WAWANCARA

Yorrys Raweyai: Satgas Kok Masuk Ranah Pro Justicia

Jumat, 17 Desember 2010, 06:54 WIB
Yorrys Raweyai: Satgas Kok Masuk Ranah Pro Justicia
Eksistensi dan peran Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto mulai disorot. Ketua DPP Golkar, Yorrys Raweyai menilai, eksistensi Satgas semakin menggerus citra, legitimasi dan konsistensi penegakan hukum.
Kata dia, betapa tidak, lem­baga yang dibentuk dan ditan­datangani oleh Presiden pada 30 Desember 2010 dengan Keppres No. 37 ta­hun 2009 tersebut lebih menam­pakkan sisi manuver politis ke­tim­bang upaya pem­ba­ngunan sistem penegakan hu­kum. Sisi politis itu sangat te­rang dan kasat mata diopera­si­kan lewat pencip­taan opini pu­blik yang cenderung menyu­dutkan pihak tertentu.

“Di bawah kuasa lingkaran ke­kuasaan, operasi Satgas tidak sekadar mengemban tekad besar pemerintahan SBY-Boediono untuk memberantas gurita prak­tik mafia hukum, tapi juga mengon­trol, mengendalikan dan menen­tu­kan pihak-pihak yang dipan­dang terlibat dalam praktik mafia hukum. Satgas bahkan te­lah me­masuki ranah pro justi­cia dengan melakukan peninda­kan hukum yang justru secara khusus meru­pakan wewenang institusi ke­poli­sian, kejaksaan dan KPK,” kata­nya, kemarin. Berikut wa­wan­­cara seleng­kapnya.

Apa yang salah dengan Sat­gas?
Situasi darurat hukum yang mendera upaya penegakan hu­kum telah mencuatkan peran Satgas yang justru mengambil alih kewenangan institusi pene­gak hukum. Bukan hanya kewe­nangan Satgas yang hanya se­batas memberi rekomendasi dan melakukan koordinasi deng­an pihak kepolisian, kejaksaan atau KPK, tapi juga sangat ter­libat aktif dalam menginisiasi pihak-pihak yang bahkan tidak terbukti melakukan praktik ma­fia hukum.

Ada buktinya?
Tidak sulit untuk membukti­kan pandangan tersebut. Kisruh kasus mafia pajak yang mem­po­pu­lerkan Gayus Tambunan sebagai aktor utama, tidak lepas dari ma­nuver Satgas. Sejak insi­den per­temuan Gayus dengan Satgas yang diwakili oleh Denny Indra­yana dan Mas Ahmad San­tosa di Singapura, aroma ske­nario politi­sasi begitu me­nye­ngat pen­ciuman publik. Apalagi sebelum perte­muan tersebut, Satgas telah mela­kukan peme­riksaan terhadap Gayus pada 19, 22 dan 24 Maret 2010. Bahkan saat Gayus ditahan di Rumah Tahanan Mako Kelapa Dua, Depok, setelah ia kembali dari Singapura, Satgas pun turut ter­libat dalam prosesi penyi­dikan.

Lima kali pertemuan antara Satgas dan Gayus cukup me­nga­burkan arah dan konsisten­si pe­negakan hukum. Seberapa besar kewenangan yang dimi­liki Sat­gas yang mengizinkan lembaga ter­sebut melakukan dan meng­hadiri proses pro justicia? Bu­kan­­kah peraturan perundang-perun­dang cukup jelas dan tegas mem­beri­kan hak pro justicia hanya kepada institusi-institusi penegak hu­kum?

Kan sudah jelas tugas dan pe­ran Satgas dalam Keppres...
Cukup tegas dise­but­kan bah­wa Keppres mem­beri ke­we­na­ngan ke­pada Sat­gas ti­dak lebih dari ke­we­na­ngan untuk me­la­kukan koor­­dinasi, rekomen­dasi, eva­luasi, pe­mantauan, per­bai­kan, pencega­han hingga pem­ba­ngu­nan sistem pelayanan hukum bagi masya­ra­kat yang bebas dari  mafia hu­kum. Satgas tidak ber­fungsi se­perti lembaga pene­gak hukum yang sudah ada, khusus­nya lem­baga-lembaga yang ber­we­nang melakukan penyidikan.

Jika demikian, sulit dimung­kiri, keberadaan Satgas Mafia Hukum tidak lebih sebagai lip service pe­merintah dalam meres­pons ke­resahan dan ke­gelisahan masya­rakat terhadap ma­rak­nya praktik mafia hu­kum. Namun kon­­disi terse­but tidak ber­arti ha­rus me­mun­­cul­kan “pahla­wan ke­siangan” yang justru ber­­peran memperbaiki sistem pe­ne­gakan hukum dengan me­langgar hukum itu sendiri.

Kesan itu terlihat lewat apa?
Ironisnya, Satgas meleburkan diri dalam opini publik yang ter­cipta lewat pemberitaan media massa yang tidak cukup memi­liki bukti. Berbagai imajinasi negatif, spekulatif dan sangat sen­timentil juga mengaitkan pe­lesiran Gayus ke Bali dengan kemungkinan per­temuan Gayus dengan Aburizal Bakrie. Alasan­nya pun sangat sederhana, ka­rena pada Sabtu, 6 November 2010, Aburizal Bakrie juga ke­betulan sedang berada di Bali.

Sebuah logika hukum yang sulit diterima akal sehat, apalagi jika logika tersebut disandarkan pada prosedur hukum yang memiliki logika yang pasti, jelas dan faktual. Kesaksian Denny Indrayana dalam persidangan kasus Gayus bahkan menambah kesan tujuan Satgas untuk me­nyu­dutkan pihak Bakrie. Kesak­sian tersebut didasarkan atas operasi pro justicia yang dilaku­kan Denny Indrayan dan Mas Ahmad Santosa. Produk pro justicia itulah yang mengemuka saat Denny menyinggung testi­moni Gayus dalam beberapa pertemuan dengan Satgas, yang secara khusus menyinggung tiga perusahaan yang tergabung dalam Group Bakrie: PT Bumi Resouces TBK, PT Arutmin dan PT Kaltim Prima Coal.

Apa yang salah dari pernya­taan Denny dan Mas Ahmad?
Sangat disayangkan, Satgas tidak mempertimbangkan kebe­ra­daan ketiga perusahaan seba­gai yang terbuka (TBK), memi­liki laporan keuangan  tranparan dan melalui proses audit oleh auditor independen. Laporan keuangan­nya pun diumumkan per tiga bulan, enam bulan dan ta­hunan. Arus kas perusahaan pun terbuka dengan peruntukan dan sumber­nya yang sangat jelas. Tidak ada yang keliru da­lam hakikat ke­pe­milikan ke­luarga Bakrie, se­jauh ketiga pe­rusahaan tersebut diope­rasikan secara profesional. Selain itu, bukankan sengketa pajak adalah realitas yang lazim, meng­ingat pihak yang memungut dan yang dipungut pajaknya mema­hami aturan yang berlaku. Sele­bihnya, sebagai warga ne­gara, ketiga perusahaan itu telah mela­kukan kewajibannya untuk mem­bayar pajak.

Tapi, saat ini publik resah dengan praktek mafia...
Memang cukup dipahami bahwa praktik mafia hukum telah cukup menciptakan keresahan publik yang begitu besar. Namun, kondisi ini tidak harus membuat Satgas menjadi bagian dari prak­tik tersebut.

Satgas seharusnya menyadari kewenangannya yang serba ter­batas, dengan fungsi pemba­ngu­nan sistem yang lebih bersifat holisitik ketimbang operasi hu­kum dan politik yang bersifat parsial. Karena itulah kebera­daan Satgas dibatasi selama dua tahun. Sebab pembangunan sis­tem di­an­daikan lahir dari se­rang­kaian ka­jian dan evaluasi yang pada gi­liran­nya menghasil­kan re­ko­men­dasi bagi institusi-insti­tusi dan fungsi penegakan hukum.

Seharusnya, Satgas seperti apa?
Kewenangan yang serba ter­ba­tas dan lebih bersifat holistik ter­­sebut seharusnya memiliki mua­tan output pemikiran yang lebih besar dan mencerahkan. Pe­ne­litian dan pene­laahan ter­ha­dap sebuah kasus harus lebih di­da­hulukan, bukan sebaliknya deng­an melakukan operasi khu­sus tanpa dukungan data dan fakta.

Kiranya Satgas Mafia Hukum merupakan produk kegelisahan dan keresahan publik. Publik pun rela dikorbankan anggarannya untuk membiayai kepentingan mereka. Seharusnya Satgas men­jalankan fungsi sesuai dengan tugas dan wewenangnya demi memenuhi harapan dan cita-cita tegaknya supremasi hukum.

Jika Satgas justru hanya me­nambah kegelisa­han dan kere­sahan, maka bukan tidak mung­kin kita patut mem­per­timbangkan kembali kebera­daan lembaga tersebut di masa yang akan da­tang.   [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA