“Reshuffle kabinet harus segera dilakukan mengingat gaya pemerintahan saat ini sudah sulit menghadang kompleksitas masaÂlah di berbagai bidang sosial, politik dan ekonomi,’’ kata bekas Menneg Pendayagunaan BUMN, Tanri Abeng, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Menurut pakar manajemen itu, SBY perlu memperbaiki manajeÂmen akuntabilitas pemerintahan. Seperti tumpang tindihnya koÂmisi dan lembaga negara dan menghilangkan kepentingan politik transaksional.
“Masalah negara tidak hanya pada eksekutif lembaga kepreÂsidenan. Legislatif juga tanggung jawab,†ujarnya.
Berikut kutipan wawancara dengan “manajer 1 miliar†itu:
Kenapa Anda mendesak reÂshuffle kabinet?
Kredibilitas Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II sudah menjadi tanda tanya yang sulit dipulihkan. Rumus manajemen, pemimpin hanya akan sebaik orang-orang yang dipilihnya serta diberdayaÂkannya.
Makanya, Presiden jangan ragu. Cepat lakukan reshuffle karena eksekutif harus terdepan dari legislatif dan yudikatif dalam mengatasi masalah yang makin kompleks.
Mengapa harus menteri yang diganti?
Kebaikan Presiden sangat terÂgantung kinerja menteri. Kalau pembantunya jelek, pasti PresiÂden jadi sasaran tembak. Nah, komposisi di kabinet menurut saya harus segera dirubah. KhuÂsusnya praktik manajemen keÂpemimpinan Presiden SBY.
Versi Anda, kesalahan menÂteri-menteri di mana saja?
Beberapa menteri sekarang gagal menjabarkan dan mengimÂplementasikan visi Presiden SBY. Juga tidak memiliki kemampuan manajerial dan leadership yang teruji untuk menggerakkan instiÂtusinya secara efektif.
Belum lagi loyalitasnya yang beÂrat ke parpolnya masing-maÂsing. Kalau tidak dibongkar, PreÂsiden SBY akan terjerumus dalam leadership force principle, yang membutuhkan kekuatan luar biasa untuk mengatasi conflicts of interests dalam kabinetnya.
Anda bilang pola manajemen keÂpemimpinan SBY juga perlu dirubah, seperti apa itu?
Praktik manajemen kepemimÂpinan SBY terlalu bersayap dan kurang memanfaatkan mekanisÂme jalur lini dari para menterinya. Pembentukan begitu banyaknya komite, satuan kerja di samping staf khusus, tidak saja mengaburÂkan akuntabilitas para pembantu Presiden yang berada pada garis lini, tapi juga mengurangi efektiÂvitas komunikasi. Substansi konÂtennya bisa kabur dan berubah karena panjangnya jalur komuÂnikasi.
Punya contoh manajemen terÂlalu bersayap dan kurang meÂmanÂfaatkan jalur lini menteri?
Saya mendengar beberapa menteri mulai kesulitan menemui Presiden secara langsung. KonÂsekuensinya, koordinasi menjadi buruk dan kerja sama tidak efektif khususnya untuk mengatasi maÂsalah-masalah yang mendesak di sektor ekonomi, sosial, dan keaÂmanan yang langÂsung dirasaÂkan oleh masyarakat.
Bukankah Presiden sering menggelar pertemuan, raker dan sejenisnya?
Itu umum, tentu berbeda bila berÂtemu secara khusus. KomuniÂkasi langsung dengan Presiden selain cepat dan tepat membahas sesuatu, juga dapat memotivasi menteri lebih baik lagi. Ini riil karena beberapa menteri saya dengar sudah malas, kelelahan, dan kurang bersemangat. DemiÂkian pula dengan Kapolri, Jaksa Agung. Mereka selevel menteri, harus punya akses terbuka deÂngan Presiden.
Apa maksudnya akses terÂbuka?
Pembentukan begitu banyakÂnya komite, satuan kerja disamÂping staf khusus, tidak saja mengaburÂkan akuntabilitas para pembantu Presiden yang berada pada garis lini, tapi juga mengurangi efektiÂvitas komunikasi. Substansi kontennya bisa kabur dan berubah karena panjangnya jalur komuniÂkasi. Lagipula, bagaimana ceritaÂnya seorang menteri bisa diperinÂtah staf khusus.
Nampaknya ada kevakuman pengelolaan negara?
Benar. Presiden SBY telah diÂpilih oleh rakyat dan karenanya harus memanajemen akuntabiliÂtasÂnya kepada rakyat pula. NaÂmun, praktiknya, management never operates in vacuum. PenyeÂlenggara negara itu termasuk di dalamnya adalah lembaga ekseÂkutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam proses politik dan pemeÂrintahan, peran legislatif dan eksekutif khususnya, haruslah balance dan bersinergi positif. Masalah negara bukan hanya pada lembaga kepresidenan tapi juga legislatif.
Presiden sudah memÂbuka keÂran demoÂkrasi keÂpada semua eleÂmen, apaÂkah itu tidak cuku?
Buat apa kalau akhirnya meÂnyuburkan praktik politik tranÂsakÂsional. Pola manajemen kepeÂmimpinan SBY hanya akan berÂmakna apabila anggota kaÂbinet benar-benar komÂpeten, loyal, trustable dan akuntabel.
Kalau saya PreÂsiden, saya langÂsung pecat menteri yang ‘main’ dua kaki. Sebaiknya, kumpulan Setgab Parpol Koalisi harus dibubarkan. Hanya bikin rumit. Padahal bisa sederhana antara Presiden dan pembantu-pembanÂtunya saja.
Apa ini gara-gara terlalu diÂdominasi politisi?
Betul. Pemimpin Indonesia saat ini didominasi politisi, bukan negarawan. Makanya, tidak aneh bila kinerja institusi sekuat apa pun bisa menjadi sangat lemah karena kepentingan politik yang diutamakan.
Bila negara ini ingin maju, maka harus dimunculkan para negarawan. Seorang negarawan akan selalu berpikir dan bekerja untuk membangun sistem, dalam hal ini memperkuat institusi, menyempurnakan aturan hukum, dan menyiapkan regenerasi.
Apa yang harus dilakukan pemerintah menghadapi PeÂmilu 2014?
Mengingat SBY tidak akan dicalonkan lagi sebagai presiden 2014, maka kinilah saatnya memÂpersiapkan suksesi kepemimÂpinan bangsa secara sehat, fair dan menuntun proses pemilihan kepemimpinan normal yang transformasional sesuai tuntutan reformasi. [RM]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: