KPK Kaji Pembangunan Gedung Baru DPR

Tanggapi Dugaan Mark Up Rp 602 miliar

Sabtu, 23 April 2011, 07:42 WIB
KPK Kaji Pembangunan Gedung Baru DPR
ilustrasi, Gedung Baru DPR
RMOL. Setelah menerima laporan pengaduan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dugaan mark-up senilai Rp 602 miliar dalam penyusunan anggaran rencana pembangunan gedung baru DPR, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini menelaah dugaan penyimpangan dalam proyek ini.

Kepala Biro Humas KPK Jo­han Budi Sapto Prabowo me­ne­gaskan, pihaknya telah menerima laporan pengaduan dari ICW pada Kamis (21/4). Meni­n­dak­lan­juti hal tersebut, pihaknya akan menelaah laporan yang ma­suk.

“Waktu itu ICW bertemu De­puti Pengawasan Internal dan Pe­ngaduan Masyarakat Pak Han­doyo. Kami siap menelaah laporan tersebut,” katanya pada Rakyat Merdeka, kemarin.  

Namun demikian diakuinya, pi­haknya belum dapat turun lang­sung menangani proyek pem­ba­ngu­nan gedung. Soalnya, pem­bangunan gedung baru itu belum dilakukan oleh DPR. “Sekarang apanya yang mau ditangani kalau gedung barunya saja belum di­bangun. Tapi data itu tetap akan kami telaah,” ucapnya.

Johan menyatakan, jika yang dila­porkan ICW benar, pihaknya ti­dak segan-segan membawa per­kara tersebut ke jalur hukum. “Ya kalau terjadi penggelembungan har­­ga berarti korupsi. Kita ta­ngani itu,” tandasnya. Meski be­gitu, Johan berterimakasih pada ICW karena telah melaporkan dugaan penggelembungan harga dalam pembangunan gedung baru DPR ke KPK.

Pada prinsipnya, menurut dia la­poran itu sama halnya dengan memberi kepercayaan pada KPK da­lam menangani perkara. “Kami senang ICW memberikan ke­per­ca­yaan pada kami,” ucapnya.

Dalam laporannya, ICW men­duga ada mark up anggaran kons­truksi pembangunan ge­dung baru DPR. Dugaan mark up ini ber­nilai Rp 602 miliar. Nominal ter­se­but didapat setelah ICW mela­kukan penghitungan ber­dasarkan standar Peraturan Menteri Pe­kerjaan Umum No­mor 45/PRT/M/2007.

Dalam penghitungan, total ke­butuhan ruang pada gedung baru berlantai 18 lantai mencapai 79.767 meter persegi. Sementara ber­dasarkan penghitungan saat ini, diperkirakan gedung baru de­ngan lantai 36 hanya butuh ki­sa­ran luasa tanah 157 meter persegi.

Ka­renanya, Koordinator Moni­to­ring Analisis Anggaran ICW Fir­daus Ilyas yang menemukan ada ketidakberesan nekat mela­por ke KPK. Soalnya, menurut perhitu­ngan ICW, dana untuk mem­ba­ngun gedung baru DPR hanya Rp 535,6 miliar.

“Dugaan penggelembungan dana itu diperoleh setelah mem­bandingkan hitungan versi ICW terkait total anggaran versi hitu­ngan pihak DPR yang me­ngang­­garkan Rp 1,38 triliun. Kita men­desak KPK segera me­ngu­sut du­gaan penyimpangan se­perti ini,” katanya.

Kata dia, ICW juga meng­hi­tung total harga konstruksi pem­bangunan gedung per meter per­segi hanya Rp 6.715.500. Ber­beda dengan versi DPR, di mana har­ganya dipatok pada angka Rp 7,2 juta. Dengan angka ini, total yang seharusnya dikeluarkan untuk pengeluaran biaya kons­truksi ba­ngunan Rp 532.675.288.500.

Beda anka tersebut dinilai ICW jauh berbeda dengan biaya kons­truksi yang ditetapkan DPR yang men­capai angka Rp 1,138 triliun.

“Kami menduga ada mark up se­nilai Rp 602 miliar. Dari hi­tung-hitungan kami, kebutuhan luas ruangan untuk staf ahli setiap anggota seharusnya hanya 80 me­ter persegi, bukan 111,1 meter per­segi,” tuturnya. Menurut Fir­daus, dugaan mark up dari nilai Rp 1,138 triliun itu baru untuk anggaran konstruksi bangunan.

Ia menduga, kemungkinan hal yang sama juga terjadi pada ang­garan fasilitas lain untuk gedung baru. Fasilitas itu meliputi ang­ga­ran mebel untuk penunjang kerja dan anggaran listrik gedung baru.

“Ini baru anggaran konstruksi bangunan ya. Belum lagi kita me­li­hat ada furnitur dan per­leng­ka­pan lainnya di dalam ruang kerja. Kemudian, kita juga bisa saja nanti menemukan televisi plasma di setiap ruangan. Jadi itu semua belum masuk hitungan interior dan multimedia di dalamnya,” tandasnya.

Sementara itu, Koordinator bi­dang Korupsi Politik ICW Ab­dullah Dahlan mengatakan, pem­bangunan gedung baru tersebut di­duga kuat, bermasalah. Perma­sa­lahan muncul baik dari sisi pe­rencanaan maupun anggaran. Di­sampaikannya, dari proses peren­canaan, pembangunan ini se­ha­rus­nya mengacu pada peraturan Kementerian Pekerjaan Umum.

“Perencanaan gedung ini tidak di­landasi oleh analisa dan perse­tujuan Kementerian PU,” kata­nya. Abdullah Dahlan me­nam­bah­kan, dari sisi penyusunan anggaran pembangunan gedung baru DPR yang mencapai Rp 1,38 triliun, ia juga yakin kalau hal tersebut menyalahi prinsip asas pengelolaan anggaran ne­gara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003.

Ketua Dewan Perwakilan Rak­yat (DPR) Marzuki Alie menolak mengomentari segala hal yang terkait proyek pembangunan gedung baru DPR. “Tidak ada yang perlu saya komentari. Uru­san gedung baru itu sudah cased closed. Tidak usah ditanyakan lagi terlepas dari dinamika yang berkembang. Semuanya sudah dirumuskan secara formil,” tan­dasnya. Lebih dari itu, Marzuki meminta masyarakat percaya pada DPR yang tengah berjuang menghemat anggaran.

Terlalu Kedepankan Persoalan Pribadi
Mahfud MD, Ketua MK

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mafud MD menilai, se­cara konstitusi pembangunan gedung baru DPR yang me­ne­lan biaya Rp 1,13 triliun ada­lah sah serta tidak me­langgar hu­kum. Soalnya, mekanisme yang dilakukan DPR sudah se­suai prosedur.

“Keputusan DPR mem­b­­a­ngun gedung baru sama se­kali tak salah. Sebab keputusan itu se­mua sudah melalui pro­se­dur yang sah. Rencana itu sudah di­pu­tuskan DPR periode lalu kemudian sudah masuk dalam Undang-undang APBN dan su­dah dibicarakan di BURT yang dihadiri semua fraksi dan di­sah­kan di paripurna,” katanya.

Karena itu, somasi serta gu­ga­tan yang diajukan koalisi LSM untuk pimpinan DPR ti­dak ada gunanya. Menu­rut­nya, saat ini persoalan mengemuka dalam pembangunan gedung baru DPR terkait masalah po­litik.

“Jika ada pihak yang tidak se­tuju, upaya yang bisa dilakukan hanya bisa dilakukan melalui jalur politik bukan jalur hukum. Misalnya dengan unjuk rasa dan penggalangan opini secara besar-besaran,” ujarnya.

Meski begitu, katanya, seha­rus­nya anggota dewan lebih me­m­entingkan persoalan etika daripada mengedepankan ke­inginan pribadi semata. Guru be­sar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yog­ya­kar­ta ini pada dasarnya sangat setuju jika uang sebesar Rp 1,138 Triliun itu digunakan un­tuk mensejahterakan ma­sya­ra­kat atau mengadakan program sosial lain, seperti konsentrasi membangun kebutuhan rumah sederhana yang tak terprogram dengan baik.

“Di Surabaya saja masih ada keluarga yang membangun pemukiman di kuburan umum karena tak mampu membangun gubuk. Masak, gedung DPR yang masih megah harus di­bong­kar dan diganti dengan yang baru,” tandasnya.

 Mahfud menegaskan, DPR jangan menganggap remeh soal aksi demo dan penolakan dari sejumlah LSM. Sebab, kadang­kala gelombang penolakan bisa menyebabkan pembatalan sebuah kebijakan.

Terkait masih adanya dugaan mark-up pembangunan gedung baru DPR oleh ICW, Mahfud menilai, perkara itu diluar kon­teks sah atau tidaknya pem­ba­ngu­nan gedung baru DPR.

“Nah kalau itu, masuk dalam ranah hukum yang lain. Kalau benar ada dugaan mark up pem­bangunan gedung baru DPR maka KPK harus menin­dak­lanjutinya dan menangkap pelakunya,” ucapnya.

Bisa Merusak Citra Parlemen
Ruhut Sitompul, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Ru­hut Sitompul berpendapat bahwa pelaporan yang dila­ku­kan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) ke Komisi Pem­be­­rantasan Korupsi (KPK) terkait adanya dugaan peng­ge­lembungan harga Gedung baru DPR merupakan hal yang ter­lalu berlebihan. Soalnya, apa yang dilakukan oleh DPR sudah sesuai dengan prosedur.

“Pertama laporan ke KPK ha­rus ada bukti yang kuat dengan menyertakan data-data yang va­lid dan bisa dipertanggung ja­wab­kan. ICW saya nilai tidak mengerti apa yang sedang diker­jakan oleh anggota dewan. Makanya pemikiran seorang de­wan dengan aktivis itu ka­dang tak nyambung,” katanya.

Menurut Ruhut, pelaporan itu bisa dikategorikan sebagai tin­dakan merusak citra DPR. Di samping itu, Ruhut menilai de­sakan ICW agar pembanguna gedung baru dibatalkan adalah bentuk ketidakpahaman ICW terhadap kerja anggota dewan.

“Ya kalau begini ceritanya, ini bisa masuk dalam usaha me­rusak citra kami sebagai ang­go­ta dewan,” imbuhnya. Kepada KPK, Politisi Partai Demokrat ini berharap lembaga superbodi itu menelaah laporan ICW sesuai prosedur dan ketentuan yang ada.    

Namun sebaliknya imbuh dia, jika hasil telaah KPK tidak me­­nun­jukkan adanya mark-up, maka ICW bisa diajukan ke ja­lur hukum karena telah me­nu­ding DPR secra tidak benar. “Anca­man hukumannya pidana tu­juh tahun. Makanya jangan main-main dalam melaporkan suatu perkara,” tandasnya.   [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA