Naskah akademik ini menganalisis dinamika krisis melalui lensa hukum humaniter internasional, doktrin rules of engagement (ROE), dan realpolitik kawasan. Dengan pendekatan kualitatif analitis, naskah ini menyimpulkan bahwa insiden ini tidak hanya mengancam langsung keselamatan pasukan perdamaian tetapi juga meruntuhkan prinsip netralitas dan ASEAN Centrality dalam politik luar negeri Indonesia, sehingga memerlukan respon diplomatik yang masif dan restrukturisasi strategi kontingen di medan konflik kompleks.
Sebuah Critical Juncture dalam Diplomasi dan Militer Indonesia
Konteks operasi United Nations Peacekeeping Forces (UNPKF) di Jalur Gaza telah lama berlangsung dalam lingkungan yang secara inheren volatil, ditandai dengan siklus kekerasan antara aktor negara dan non-negara yang tak kunjung reda. Keberadaan pasukan penjaga perdamaian, termasuk Kontingen Garuda Indonesia dari TNI, dalam struktur misi PBB berfungsi sebagai stabilisator sementara dan perangkat conflict mitigation di tengah vakumnya resolusi politik yang berkelanjutan. Landasan hukum operasi mereka bersumber dari mandat spesifik Dewan Keamanan PBB, yang secara teoritis menjamin perlindungan di bawah Konvensi Jenewa namun dalam praktiknya sering kali diuji oleh realitas di lapangan yang ambigu.
Insiden pada tanggal 15 Oktober 2023, yang melibatkan baku tembak mematikan antara unit TNI dan Israel Defense Forces (IDF), telah secara dramatis menggeser paradigma operasi ini dari misi pemelihara perdamaian menjadi pihak yang terlibat langsung dalam konflik. Insiden ini tidak terjadi dalam ruang hampa; ia merupakan puncak dari ketegangan yang terakumulasi di sektor utara Gaza, dimana pasukan perdamaian semakin sering terjepit antara kewajiban untuk melindungi warga sipil Palestina dan tekanan operasional dari patroli militer Israel yang intensif.
Situasi ini memperlihatkan dengan jelas titik patah dalam model perdamaian tradisional PBB ketika berhadapan dengan konflik asimetris dan aktor negara dengan kapabilitas militer superior yang mempertanyakan legitimasi mandat internasional. Dengan demikian, insiden TNI-IDF ini bukan sekadar sebuah baku tembak biasa, melainkan sebuah critical juncture yang berpotensi membentuk ulang seluruh arsitektur keamanan dan diplomasi di kawasan Timur Tengah, serta menempatkan Indonesia pada posisi yang delicately balanced antara mempertahankan prinsip konstitusionalnya untuk membela kemerdekaan dan perdamaian dunia dengan menghindari keterjerumusan into an all-out conflict yang tidak diinginkan.
Membongkar Akar Krisis: Pelanggaran HAM, ROE, dan Deklarasi Perang
Analisis mendalam terhadap akar masalah insiden ini harus dimulai dari preseden dugaan pelanggaran Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law/IHL) oleh personel IDF, yang dilaporkan tengah melakukan penyiksaan terhadap warga sipil Palestina sebelum intervensi pasukan TNI. Tindakan TNI yang kemudian melakukan penangkapan berdasarkan mandat perlindungan warga sipil (civilian protection mandate) dalam kerangka Chapter VII Piagam PBB sebenarnya memiliki dasar hukum yang kuat, namun eskalasi yang berujung pada baku tembak menimbulkan pertanyaan kompleks mengenai interpretasi dan implementasi Rules of Engagement (ROE) yang berlaku bagi kontingen Indonesia.
ROE sebagai doktrin operasional yang mengatur syarat-syarat penggunaan kekuatan, dalam situasi ini diuji ketegasannya menghadapi ancaman langsung yang berasal dari pasukan negara berdaulat, sebuah skenario yang jarak jauh lebih rumit dibandingkan dengan konfrontasi dengan kelompok bersenjata non-negara. Respons politik Israel yang serta-merta menyatakan "perang" terhadap pasukan TNI Penjaga Perdamaian, meski secara hukum internasional merupakan tindakan yang sangat tidak lazim dan provokatif, mencerminkan narasi domestik dan postur strategis Israel yang tidak mentolerir gangguan terhadap operasi keamanannya di Gaza dari pihak manapun, termasuk entitas yang bernuansa PBB.
Deklarasi ini, yang disampaikan secara terbuka oleh Perdana Menteri Israel pada 16 Oktober 2023, secara efektif mendelegitimasi status kekebalan dan netralitas pasukan PBB dan mentransformasikan mereka dari penengah menjadi sasaran sah (lawful target) dalam persepsi militer Israel, sebuah langkah yang secara drastis meningkatkan potential lethalitas situasi dan memicu siklus balasan yang tak terhindarkan.
Postur Siaga Penuh, Signaling Capability, dan Ancaman Hybrid Warfare
Respons operasional TNI pasca-deklarasi konfrontasi dari Israel menunjukkan sebuah pergeseran taktis dari postur defensif konvensional menuju deterrence-based defense posture yang diaktifkan melalui peningkatan status menjadi siaga penuh dan mobilisasi aset-aset militer taktis. Penggelaran drone pengintai domestik, kendaraan lapis baja ANOA, dan Panser Komodo ke posisi strategis di sekitar perimeter Rafah dan Gaza utara bukan hanya merupakan langkah defensif murni, melainkan juga sebuah sinyal kapabilitas (signaling capability) kepada pihak IDF bahwa setiap langkah ofensif akan dihadapi dengan kemampuan balasan yang signifikan.
Gangguan elektromagnetik terhadap jaringan komunikasi satelit TNI yang berlangsung selama hampir tiga puluh menit pada malam tanggal 17 Oktober 2023, yang diduga kuat berasal dari sistem electronic warfare (EW) Israel, lebih jauh mengonfirmasi bahwa konflik telah memasuki ranah hybrid warfare yang melampaui pertempuran konvensional. Insiden gangguan komunikasi ini secara operasional membahayakan koordinasi pasukan dan secara strategis memperlihatkan kerentanan logistik pasukan perdamaian dalam menghadapi negara dengan teknologi militer maju.
Di tengah eskalasi ini, pernyataan Panglima TNI untuk "tidak ragu-ragu" dan "gunakan hard power" harus dipahami dalam kerangka mempertahankan deterrence credibility dan moral pasukan di lapangan, meskipun secara diplomatik pernyataan bernada konfrontatif seperti itu berisiko mempersulit manuver politik luar negeri Indonesia di fora internasional seperti PBB dan Dewan Hak Asasi Manusia.
Merancang Jalan Keluar
Solusi dan langkah aksi untuk meredakan krisis ini harus dijalankan secara simultan pada tiga level: taktis, operasional, dan strategis. Pada level taktis di lapangan, pembukaan saluran komunikasi deconfliction yang langsung dan berkelanjutan antara Komando Kontingen TNI dan Komando Regional IDF, meskipun sangat sulit dalam suasana permusuhan, merupakan sebuah keharusan mutlak untuk mencegah salah paham yang dapat memicu baku tembak kedua.
Pada level operasional, PBB harus segera merevisi dan mempertegas ROE untuk semua kontingen perdamaian di Gaza, dengan penjelasan yang eksplisit dan terperinci mengenai hak dan kewajiban ketika berhadapan dengan pasukan negara yang dianggap melakukan pelanggaran IHL, sehingga memberikan legal backing yang lebih kokoh bagi tindakan pasukan di masa depan.
Sementara pada level strategis, Pemerintah Indonesia harus memimpin inisiatif diplomatik yang agresif, antara lain dengan meminta diadakannya emergency session Dewan Keamanan PBB untuk membahas pelanggaran netralitas pasukan perdamaian dan mendorong diterbitkannya resolusi yang mengecam tindakan Israel serta menjamin perlindungan bagi pasukan TNI. Secara paralel, diplomasi jalur kedua melalui organisasi seperti Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan Gerakan Non-Blok (GNB) harus dioptimalkan untuk membangun koalisi tekanan politik internasional yang luas, sambil tetap berpegang pada prinsip ASEAN Centrality yang menekankan penyelesaian sengketa secara damai, meskipun prinsip ini dihadapkan pada ujian berat ketika salah satu anggotanya secara langsung terancam.
Jembatan Prinsip Kemanusiaan dan Kepentingan Keamanan Nasional
Implementasi dari serangkaian aksi tersebut menghadapi kendala geopolitik yang sangat signifikan, terutama menyangkut posisi Amerika Serikat sebagai sekutu utama Israel yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB. Hal ini membuat probabilitas terbitnya resolusi PBB yang bersifat mengecam secara tegas dan mengikat menjadi sangat rendah, sehingga opsi terbaik bagi Indonesia mungkin terletak pada upaya membentuk coalition of the willing di luar struktur formal DK PBB, didukung oleh negara-negara seperti Mesir, Qatar, dan Norwegia yang memiliki pengaruh dalam proses perdamaian Israel-Palestina.
Secara domestik, Pemerintah Indonesia juga perlu melakukan strategic review menyeluruh terhadap partisipasinya dalam misi perdamaian di zona konflik high-intensity, dengan mempertimbangkan faktor proteksi kekuatan, kecukupan alutsista pendukung, dan kejelasan mandat politik yang dapat diterima semua pihak. Krisis ini juga menjadi momentum untuk mempercepat modernisasi sistem Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, Surveillance and Reconnaissance (C4ISR) TNI, agar memiliki ketahanan dan kemandirian yang lebih besar terhadap gangguan elektronik dan siber dari pihak lawan.
Langkah-langkah ini, meskipun tidak serta merta menyelesaikan konflik inti Israel-Palestina, setidaknya dapat menciptakan firebreak yang mencegah eskalasi insiden TNI-IDF ini berubah menjadi sebuah konflik terbuka berskala besar yang akan melibati lebih banyak aktor regional dan internasional, dengan konsekuensi yang tidak terprediksi bagi stabilitas global.
Belajar dari Gaza untuk Grand Strategy Indonesia di Masa Depan
Penutup dari analisis ini menyimpulkan bahwa insiden tembak-menembak antara TNI dan IDF di Gaza merupakan sebuah preseden berbahaya yang mengaburkan batas tradisional antara pasukan perdamaian dan kombatan dalam konflik modern. Krisis ini telah menempatkan Indonesia pada sebuah persimpangan strategis, di mana komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan dan pembelaan terhadap warga sipil harus dipertimbangkan secara hati-hati dengan risiko keamanan nasional yang nyata dan stabilitas kawasan.
Keteguhan prajurit TNI di garis depan, yang berpedoman pada prinsip "menegakkan kemanusiaan adalah garis yang tidak bisa ditawar," patut diapresiasi, namun harus diikuti dengan dukungan diplomasi yang cerdas dan infrastruktur militer yang tangguh di tingkat global. Pelajaran terpenting dari peristiwa ini adalah bahwa model misi perdamaian PBB harus beradaptasi dengan realitas konflik kontemporer di mana pasukan perdamaian tidak lagi dianggap imun oleh semua pihak, dan bahwa negara penyumbang pasukan seperti Indonesia harus memiliki strategi exit plan dan escalation management yang jelas.
Keberlanjutan partisipasi Indonesia dalam misi semacam ini akan sangat bergantung pada kemampuan bangsa ini untuk merefleksikan peristiwa ini, memperkuat kapasitasnya, dan terus memperjuangkan tatanan internasional yang berdasarkan hukum, bukan kekuatan semata. Bendera Merah Putih yang masih berkibar di Gaza adalah simbol dari komitmen itu, tetapi kelangsungannya memerlukan lebih dari sekadar tekad, yaitu sebuah grand strategy yang komprehensif dan visioner.
Dr. Surya Wiranto, SH MH
Purnawirawan Laksamana Muda TNI, Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia–Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia.
BERITA TERKAIT: