Melalui analisis terhadap “sembilan garis putus-putus,” putusan Permanent Court of Arbitration tahun 2016, dan negosiasi Code of Conduct (COC) bersama ASEAN yang masih berlangsung, tulisan ini berargumen bahwa pendekatan China merupakan bentuk strategis dari “lawfare”, penggunaan hukum sebagai instrumen kekuasaan untuk memperluas kontrol dan proyeksi kekuatan, bukan penegakan prinsip hukum. Implikasinya meluas, mengancam stabilitas kawasan, serta tatanan ekonomi dan hukum global.
Dampak Global Hukum Maritim China
Kardon (2023) menegaskan bahwa interpretasi China terhadap hukum maritim bukan sekadar isu regional, tetapi masalah global. Laut Cina Selatan dan perairan sekitarnya menjadi jalur utama perdagangan dunia, menampung sekitar sepertiga dari seluruh perdagangan maritim global (World Bank, 2023).
Rantai pasok teknologi, komoditas penting, dan barang antara bergantung pada tata kelola laut yang stabil di kawasan ini. Kerapuhan sistem tersebut tampak saat pandemi Covid-19 dan insiden kapal Ever Given di Terusan Suez (UNCTAD, 2021), yang menunjukkan betapa rentannya ekonomi dunia terhadap gangguan maritim. Jika pendekatan China, di mana kekuatan politik mengungguli hukum internasional ditiru negara lain, dunia akan menghadapi tatanan laut yang kacau dan kurang damai.
China memang menjadi pihak pada UNCLOS 1982, namun cara pandangnya berbeda dari negara berbasis hukum seperti Amerika Serikat atau Jepang. Bagi Beijing, hukum bukan pembatas, melainkan alat politik untuk memperkuat kepentingan nasional (Zhang, 2020).
Pendekatan ini tampak dalam kepatuhan selektif: menggunakan norma internasional saat menguntungkan, dan mengabaikannya saat membatasi klaimnya. Tradisi fa zhi dalam pemerintahan Tiongkok menempatkan hukum sebagai alat negara, bukan pelindung warga (Peerenboom, 2014). Akibatnya, terjadi gesekan dengan Jepang, Filipina, Vietnam, dan Korea Selatan yang menjadikan UNCLOS sebagai dasar alokasi hak maritim dan sumber daya.
Klaim “sembilan garis putus-putus” China yang mencakup hampir 80% Laut Cina Selatan bertentangan langsung dengan ketentuan UNCLOS tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil laut. Karena wilayah tersebut tumpang tindih dengan ZEE negara lain seperti Filipina dan Vietnam, klaim itu tidak memiliki dasar hukum (Beckman, 2017).
Putusan Permanent Court of Arbitration (PCA, 2016) dengan tegas menolak klaim China dan memenangkan Filipina, namun China menolaknya dan justru memperkuat kehadiran fisiknya dengan membangun pulau buatan, pangkalan militer, dan memperluas patroli maritim, mengganti legitimasi hukum dengan kontrol faktual.
Lawfare dan Penegakan Klaim di Laut
Strategi maritim China memadukan argumentasi hukum dan paksaan militer, sebuah praktik yang disebut lawfare. Melalui klaim kabur, peta resmi, dan patroli berulang, China menormalkan penguasaan wilayah yang secara hukum meragukan tetapi efektif secara strategis (Kardon, 2018).
Contoh nyata terlihat di Scarborough Shoal, di mana sejak 2012 China memberlakukan zona eksklusi hingga 30 mil laut, melampaui batas 12 mil yang diizinkan UNCLOS. Tindakan ini memperlihatkan strategi hibrida yang memadukan diplomasi, regulasi administratif, dan kehadiran koersif.
Code of Conduct dan Perbandingan dengan Amerika Serikat
Negosiasi COC antara China dan ASEAN telah berlangsung lebih dari dua dekade tanpa hasil nyata. Bagi Beijing, proses ini menjadi alat strategis untuk membagi ASEAN, mengulur waktu, dan melindungi dirinya dari kritik global (Thayer, 2022). Hasil akhirnya kemungkinan hanya akan melegitimasi dominasi China dengan dalih “konsensus regional.”
Sebaliknya, Amerika Serikat, meski sering dikritik, memiliki sistem hukum yang mengikat tindakan eksekutif pada prinsip akuntabilitas konstitusional. Sementara di China, Partai Komunis berada di atas hukum, memberikan fleksibilitas strategis tanpa batas.
Masa Depan Tatanan Maritim Dunia
Reinterpretasi China terhadap hukum laut internasional menunjukkan pergeseran berbahaya dari tatanan global berbasis aturan menuju dominasi kekuatan. Jika model ini diikuti negara lain, dunia akan kembali ke era laut yang penuh koersi dan ketidakpastian.
Laut China Selatan menjadi medan uji bagi ketahanan hukum internasional itu sendiri. Pemulihan tatanan maritim yang stabil membutuhkan penguatan mekanisme UNCLOS, peningkatan kapasitas negara-negara pesisir, serta revitalisasi kepercayaan pada penyelesaian sengketa multilateral.
Masa depan perdamaian global akan ditentukan oleh satu hal: apakah laut dikuasai oleh hukum, atau oleh kekuasaan.
Dr. Surya Wiranto, SH MH
Purnawirawan Laksamana Muda TNI, sehari-hari sebagai Penasehat Indopacific Strategic Intelligence (ISI), dan Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Pasca Sarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan, Kadep Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, dan Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS). Kegiatan lain sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator Firma Hukum Legal Jangkar Indonesia.
BERITA TERKAIT: