Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, La Ode Ida, di Gedung DPD RI, Jakarta (Selasa, 8/2) mengatakan, Indonesia nyaris menjadi negara gagal. Kepemimpinan nasional begitu lemah dalam mengelola negara. Karena merasa prihatin, beberapa orang lintas partai, pengamat dan aktivis akan mendeklarasikan Gerakan Penyelamatan Bangsa.
Satu yang penting dari ciri-ciri
failed state adalah negara tidak bisa menjamin hak-hak rakyatnya, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Institusi-institusi demokrasi juga gagal dipertahankan. Dari segi tata negara, kapan negara itu tidak dapat memenuhi perintah konstitusi, maka negara itu disebut negara gagal atau minimal nyaris gagal.
"Kita lihat saja soal Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sampai sekarang tidak tuntas padahal itu perintah konstitusi. Setiap orang berhak mendapat kehidupan layak dan jaminan kesehatan dan keamanan. Apakah kita resah dan tidak nyaman? Itu berarti kita berada dalam negara gagal," ujar pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, kepada
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Rabu, 23/3).
Indikasi paling mutakhir untuk menilai Indonesia sebagai negara dalam ancaman kegagalan ada penagakan hukum yang tidak bisa dinalar.
"Bagaimana bisa ada yang disuap sudah ditahan, tapi tidak ada penyuap? Bagaimana bisa seorang terdakwa menyebutkan aliran uang di pengadilan, tapi KPK tidak bisa telusuri uang iti kemana saja," ungkapnya prihartin.
Selanjutnya, saat ini ada ratusan ijin pemeriksaan terhadap Gubernur, Bupati, Walikota yang tidak kunjung diturunkan oleh Presiden. Padahal, di dalam konstitusi dinyatakan jelas bahwa Indonesia adalah negara hukum.
"Di pasal 1 ayat 3 dan Pasal 28 i ayat 5 UUD 45, kita nyatakan diri sebagai negara hukum demokratis. Berarti seharusnya hukumnya bisa dinalar. Negara hukum itu harus bisa berikan harapan hidup yang layak," tegasnya.
[ald]