Menguji Legitimasi Norma Baru dalam Putusan MK

Antara Tafsir Konstitusi dan Pembentukan Norma Hukum

Minggu, 09 November 2025, 00:59 WIB
Menguji Legitimasi Norma Baru dalam Putusan MK
Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi RMOL)
MAHKAMAH Konstitusi (MK) dirancang sebagai the guardian of constitution, bukan the maker of law. Namun dalam perkembangan praktik peradilan, MK tidak hanya menguji norma, tetapi mulai merumuskan ketentuan baru dalam amar putusannya. 
 
Ketika tafsir berubah menjadi norma baru yang mengikat, muncul perdebatan mendasar: apakah hakim konstitusi masih menjadi penafsir, atau sudah menjadi legislator?
 
Contoh Putusan MK yang membentuk norma baru, di antaranya:
 
1. Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 – Pilkada Tidak Lagi Oleh DPRD
 
Awalnya UU Pilkada mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD. MK memutuskan Pilkada adalah rezim pemilu dan harus dipilih langsung oleh rakyat. Implikasinya, MK mengubah sistem politik nasional.
 
Norma baru tidak lahir dari DPR, tetapi dari putusan. Efeknya mengubah arsitektur demokrasi daerah.
 
Ini bukan sekadar membatalkan pasal, tetapi menambahkan model pemilihan baru, padahal tidak ada klausul itu dalam UU.
 
2. Putusan MK No. 100/PUU-X/2012 – Parliamentary Threshold Berlaku Nasional
 
UU Pemilu tidak pernah menyatakan threshold diberlakukan nasional. MK memutuskan bahwa ambang batas suara harus dihitung secara nasional untuk semua dapil.
 
Konsekuensinya, partai yang memiliki kursi di daerah tertentu tetapi tidak mencapai ambang nasional gugur.
 
MK menciptakan formula politik yang tidak disusun oleh pembuat UU. Ini jelas pembentukan norma elektoral baru, bukan sekadar menguji pasal.
 
3. Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 – Hutan Adat Bukan Lagi Hutan Negara
 
UU Kehutanan menyebut hutan adat bagian dari hutan negara. MK mengubah menjadi: hutan adat adalah milik masyarakat hukum adat.
 
Konsekuensinya, status kepemilikan berubah. Kewenangan pemerintah beralih. Norma baru muncul tanpa revisi undang-undang.
 
Putusan ini baik secara keadilan sosial, tetapi secara desain hukum mengubah substansi UU.
 
4. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 – Status Anak Luar Kawin
 
UU Perkawinan hanya mengakui hubungan perdata anak luar kawin dengan ibunya. MK menambahkan hubungan keperdataan dengan ayah biologis melalui pembuktian ilmiah/DNA.
 
Muncul norma baru: Hak waris, perwalian, nafkah dan tanggung jawab hukum. Tidak ada satu pun frasa tersebut berada dalam UU Perkawinan. Norma tersebut murni lahir dari putusan hakim MK.
 
5. Putusan MK No. 13/PUU-XV/2017 – Syarat Usia Perkawinan
 
UU menetapkan usia minimal perkawinan perempuan 16 tahun. MK menyatakan ketentuan itu inkonstitusional, dan menambahkan kewajiban negara menaikkan usia minimum. Ini bukan pembatalan saja MK mewajibkan DPR mengubah norma, dan setelah putusan itu, UU Perkawinan direvisi.
 
Di Titik Ini, MK Tidak Lagi “Negative Legislator”
 
Hans Kelsen membedakan Negative legislator – membatalkan norma tanpa membuat pengaturan baru. Positive legislator – menulis norma baru.
 
Contoh di atas menunjukkan MK sudah masuk ke wilayah positive legislation, padahal Indonesia menganut civil law system, di mana norma hukum disusun oleh legislator, bukan hakim.
 
Risiko Konstitusional
 
Karena putusan MK final dan mengikat, tidak dapat dibanding, tidak dapat diuji ulang, maka ketika MK menciptakan norma baru. Tidak ada mekanisme koreksi, tidak ada proses musyawarah di DPR, tidak ada naskah akademik, dan tidak ada partisipasi publik.
 
Sebuah norma mengikat seluruh bangsa hanya dibentuk oleh 9 hakim tanpa legitimasi elektoral.
 
Potensi Politik di Baliknya
 
Jika praktik ini menjadi preseden: pihak dan/atau partai politik yang gagal melobi DPR cukup menguji UU ke MK.
 
MK dapat mengamandemen desain hukum negara lewat tafsir. Tarik-menarik kepentingan bergeser dari parlemen ke ruang sidang. Demokrasi berubah dari parliamentary deliberation menjadi judicial shortcut.
 
Jalan Keluar: Mengawasi, Bukan Melemahkan
 
Solusinya bukan mengebiri MK, tetapi menegakkan batas kewenangan: (a) Legislative Review. Jika MK membuat norma, DPR berhak menata ulang melalui revisi UU. (b) Parameter Tafsir dalam UU MK. Batas jelas kapan hakim boleh bersifat konstruktif, kapan tidak. (c) Kode etik tafsir konstitusi. Mencegah aktivisme peradilan menjadi kepentingan politik.
 
Konstitusi dibangun atas asas pemisahan kekuasaan. Ketika hakim dapat menulis norma, ketika peradilan dapat mengubah sistem politik, ketika hukum lahir tanpa legislasi, maka kita tidak lagi berada pada negara hukum yang bertumpu pada undang-undang, tetapi negara hukum yang bertumpu pada tafsir personal hakim. MK harus menjaga konstitusi. Tetapi MK juga wajib taat pada batas konstitusi itu sendiri. rmol news logo article
 
Kenny Wiston
Advokat
 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA