Titik Balik Tatanan Dunia

Kamis, 09 Oktober 2025, 06:55 WIB
Titik Balik Tatanan Dunia
Ilustrasi. (Foto:iStock)
PADA 2025, dunia dikejutkan oleh keputusan tujuh negara Asia yakni Tiongkok, Rusia, Iran, Korea Utara, Suriah, Myanmar, dan Afghanistan yang secara hampir bersamaan memutus hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat. Langkah kolektif ini menandai pergeseran strategis menuju konfigurasi kekuasaan dunia yang lebih multipolar, sekaligus mengguncang ekonomi global dan hubungan transatlantik. 

Artikel ini menganalisis latar belakang historis dan politik keputusan tersebut, menelaah motif ekonomi, militer, dan ideologis di balik tindakan kolektif Asia, serta menilai dampaknya terhadap stabilitas internasional, tatanan global berbasis dolar, dan kebijakan luar negeri Amerika. Kajian ini berargumen bahwa fenomena ini bukan sekadar reaksi politik jangka pendek, melainkan representasi transformasi struktur kekuasaan internasional menuju keseimbangan baru antara Timur dan Barat.

Latar Geopolitik dan Awal Krisis Global

Awal tahun 2025 menjadi momen penting dalam sejarah hubungan internasional ketika tujuh negara Asia secara serentak mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat. Tindakan ini terjadi dalam selang waktu kurang dari dua minggu, disiarkan oleh berbagai kantor berita seperti Reuters dan Al Jazeera, dan segera menjadi isu utama dalam sidang darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang digelar pada Februari 2025 di New York. Negara-negara yang mengambil langkah tersebut adalah Tiongkok, Rusia, Iran, Korea Utara, Suriah, Myanmar, dan Afghanistan.

Krisis ini tidak muncul tiba-tiba. Hubungan antara Washington dan sejumlah negara Asia telah mengalami ketegangan sejak pertengahan dekade 2020-an, seiring meningkatnya kebijakan proteksionisme Amerika, perang dagang terhadap Tiongkok, sanksi ekonomi terhadap Rusia dan Iran, serta kritik keras terhadap pelanggaran HAM di Myanmar dan Suriah. 

Sementara itu, Afghanistan yang sejak 2021 dikuasai kembali oleh Taliban merasa diabaikan setelah penarikan pasukan Amerika. Ketegangan diplomatik ini mencapai puncaknya ketika masing-masing negara menilai bahwa hubungan dengan Amerika tidak lagi menguntungkan dan justru membatasi kedaulatan nasional mereka.

Langkah kolektif tujuh negara tersebut segera menimbulkan efek domino terhadap ekonomi dunia. Nilai tukar dolar AS turun 2,5 persen terhadap yuan dan rubel dalam waktu seminggu setelah pengumuman, sedangkan indeks saham Dow Jones mencatat penurunan tajam sebesar 4,8 persen. Ketegangan ini mengingatkan dunia pada dinamika Perang Dingin, ketika rivalitas ideologis membelah dunia menjadi dua blok besar. Bedanya, kini perpecahan global lebih banyak digerakkan oleh faktor ekonomi dan teknologi, bukan ideologi semata.

Analisis Masalah: Struktur Kekuasaan yang Retak dan Penolakan terhadap Dominasi Barat

Secara struktural, pemutusan hubungan diplomatik tujuh negara Asia dengan Amerika mencerminkan penolakan kolektif terhadap sistem internasional yang dianggap terlalu berpihak pada kepentingan Barat. Dominasi dolar dalam sistem keuangan global, dominasi teknologi Amerika di sektor semikonduktor dan kecerdasan buatan, serta peran Washington dalam mengatur jalur energi dunia menjadi faktor utama ketegangan.

Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia, menilai bahwa sanksi teknologi yang diberlakukan Washington terhadap perusahaan seperti Huawei dan ZTE merupakan bentuk pengekangan geopolitik. Bagi Beijing, pemutusan hubungan diplomatik adalah deklarasi kemandirian strategis dan simbol peralihan dari ketergantungan ekonomi terhadap sistem Barat menuju integrasi ekonomi intra-Asia. Rusia memiliki motif yang lebih geopolitik, menegaskan keberpihakan terhadap blok Timur setelah sanksi Barat akibat perang di Ukraina. Dengan dukungan Beijing, Rusia melihat peluang membangun arsitektur keamanan baru di Asia dan Eurasia tanpa keterlibatan Amerika.

Iran memanfaatkan momentum ini untuk memperluas jaringan energi lintas Asia, menandatangani kesepakatan minyak jangka panjang dengan Tiongkok dan India pada Januari 2025 senilai USD 80 miliar. Sementara Korea Utara menggunakan pemutusan hubungan ini untuk memperkuat kerja sama militer dengan Rusia dan Tiongkok, khususnya dalam pengembangan sistem rudal hipersonik. Suriah, Myanmar, dan Afghanistan, meskipun tidak sebesar kekuatan tiga negara utama tadi, turut memperlihatkan pola resistensi terhadap tekanan Barat dengan alasan kedaulatan nasional dan stabilitas internal.

Fenomena ini menunjukkan pergeseran dari unipolaritas ke multipolaritas, di mana pengaruh Amerika mulai menurun di Asia akibat munculnya blok-blok regional yang lebih mandiri.

Analisis Lanjutan: Dampak Ekonomi dan Politik Internasional

Secara ekonomi, dampak pemutusan hubungan ini segera terasa di sektor energi dan perdagangan global. Rusia, Iran, dan Suriah yang merupakan eksportir utama minyak dan gas, mulai menawarkan harga khusus bagi anggota blok Asia baru yang disebut oleh media sebagai Eastern Cooperation Alliance (ECA). Pada Maret 2025, Shanghai Petroleum Exchange mulai memperdagangkan kontrak minyak dalam mata uang yuan dan rubel, langkah yang dianggap sebagai ancaman langsung terhadap dominasi dolar AS.

Pasar saham Asia menunjukkan pergeseran positif yang kontras dengan gejolak di bursa Amerika dan Eropa. Shanghai Composite Index naik 3,2 persen, sedangkan Moscow Exchange melonjak 5 persen hanya dalam dua minggu setelah deklarasi blok Asia. Kepercayaan investor terhadap stabilitas kawasan meningkat seiring keyakinan bahwa Asia dapat mandiri tanpa pengaruh Washington.

Dampak politiknya bahkan lebih signifikan. Uni Eropa menilai langkah kolektif ini “berbahaya dan prematur”, sebagaimana disampaikan dalam pernyataan resmi Dewan Eropa pada 5 Februari 2025, karena berpotensi mengganggu rantai pasokan global dan meningkatkan risiko blokade ekonomi. Namun, negara-negara seperti Prancis dan Jerman mengambil sikap hati-hati, berupaya menjaga saluran diplomasi terbuka dengan Tiongkok dan Rusia demi kepentingan perdagangan.

Negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina juga mengambil posisi netral. Menteri Luar Negeri Indonesia dalam pernyataan 10 Februari 2025 menyebut bahwa “stabilitas kawasan harus dijaga melalui dialog, bukan pemutusan hubungan.” Namun, posisi ASEAN tetap sensitif karena langkah tujuh negara besar Asia dapat memperkuat perimbangan kekuatan di Indo-Pasifik, di mana kehadiran Amerika masih dominan melalui AUKUS dan Quad.

Solusi: Diplomasi Baru dan Arsitektur Keamanan Asia

Melihat dinamika yang berkembang, muncul kebutuhan mendesak untuk membangun diplomasi baru yang lebih adaptif terhadap perubahan geopolitik. Asia tidak bisa hanya menolak dominasi Amerika tanpa menawarkan alternatif tatanan global yang berkeadilan. Dalam hal ini, kerja sama antara Tiongkok dan Rusia dapat menjadi inti dari pembentukan arsitektur ekonomi dan keamanan regional yang lebih inklusif, bukan eksklusif.

Salah satu solusi jangka menengah adalah penguatan forum multilateral seperti Shanghai Cooperation Organization (SCO) dan BRICS+, yang kini beranggotakan lebih dari dua puluh negara termasuk Arab Saudi, Mesir, dan Iran. Forum ini dapat menjadi wadah diplomasi non-konfrontatif yang mengintegrasikan kepentingan Asia dengan Afrika dan Amerika Selatan. Dengan mengedepankan prinsip sovereign equality dan mutual respect, Asia dapat mempromosikan sistem internasional yang tidak bergantung pada hegemoni tunggal.

Selain itu, perlu dikembangkan sistem pembayaran lintas negara berbasis mata uang lokal untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Pembentukan Asian Clearing Union 2.0 yang diperluas dapat menjadi instrumen stabilisasi moneter yang efektif bagi negara-negara anggota blok baru.

Dari sisi politik, penting bagi negara-negara Asia untuk menegaskan bahwa langkah pemutusan hubungan diplomatik bukan merupakan permusuhan permanen, melainkan strategi transisional menuju kedaulatan diplomatik dan ekonomi yang lebih besar.

Aksi: Implementasi Ekonomi dan Strategi Regional

Langkah konkret yang mulai diambil setelah pemutusan hubungan adalah pembentukan mekanisme kerja sama ekonomi baru antarnegara Asia. Pada April 2025, Tiongkok dan Rusia secara resmi meluncurkan Asia Financial Security Framework (AFSF) di Shanghai, bertujuan membangun jaringan perbankan dan investasi yang independen dari sistem SWIFT. Iran dan Myanmar menjadi peserta pertama yang bergabung, diikuti oleh Suriah dan Afghanistan pada bulan berikutnya.

Di bidang militer, blok Asia mulai memperkuat koordinasi strategis dengan menyelenggarakan latihan gabungan di Laut Timur dan Samudra Hindia. Latihan ini melibatkan kapal perang Rusia dan Tiongkok serta pengamat dari Iran dan Myanmar, menandakan pergeseran signifikan dalam keseimbangan kekuatan maritim Asia. Sementara itu, kerja sama teknologi juga berkembang pesat, terutama di sektor energi terbarukan, semikonduktor, dan kecerdasan buatan.

Kebijakan ekonomi Amerika menghadapi tekanan berat. Washington harus menyesuaikan diri dengan tatanan baru yang tidak lagi sepenuhnya dikendalikan oleh dolar. Bank Sentral AS (Federal Reserve) pada Mei 2025 mengeluarkan laporan khusus tentang risiko geopolitik terhadap dolar akibat de-dolarisasi yang dipimpin oleh Asia. Laporan tersebut menyoroti potensi turunnya pangsa dolar dalam cadangan devisa global dari 59 persen menjadi 52 persen pada akhir 2025.

Sementara itu, di dalam negeri Amerika, tekanan politik meningkat. Kongres mempertanyakan efektivitas kebijakan luar negeri yang dianggap terlalu konfrontatif terhadap Asia. Debat publik di Washington pun berubah arah, dari mempertahankan dominasi global menjadi mencari jalan kompromi yang realistis di dunia multipolar.

Penutup: Era Baru Multipolaritas dan Tantangan Global

Peristiwa pemutusan hubungan diplomatik tujuh negara Asia dengan Amerika Serikat pada 2025 menjadi tonggak sejarah yang menandai berakhirnya era unipolaritas dan kelahiran tatanan dunia multipolar. Asia kini tampil sebagai aktor utama dalam politik global, bukan sekadar penerima dampak kebijakan Barat. Namun, transisi ini juga membawa risiko besar, mulai dari fragmentasi ekonomi hingga kemungkinan meningkatnya konflik regional akibat rivalitas kekuasaan.

Bagi Amerika Serikat, tantangan terbesar adalah mengadaptasi diri terhadap kenyataan bahwa hegemoninya tidak lagi absolut. Diplomasi koersif dan sanksi ekonomi tidak lagi efektif menghadapi solidaritas baru Asia yang berakar pada kesamaan kepentingan ekonomi dan kedaulatan politik. Dunia kini bergerak menuju sistem multipusat, di mana kekuatan ditentukan oleh kemampuan berkolaborasi, bukan mendominasi.

Dalam konteks inilah, 2025 akan dikenang sebagai tahun perubahan paradigma global. Langkah tujuh negara Asia bukan semata reaksi terhadap kebijakan Amerika, tetapi deklarasi bahwa abad ke-21 benar-benar menjadi Asia Century, abad ketika Timur tidak lagi menjadi bayangan Barat, melainkan pusat baru kekuatan dunia. rmol news logo article

Dr. Surya Wiranto, SH MH
Purnawirawan Laksamana Muda TNI Angkatan Laut, Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia?"Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia.
 


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA