Kerusakan hutan primer akibat ekspansi izin ekstraktif, pembakaran lahan, dan degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) telah menghilangkan fungsi ekologis yang vital. Ribuan warga mengungsi, korban jiwa berjatuhan, infrastruktur runtuh, dan aktivitas ekonomi lumpuh.
Pada saat yang sama, kawasan Timur Indonesia kini menghadapi peningkatan risiko badai tropis dan cuaca ekstrem yang dipicu oleh pemanasan suhu permukaan laut.
Ancaman ini bukan sekadar fenomena meteorologi, tetapi sinyal bahwa krisis iklim semakin nyata, dan bahwa negara gagal menyiapkan mitigasi berbasis sains dan kebijakan hukum yang transparan.
Kegagalan Kebijakan: Regulasi Menjadi OrnamenIndonesia sebenarnya memiliki landasan hukum yang kuat melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang menegaskan prinsip kehati-hatian, tanggung jawab mutlak (strict liability), keterbukaan informasi, serta hak masyarakat melakukan gugatan lingkungan.
Dalam konsiderannya, UU PPLH jelas menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan dilakukan untuk menjamin hak konstitusional warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, serta untuk memastikan bahwa penguasaan sumber daya alam oleh negara harus digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Namun pada praktiknya, norma hukum tersebut kerap mengalami amputasi. Tata kelola lingkungan masih ditentukan oleh lobi perizinan, kepentingan oligarki, dan minimnya transparansi.
Ketika kebakaran hutan berulang di Sumatera, sebagian besar korporasi besar lolos dari jerat hukum atau hanya menerima sanksi administratif yang tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Negara Bisa TegasBeberapa putusan pengadilan sebetulnya menunjukkan bahwa hukum dapat berjalan progresif ketika independensi dijaga:
Putusan Mahkamah Agung No. 1/P/HUM/2017 menegaskan bahwa informasi perizinan dan dokumen lingkungan adalah hak publik yang harus dibuka.
Putusan atas kasus PT Kallista Alam (Rawa Tripa, Aceh) menghukum denda Rp366 miliar sebagai pemulihan ekologis berbasis
strict liability.
Putusan Gugatan Warga Negara terkait polusi udara DKI Jakarta menyatakan pemerintah lalai memenuhi kewajiban konstitusional atas kualitas udara.
Putusan-putusan tersebut harus dijadikan preseden untuk memperluas penegakan hukum ekologis di Sumatera dan wilayah lain.
Kita Sedang Masuk Status Darurat Nasional LingkunganKerusakan ekologis yang memicu banjir, longsor, dan kabut asap di Sumatera serta potensi badai ekstrem di kawasan timur Indonesia membuktikan bahwa:
Mitigasi risiko iklim tidak boleh lagi bersifat reaktif, tetapi wajib ditopang oleh transparansi hukum, sains, dan partisipasi publik.
Jika akses informasi Amdal, izin konsesi, dan peta tata ruang terus diperlakukan seperti dokumen rahasia negara, maka publik akan selalu menjadi korban terakhir.
Agenda Mitigasi yang MendesakPertama. Keterbukaan total dokumen lingkungan dan izin konsesi berbasis digital publik
Kedua. Penegakan
strict liability tanpa kompromi
Ketiga. Moratorium izin ekstraktif di wilayah berisiko tinggi ekologis
Keempat. Pemulihan DAS sebagai prioritas nasional
Kelima. Perencanaan tata ruang berbasis risiko bencana dan perubahan iklim
Keenam. Pembentukan lembaga pengawasan lingkungan independen di luar struktur politik
Ketujuh. Pendidikan dan partisipasi publik sebagai kontrol sosial
Tragedi PermanenNegara tidak boleh menunggu lebih banyak korban untuk baru bertindak. Bencana ekologis hari ini adalah konsekuensi dari keputusan yang dibiarkan salah selama bertahun-tahun.
Jika pengelolaan lingkungan hanya ditentukan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek, maka kehancuran ekologis akan menjadi tragedi permanen.
Transparansi hukum adalah syarat pertama penyelamatan lingkungan. Tanpa transparansi, hukum hanya menjadi dekorasi, dan rakyat akan terus menjadi korban.
Kita wajib mengingatkan negara bahwa kegagalan melindungi hak rakyat atas lingkungan sehat bukan hanya kelalaian administratif, tetapi pelanggaran konstitusi dan kejahatan moral terhadap generasi mendatang.
*Direktur Eksekutif RECHT Institute
BERITA TERKAIT: