Eksistensi dan peran Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto mulai disorot. Ketua DPP Golkar, Yorrys Raweyai menilai, eksistensi Satgas semakin menggerus citra, legitimasi dan konsistensi penegakan hukum.
Kata dia, betapa tidak, lemÂbaga yang dibentuk dan ditanÂdatangani oleh Presiden pada 30 Desember 2010 dengan Keppres No. 37 taÂhun 2009 tersebut lebih menamÂpakkan sisi manuver politis keÂtimÂbang upaya pemÂbaÂngunan sistem penegakan huÂkum. Sisi politis itu sangat teÂrang dan kasat mata dioperaÂsiÂkan lewat pencipÂtaan opini puÂblik yang cenderung menyuÂdutkan pihak tertentu.
“Di bawah kuasa lingkaran keÂkuasaan, operasi Satgas tidak sekadar mengemban tekad besar pemerintahan SBY-Boediono untuk memberantas gurita prakÂtik mafia hukum, tapi juga mengonÂtrol, mengendalikan dan menenÂtuÂkan pihak-pihak yang dipanÂdang terlibat dalam praktik mafia hukum. Satgas bahkan teÂlah meÂmasuki ranah
pro justiÂcia dengan melakukan penindaÂkan hukum yang justru secara khusus meruÂpakan wewenang institusi keÂpoliÂsian, kejaksaan dan KPK,†kataÂnya, kemarin. Berikut waÂwanÂÂcara selengÂkapnya.
Apa yang salah dengan SatÂgas?Situasi darurat hukum yang mendera upaya penegakan huÂkum telah mencuatkan peran Satgas yang justru mengambil alih kewenangan institusi peneÂgak hukum. Bukan hanya keweÂnangan Satgas yang hanya seÂbatas memberi rekomendasi dan melakukan koordinasi dengÂan pihak kepolisian, kejaksaan atau KPK, tapi juga sangat terÂlibat aktif dalam menginisiasi pihak-pihak yang bahkan tidak terbukti melakukan praktik maÂfia hukum.
Ada buktinya?Tidak sulit untuk membuktiÂkan pandangan tersebut. Kisruh kasus mafia pajak yang memÂpoÂpuÂlerkan Gayus Tambunan sebagai aktor utama, tidak lepas dari maÂnuver Satgas. Sejak insiÂden perÂtemuan Gayus dengan Satgas yang diwakili oleh Denny IndraÂyana dan Mas Ahmad SanÂtosa di Singapura, aroma skeÂnario politiÂsasi begitu meÂnyeÂngat penÂciuman publik. Apalagi sebelum perteÂmuan tersebut, Satgas telah melaÂkukan pemeÂriksaan terhadap Gayus pada 19, 22 dan 24 Maret 2010. Bahkan saat Gayus ditahan di Rumah Tahanan Mako Kelapa Dua, Depok, setelah ia kembali dari Singapura, Satgas pun turut terÂlibat dalam prosesi penyiÂdikan.
Lima kali pertemuan antara Satgas dan Gayus cukup meÂngaÂburkan arah dan konsistenÂsi peÂnegakan hukum. Seberapa besar kewenangan yang dimiÂliki SatÂgas yang mengizinkan lembaga terÂsebut melakukan dan mengÂhadiri proses
pro justicia? BuÂkanÂÂkah peraturan perundang-perunÂdang cukup jelas dan tegas memÂberiÂkan hak
pro justicia hanya kepada institusi-institusi penegak huÂkum?
Kan sudah jelas tugas dan peÂran Satgas dalam Keppres...Cukup tegas diseÂbutÂkan bahÂwa Keppres memÂberi keÂweÂnaÂngan keÂpada SatÂgas tiÂdak lebih dari keÂweÂnaÂngan untuk meÂlaÂkukan koorÂÂdinasi, rekomenÂdasi, evaÂluasi, peÂmantauan, perÂbaiÂkan, pencegaÂhan hingga pemÂbaÂnguÂnan sistem pelayanan hukum bagi masyaÂraÂkat yang bebas dari mafia huÂkum. Satgas tidak berÂfungsi seÂperti lembaga peneÂgak hukum yang sudah ada, khususÂnya lemÂbaga-lembaga yang berÂweÂnang melakukan penyidikan.
Jika demikian, sulit dimungÂkiri, keberadaan Satgas Mafia Hukum tidak lebih sebagai
lip service peÂmerintah dalam meresÂpons keÂresahan dan keÂgelisahan masyaÂrakat terhadap maÂrakÂnya praktik mafia huÂkum. Namun konÂÂdisi terseÂbut tidak berÂarti haÂrus meÂmunÂÂculÂkan “pahlaÂwan keÂsiangan†yang justru berÂÂperan memperbaiki sistem peÂneÂgakan hukum dengan meÂlanggar hukum itu sendiri.
Kesan itu terlihat lewat apa?Ironisnya, Satgas meleburkan diri dalam opini publik yang terÂcipta lewat pemberitaan media massa yang tidak cukup memiÂliki bukti. Berbagai imajinasi negatif, spekulatif dan sangat senÂtimentil juga mengaitkan peÂlesiran Gayus ke Bali dengan kemungkinan perÂtemuan Gayus dengan Aburizal Bakrie. AlasanÂnya pun sangat sederhana, kaÂrena pada Sabtu, 6 November 2010, Aburizal Bakrie juga keÂbetulan sedang berada di Bali.
Sebuah logika hukum yang sulit diterima akal sehat, apalagi jika logika tersebut disandarkan pada prosedur hukum yang memiliki logika yang pasti, jelas dan faktual. Kesaksian Denny Indrayana dalam persidangan kasus Gayus bahkan menambah kesan tujuan Satgas untuk meÂnyuÂdutkan pihak Bakrie. KesakÂsian tersebut didasarkan atas operasi
pro justicia yang dilakuÂkan Denny Indrayan dan Mas Ahmad Santosa. Produk
pro justicia itulah yang mengemuka saat Denny menyinggung testiÂmoni Gayus dalam beberapa pertemuan dengan Satgas, yang secara khusus menyinggung tiga perusahaan yang tergabung dalam Group Bakrie: PT Bumi Resouces TBK, PT Arutmin dan PT Kaltim Prima Coal.
Apa yang salah dari pernyaÂtaan Denny dan Mas Ahmad?Sangat disayangkan, Satgas tidak mempertimbangkan kebeÂraÂdaan ketiga perusahaan sebaÂgai yang terbuka (TBK), memiÂliki laporan keuangan tranparan dan melalui proses audit oleh auditor independen. Laporan keuanganÂnya pun diumumkan per tiga bulan, enam bulan dan taÂhunan. Arus kas perusahaan pun terbuka dengan peruntukan dan sumberÂnya yang sangat jelas. Tidak ada yang keliru daÂlam hakikat keÂpeÂmilikan keÂluarga Bakrie, seÂjauh ketiga peÂrusahaan tersebut diopeÂrasikan secara profesional. Selain itu, bukankan sengketa pajak adalah realitas yang lazim, mengÂingat pihak yang memungut dan yang dipungut pajaknya memaÂhami aturan yang berlaku. SeleÂbihnya, sebagai warga neÂgara, ketiga perusahaan itu telah melaÂkukan kewajibannya untuk memÂbayar pajak.
Tapi, saat ini publik resah dengan praktek mafia... Memang cukup dipahami bahwa praktik mafia hukum telah cukup menciptakan keresahan publik yang begitu besar. Namun, kondisi ini tidak harus membuat Satgas menjadi bagian dari prakÂtik tersebut.
Satgas seharusnya menyadari kewenangannya yang serba terÂbatas, dengan fungsi pembaÂnguÂnan sistem yang lebih bersifat holisitik ketimbang operasi huÂkum dan politik yang bersifat parsial. Karena itulah keberaÂdaan Satgas dibatasi selama dua tahun. Sebab pembangunan sisÂtem diÂanÂdaikan lahir dari seÂrangÂkaian kaÂjian dan evaluasi yang pada giÂliranÂnya menghasilÂkan reÂkoÂmenÂdasi bagi institusi-instiÂtusi dan fungsi penegakan hukum.
Seharusnya, Satgas seperti apa?Kewenangan yang serba terÂbaÂtas dan lebih bersifat holistik terÂÂsebut seharusnya memiliki muaÂtan output pemikiran yang lebih besar dan mencerahkan. PeÂneÂlitian dan peneÂlaahan terÂhaÂdap sebuah kasus harus lebih diÂdaÂhulukan, bukan sebaliknya dengÂan melakukan operasi khuÂsus tanpa dukungan data dan fakta.
Kiranya Satgas Mafia Hukum merupakan produk kegelisahan dan keresahan publik. Publik pun rela dikorbankan anggarannya untuk membiayai kepentingan mereka. Seharusnya Satgas menÂjalankan fungsi sesuai dengan tugas dan wewenangnya demi memenuhi harapan dan cita-cita tegaknya supremasi hukum.
Jika Satgas justru hanya meÂnambah kegelisaÂhan dan kereÂsahan, maka bukan tidak mungÂkin kita patut memÂperÂtimbangkan kembali keberaÂdaan lembaga tersebut di masa yang akan daÂtang.
[RM]