Kajian ini menawarkan solusi integratif berupa penyempurnaan mekanisme penetapan status bencana yang lebih cepat dan transparan serta percepatan implementasi One Map Policy (Kebijakan Satu Peta) sebagai dasar hukum tunggal perencanaan tata ruang dan penanggulangan bencana. Rekomendasi kebijakan ini diarahkan untuk mendorong tindakan korektif agar terwujud ketangguhan nasional yang lebih solid.
Krisis Legitimasi dalam Tata Kelola Bencana Nasional
Tata kelola penanggulangan bencana di Indonesia kembali diuji pada peristiwa banjir bandang yang melanda tiga kabupaten di wilayah pegunungan pada awal Desember 2024. Peristiwa yang menyebabkan luapan sungai, keruntuhan jembatan, terputusnya akses logistik, dan pengungsian ribuan keluarga ini tidak segera ditetapkan sebagai bencana nasional oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Keterlambatan ini berdampak langsung pada mobilitas sumber daya bantuan, koordinasi lintas sektor, dan respon terhadap krisis kemanusiaan mendasar seperti kekurangan makanan, air bersih, dan tenaga medis di lokasi bencana. Permintaan maaf publik yang disampaikan Kepala BNPB, yang menyatakan “Saya tidak mengira bencananya sebesar ini,” justru memantik reaksi publik yang masif dan kritis, terekspresikan dalam tren media sosial dengan tuntutan tegas “Satu kata-pecat!”.
Reaksi ini bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan indikator kegagalan institusional dalam memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, khususnya terkait prinsip cepat dan tepat. Konteks ini diperparah dengan laporan Pemerintah Provinsi setempat yang mengungkap ancaman terhadap stabilitas ekonomi regional, khususnya pada jaringan distribusi pangan dan energi, sehingga menempatkan krisis ekologis ini dalam dimensi strategis yang lebih luas terkait ketahanan nasional. Pada saat yang sama, isu tata kelola kehutanan dan kerusakan lingkungan yang menjadi akar kerentanan, seperti yang terlihat dalam kompleksitas kasus Tesso Nilo dan ancaman terhadap ekosistem orang utan Batang Toru, menunjukkan bahwa bencana hidrometeorologi seringkali merupakan puncak dari gunung es tata kelola sumber daya alam yang lemah.
Disfungsi Administratif dan Akar Spasial Kerentanan Bencana
Lambannya penetapan status bencana nasional oleh BNPB dalam peristiwa Desember 2024 mengungkap setidaknya dua lapisan masalah mendalam dalam sistem penanggulangan bencana Indonesia. Lapisan pertama adalah disfungsi dalam mekanisme administratif dan politik penetapan status bencana. Meskipun UU No. 24/2007 memberikan kewenangan kepada BNPB untuk menetapkan status dan tingkat bencana, praktiknya seringkali terjerat dalam birokrasi dan pertimbangan subjektif, seperti pengakuan “tidak mengira” dari pimpinan institusi. Ketidakjelasan kriteria operasional yang objektif, terukur, dan berbasis data real-time menyebabkan respon menjadi lambat dan tidak adaptif terhadap skala kerusakan yang sesungguhnya, sebagaimana dilaporkan aparat lokal tentang penanganan yang tersendat akibat keterlambatan komando nasional.
Lapisan kedua, yang lebih struktural, adalah masalah ketidakpastian dan tumpang tindih data spasial sebagai akar kerentanan. Anggota Komisi IV DPR RI, Slamet, secara tegas mengidentifikasi bahwa akar masalah pada kasus degradasi hutan seperti Tesso Nilo adalah ketidakjelasan peta hutan. Ketidakadaan peta indikatif yang tunggal dan diakui bersama (One Map Policy) menyebabkan ambiguitas dalam mendefinisikan batas kawasan lindung, hutan produksi, dan area permukiman, yang pada akhirnya menghambat perencanaan tata ruang berbasis risiko dan mempersulit identifikasi daerah rawan bencana seperti daerah aliran sungai (DAS).
Kompleksitas ini juga tercermin dalam pembahasan terkait orangutan Batang Toru, di mana Wakil Komisi IV DPR Alex Indra Lukman mempertanyakan kesiapan data dari Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah mengenai kondisi hulu DAS, reboisasi, dan anggaran, yang merupakan elemen kunci dalam mitigasi bencana ekologis jangka panjang.
Penyempurnaan Regulasi dan Konvergensi Data Spasial
Untuk mengatasi masalah ganda tersebut, diperlukan pendekatan solusi yang integratif dan saling memperkuat. Solusi pertama adalah melakukan penyempurnaan regulasi dan prosedur operasi standar (SOP) dalam mekanisme penetapan status bencana. UU No. 24/2007 perlu dijabarkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah atau peraturan kepala BNPB yang menetapkan kriteria kuantitatif dan kualitatif yang eksplisit untuk penetapan status bencana nasional. Kriteria tersebut harus mencakup parameter seperti jumlah korban jiwa dan pengungsi, skala kerusakan infrastruktur vital, dampak ekonomi regional, dan tingkat ketidakmampuan pemerintah daerah, dengan sistem pemantauan dan verifikasi data yang real-time.
Mekanisme ini harus mengurangi ruang untuk penilaian subjektif dan memungkinkan penetapan status yang lebih otomatis berdasarkan ambang batas tertentu, sehingga mempercepat mobilisasi sumber daya nasional. Solusi kedua, yang bersifat fundamental dan jangka panjang, adalah mempercepat implementasi penuh One Map Policy sebagai dasar hukum tunggal untuk tata ruang dan penanggulangan bencana. Kebijakan ini, yang secara hukum didasarkan pada Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta, bertujuan menyinkronkan semua peta tematik sektoral (kehutanan, pertambangan, agraria, dll.) pada satu geoporatal dengan satu referensi, satu standar, dan satu database.
Konvergensi data spasial ini akan memberikan kepastian hukum mengenai batas-batas kawasan, memudahkan identifikasi dan pemetaan daerah rawan bencana, serta menjadi dasar perencanaan mitigasi dan adaptasi yang lebih tepat sasaran, sekaligus mencegah konflik tata ruang seperti pada kasus Tesso Nilo.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan analisis dan solusi yang diuraikan, berikut adalah rekomendasi aksi konkret yang dapat diambil oleh para pemangku kepentingan. Pertama, kepada Presiden Republik Indonesia dan DPR RI, direkomendasikan untuk merevisi atau menerbitkan peraturan pelaksana UU No. 24/2007 yang lebih operasional, khususnya mengatur mekanisme dan timeline penetapan status bencana yang lebih ketat, termasuk sanksi administratif untuk kelalaian. Kedua, kepada Kepala BNPB, selain mengevaluasi internal, perlu segera membentuk tim kerja bersama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk mengintegrasikan peta risiko bencana ke dalam platform One Map Policy, sehingga data ancaman bencana dapat langsung diakses dan menjadi pertimbangan utama dalam setiap keputusan penetapan status.
Ketiga, kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagaimana dibahas dalam rapat dengan Komisi IV DPR pada Kamis, 4 Desember 2024, harus memprioritaskan penyediaan data spasial yang akurat dan terbuka mengenai kondisi hulu DAS, tutupan hutan, dan area yang terdegradasi, seperti yang diminta terkait kasus Batang Toru dan Sumatera secara umum. Keempat, kepada Satuan Tugas Penanganan Konflik Agraria dan Tenurial (Satgas PKH), perlu diperkuat mandatnya untuk menyelesaikan konflik tumpang tindih lahan, seperti di Tesso Nilo, dengan merujuk pada peta indikatif dari One Map Policy sebagai landasan hukum utama. Kelima, transparansi dan akuntabilitas publik harus ditingkatkan dengan melaporkan setiap perkembangan penetapan status bencana dan pemulihan, termasuk alokasi anggaran, kepada publik melalui kanal yang mudah diakses, guna memulihkan kepercayaan masyarakat yang sempat terkoyak oleh insiden Desember 2024.
Refleksi atas Martabat dan Kedaulatan dalam Penanganan Krisis
Insiden keterlambatan penetapan status bencana nasional dan gelombang kekecewaan publik yang menyertainya bukanlah peristiwa yang terisolasi, melainkan gejala dari tantangan tata kelola yang lebih kompleks di negara kepulauan yang rawan bencana seperti Indonesia. Sebagaimana dinilai para pengamat, kelengahan dalam menetapkan status bukan sekadar persoalan administratif, tetapi menyangkut martabat dan kedaulatan negara dalam melindungi ruang hidup rakyatnya.
Dalam konteks persaingan geopolitik Asia Pasifik, ketidaksiapan dan inefisiensi dalam menghadapi ancaman domestik dapat diinterpretasikan sebagai celah strategis yang melemahkan posisi negara. Oleh karena itu, reformasi sistemik yang mengintegrasikan perbaikan mekanisme respons cepat (seperti penetapan status) dengan fondasi perencanaan yang kuat (melalui One Map Policy) menjadi suatu keharusan. Pendekatan ini akan mentransformasi paradigma penanggulangan bencana dari yang reaktif dan dipengaruhi pertimbangan subjektif, menjadi proaktif, berbasis data, dan terukur.
Permintaan maaf Kepala BNPB bisa menjadi titik awal untuk introspeksi nasional, namun yang dituntut publik selanjutnya adalah tindakan korektif yang sistematis dan berkelanjutan. Implementasi penuh One Map Policy dan SOP penetapan status yang jelas merupakan dua sisi dari mata uang yang sama: komitmen negara untuk hadir secara sigap, jujur, dan bertindak preventif sebelum bencana berikutnya terjadi. Hanya dengan ketangguhan institusional yang dibangun atas dasar kepastian hukum dan data yang andal, Indonesia dapat benar-benar memenuhi amanat konstitusi untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya.
Laksamana Muda TNI (Purn) Adv. Dr. Surya Wiranto, SH MH
Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia
BERITA TERKAIT: