Koruptor Dapat Remisi Penegak Hukum Sakit Hati

Dilema Pemberantasan Korupsi

Minggu, 22 Agustus 2010, 09:48 WIB
Koruptor Dapat Remisi Penegak Hukum Sakit Hati
RMOL. Bagaimana aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim tak sakit hati melihat para koruptor bisa berkurang atau bebas hukuman gara-gara mendapatkan remisi alias potongan hukuman.

Para penegak hukum itu sudah susah payah mencari alat bukti, fakta hukum, dan menemukan pelakunya melalui serangkaian proses hukum, mulai  penerimaan pengaduan masyarakat, penye­lidikan, penyidikan, penuntutan, sampai penjatuhan vonis.

Akibat adanya remisi, hu­kuman penjara berapa lamapun tak membuat jera para koruptor. De­ngan demikian wajar bila pe­negak hukum menjadi tak ber­semangat menangani kasus ko­rupsi, karena sulit diberantas.

Keluhan tersebut diungkapkan sejumlah aparat penegak hukum kepada Rakyat Merdeka, di Ja­karta, belum lama ini.  

Kepala Hubungan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi SP, menilai, pem­berian remisi kepada para ko­ruptor bisa memutuskan sema­ngat pemberantasan korupsi.

“Kalau remisi bebas diberikan kepada para koruptor, mereka pasti akan mengulangi perbu­atannya itu. Jadi, tidak ada efek jera, dan apa jadinya negara ini,” katanya, belum lama ini.

Meski begitu, Johan mengaku, KPK tak bisa berbuat banyak, ka­rena itu merupakan kebijakan pe­merintah. “Itu sudah menjadi ke­wenangan eksekutif dalam hal ini Menkumham. Tapi kalau boleh saya sarankan, lebih baik remisi itu diberikan kepada yang me­mang betul-betul sudah ber­pe­ri­laku baik,” cetusnya.

Salah satu hakim agung di Mahkamah Agung, Salman Lu­t­han menilai pemberian remisi kepada para koruptor itu tidak pas. “Secara pribadi saya ber­pan­dangan tidak pas. Kalau hakim memutuskan yang bersangkutan divonis sekian tahun, sebaiknya jalani saja hukumannya, jangan dapat remisi,” katanya.

Kepala Pusat Penerangan Hu­kum Kejaksaan Agung, Babul Khoir Harahap, mengaku pasrah de­ngan kebijakan pemberian remisi itu karena sudah diatur dalam ketentuan undang-undang.

“Kami di Kejagung pada dasar­nya mengikuti aturan hukum yang berlaku. Hanya saja perlu diingat kasus korupsi perlu peni­laian yang lebih objektif dalam pemberian remisi,” katanya

Direktur Jenderal Lembaga Pe­masyarakatan Kementerian Hu­kum dan Hak Asasi Manusia, Un­tung Sugiyono, mengaku tidak hafal de­ngan narapidana kasus korupsi yang mendapatkan remisi bebas.

“Nama-namanya saya tidak hafal,” katanya.

Untung hanya menyebut, para narapidana tindak pidana korupsi yang mendapat remisi bebas masing-masing satu orang ber­asal dari LP di wilayah Sumatera Barat, dua narapidana dari LP di Sumsel, lima narapidana di LP wilayah Banten, satu orang nara­pidana dari LP di Yogyakarta, satu narapidana dari salah satu LP di Jateng dan seorang lainnya ber­asal dari LP di Sulteng.

Meski demikian, ada pula koruptor yang mendapat batal mendapatkan remisi bebas, kare­na tak mampu membayar denda atau uang penggantinya. Misal­nya, bekas Camat wilayah Be­kasi, Jawa Barat, Ujang Bus­ta­man, narapidana kasus korupsi dana Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Saat dimintai tanggapannya, Ka­lapas Bulak Kapal Bekasi, Bas­manizar menuturkan, yang bersangkutan mendapat remisi bebas, tapi akhirnya batal, karena narapidana kasus korupsi dana BLT itu tidak mampu melunasi alias membayar denda subsider yang telah ditetapkan pengadilan Negeri Bekasi sebesar RP 50 juta.

“Dia harusnya bebas 17 Agus­tus lalu. Tapi karena tak bisa membayar denda subsider, dia harus menebus dengan menjalani tambahan satu bulan masa ta­hanan,” jelasnya.

Tapi ada juga napi kasus ko­rupsi di Lapas Bulak Kapal Bekasi, yang bebas. Misalnya, Tutu Apriyanto  narapidana kasus korupsi proyek Pemerintah Ka­bupaten Bekasi, Krisna SM dan Yusuf terkait ko­rupsi RSUD Ka­bupaten Bekasi, Teguh dan Bam­bang Suproto terkait kasus ko­rupsi pengadaan barang dan jasa di Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD) Bekasi.

Dalam Surat Keputusan Ke­men­kumham RI nomor W.8- 2756. PK0104-2010 yang me­muat daftar narapidana penerima remisi menyebutkan sedikitnya 58.234 narapidana  di Tanah Air men­dapatkan remisi 17 Agustus lalu. Dari total tersebut, 330 di anta­ranya adalah narapidana kasus korupsi yang mendapat kortingan masa hukuman satu sampai enam bulan ditambah 11 narapidana korupsi yang di­nyatakan bebas.

Dalam bundel data itu dise­butkan, para narapidana kasus ko­rupsi yang dapat jatah remisi an­tara lain bekas Deputi Senior Gu­bernur Bank Indonesia Aulia Po­han yang masa hukumannya di­korting selama tiga bulan penjara.

Aulia konco-konconya yang terbelit kasus sama seperti Ma­man Somantri, Bun Bunan Hu­tapea dan Aslim Tadjuddin.

Bekas anggota  DPR yang jadi terpidana kasus ini seperti Hamka Yandhu dan Anthony Z Abidin pun ikut dapat jatah remisi ma­sing-masing dua bulan 20 hari.

Kembali ke Untung Sugiyono, dia juga membenarkan kalau bekas anggota Komisi IV DPR Al Amin Nasution yang terseret kasus korupsi  proyek alih fungsi hutan lindung menjadi pelabuhan Tanjung Api-Api, Sumsel di­ganjar kortingan tiga bulan po­tongan masa tahanan.

Bekas anggota DPR dari Ko­misi Perhubungan, Bulyan Royan yang jadi terpidana kasus suap proyek pengadaan kapal patroli pun mendapat korting masa hukuman dua bulan 20 hari.  

Bekas  Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan yang dijadikan terpidana kasus korupsi penga­daan mobil pemadam kebakaran Pro­vinsi Jabar senilai Rp 30 miliar yang dapat hadiah remisi tiga bulan.

Di luar itu, bekas Kepala Ba­dan Koordinasi Penanaman Mo­dal (BKPM) Theo F Toemion mendapatkan kortingan hukuman tiga bulan.

Kepala Biro Hubungan Masya­karat dan Protokoler Dirjen Lapas Kemenkumham, Chandra, mem­bantah keras terhadap dugaan ketidakberesan pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi.

Menurutnya, banyak reka­pitulasi data terpidana penerima remisi umum II alias bebas pada HUT RI kali ini belum semuanya masuk ke lembaganya. “Masih banyak kan­wil yang belum me­ngirim data­nya,” ucapnya.

“Hadiah Salah Sasaran”
Desmon Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Des­mon Mahesa, menilai, pem­berian remisi kepada koruptor me­ru­pakan kebijakan yang me­lukai rasa keadilan.

“Apa yang diberikan kepada para koruptor itu ibarat hadiah yang salah sasaran,” katanya, belum lama ini.

Menurutnya, pemberian re­misi kepada para koruptor tidak akan memberikan efek jera, justru akan semakin membuka lebar praktik korupsi yang sebesar-besarnya. “Makanya pemerintah harus lebih obyektif dalam memberikan remisi,” ucapnya.

“Aturan Remisi Mesti Diubah”
Marwan Batubara, Koordinator KPKN

Koordinator Komite Pe­nyelamat Kekayaan Negara (KPKN) Marwan Batubara, me­nyesalkan, pemberian re­misi ke­pada para terpidana ko­rupsi ini. Menurutnya, para ko­ruptor ini ti­dak pantas men­da­pat­kan remisi.

“Undang-undang yang me­ngatur tentang remisi ini harus diubah, karena jelas tidak mem­­be­rikan efek jera. Se­ha­rus­nya bukan dikurangi hu­ku­mannya tapi justru diper­berat,” katanya, belum lama ini.

Bekas anggota DPD ini me­ni­lai, pemberian remisi ter­ha­dap na­rapidana kasus korupsi meng­usik rasa keadilan. Dia meminta agar pemberian re­mi­si oleh Men­kum­ham ditengarai do­rongan pihak-pihak tertentu ditinjau ulang.

“Saya khawatir ada tangan-tangan kekuasaan dari luar yang mengatur ini.

Menkumham Patrialis harus bisa memper­tanggung­jawab­kan ini,” tandasnya.  [RM]
  • TAGS

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA