Pengangkatan tiga Wakil Menteri Dalam Negeri tersebut kembali menimbulkan pertanyaan publik: seberapa mendesakkah jabatan tersebut dalam konteks efisiensi birokrasi dan penghematan anggaran negara?
Secara administratif, argumentasi beban kerja yang tinggi di Kementerian Dalam Negeri bisa dipahami. Urusan pemerintahan daerah, kependudukan, hingga stabilitas politik dalam negeri memang luas dan kompleks.
Namun, pengangkatan hingga tiga wakil menteri dalam satu kementerian cenderung tidak proporsional, mengingat fungsi-fungsi teknis tersebut sebenarnya bisa diemban oleh direktorat jenderal atau pejabat struktural eselon I.
Dari sudut pandang anggaran, penambahan jabatan politik justru kontraproduktif dengan semangat efisiensi yang digaungkan pemerintah.
Biaya operasional wakil menteri?"termasuk gaji, fasilitas, dan staf pendukung?"jelas menambah beban fiskal yang tidak kecil, apalagi di tengah upaya pengendalian belanja negara.
Secara politik, langkah ini bisa dilihat dalam kerangka patronase dan politik koalisi. Penempatan jabatan elit kerap kali menjadi instrumen untuk merawat dukungan politik dan membalas jasa.
Ini mencerminkan praktik politik patron-klien, bukan meritokrasi teknokratik sebagaimana dicita-citakan reformasi birokrasi.
Apabila birokrasi terus dijejali jabatan politis tanpa urgensi fungsional yang jelas, kita sedang menyaksikan kemunduran prinsip rasionalitas birokrasi ala Max Weber, yang mengedepankan efisiensi, hierarki, dan kompetensi.
Penambahan posisi wakil menteri seharusnya menjadi pengecualian, bukan kebiasaan. Pemerintah perlu memberi contoh dengan menahan diri dari pemborosan politik, dan sebaliknya memperkuat birokrasi profesional yang ramping namun efektif.
Di era tuntutan transparansi dan akuntabilitas, rakyat berhak mendapatkan birokrasi yang tidak hanya melayani, tetapi juga hemat dan berintegritas.
Selamat Ginting Pengamat Politik Universitas Nasional (Unas)
BERITA TERKAIT: