalam acara Polemik di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (30/4).
Untuk menangkal itu, sebenarnya Indonesia punya jawabannya yaitu Pancasila. Dalam Pancasila negara dibangun berdasarkan konsensus atau dalam Islam disebut Syuro.
"Menurut saya solusi yang terbaik, sekali lagi adalah kembali pada Pancasila dan ikuti sunnah politik para pendiri bangsa. Tidak perlu cari kitab lain," katanya.
Gangguan radikalisme agama akan semakin besar kalau ada pembiaran tanpa
counter ideology dari negara.
"Selama tidak ada antitesa makanya terjadi massifikasi. Ini wilayah ideologi, harusnya ada
counter," jelasnya.
Dalam kesempatan sama, Sosiolog Universitas Islam Bandung Prof. DR. Abdurachman, mengatakan, penangkalan terhadap ideologi negara Islam harus pula dilakukan dalam dunia pendidikan nasional.
Sementara di waktu yang berbeda, ekonom senior Dr. Rizal Ramli, mengatakan, radikalisme dipicu oleh kegagalan pemerintah di satu sisi, dan di sisi lain kekosongan ideologi setelah “ideologi nasionalisme†yang semestinya berujung pada pendekatan kesejahteraan yang digunakan untuk mendasari keputusan dan kebijakan politik negara malah dipalsukan oleh rezim penguasa. Nasionalisme hanya dijadikan barang pajangan untuk memantas-mantaskan penampilan rezim semata.
Nasionalisme hanya dijadikan wacana di awang-awang. Sementara pada realitanya, kebijakan pemerintah tidak berpihak pada semua rakyat, melainkan hanya pada sebagian kecil rakyat. Tidak berpihak pada kepentingan nasional, melainkan pada kepentingan kaum korporat dan konglomerat yang memanfaatkan kampanye globalisasi untuk menumpuk kekayaan di kalangan mereka.
Nasionalisme palsu ala pemerintahan SBY-Boediono gagal menambah lapangan pekerjaan yang dapat digunakan rakyat untuk menopang kehidupan diri dan keluarganya, juga gagal mengurangi jumlah penduduk miskin, sebaliknya justru berhasil memperlebar jarak antara kelompok berpunya dan kelompok tak berpunya yang jumlahnya adalah sebagian besar.[ald]